"Jarang-jarang ni kita bisa keluar bareng gini," seru Wati sambil menyeruput minumannya.
"Iya biasanya lo.. lo..pada uda punya janji," sahut dita.
"Ica sama Wati tu, gue sih jarang." Tambah Sari.
"Gue kan pengen juga sesekali quality time sama kalian, masa kerja doang barengnya," Ica juga menyahuti.
Hari libur ini mereka berempat mendatangi cafe yang tak terlalu jauh dari asrama, tampak sekarang mereka sudah menempati meja makan berwarna coklat kayu, dan duduk di lantai yang beralaskan karpet bulu tebal.
"Makanannya sudah datang tu," seru Wati menatap nampan yang dibawa oleh pelayan cafe itu.
"Wuihh.. mantap.. enak nih kayaknya," Dita menimpali, sambil melihat takjub ayam bakar dihadapannya.
"Nasi goreng petai… udah lama banget gak makan pete gaess," Sari mengaduk-aduk nasi goreng kemerahan yang dihiasi petai segar itu.
"Lo gak makan nasi ca?" Dita menyikut pelan Ica disampingnya.
"Gak.. gue lagi diet jadi makan pecel aja deh." Jawab Ica.
Kini mereka asyik menyantap makanan sesuai selera masing-masing, tampaknya masakan di cafe ini cukup membuat selera makan mereka bersemangat terlihat piring mereka hampir kosong sebentar lagi.
"Kenyang banget dah.." Dita menepuk-nepuk pelan perutnya.
"Udah nambah nasi masa gak kenyang sih," ejek Ica ke Dita.
"Iya.. sotonya juga enak.. seger," sahut Wati.
"Pete tu emang bikin selera makan ya," imbuh Sari yang sangat menikmati nasi gorengnya tadi.
Menyeduh minuman yang masih menemani mereka di meja itu sambil menyaksikan band pribadi milik cafe itu, rasanya cukup membuat mereka lupa akan keseharian mereka yang habis di tempat kerja.
"Eh foto dulu dong kita," ajak Ica siap dengan ponselnya.
Kini mereka saling mengekspresikan wajah mereka ke arah ponsel Ica yang menangkap wajah-wajah cantik keempat sejoli itu.
"Mana ca.. cakep gak?" Tanya Wati ke Ica yang sibuk menatap layar ponselnya.
"Ni lagi gue liat, cakep-cakep kok."
"Lo kirim donk ke ponsel kita, biar puas liatnya," pungkas Dita.
"Iya ca.. kirim donk sekarang," sahut Sari.
Asyik dengan ponsel masing-masing, melihat foto-foto yang baru saja mereka ambil hingga mereka tak memperhatikan satu sama lain.
"Gue ke toilet dulu gaes," pamit Sari yang ditanggapi diam oleh teman-temannya yang sibuk itu.
Sari menyusuri lantai yang berwarna coklat dengan guratan-guratan crem, sepertinya pemilik cafe ini sangat menyukai warna coklat papan yang memberikan kesan alami pada ruangan ini, terlihat bunga-bunga hidup menghiasi lorong jalan menuju kamar kecil.
Setelah beberapa menit di kamar kecil tak lupa ia merapikan rambut dan bajunya didepan cermin besar itu. Sari berjalan kembali ke tempat teman-temannya, tapi ia tak sengaja melihat satu ruangan yang berdinding kaca dihiasi gorden coklat muda.
Tadi masih tertutup tapi sekarang sudah terbuka, terlihat empat orang sedang duduk di sofa ruangan itu membelakangi dinding kaca tebal ini. Sari menelisik siapa yang di dalam itu, seperti ia tidak asing dengan orang-orang itu.
"Kok kayak bu Asya ya?" Wati bicara sendiri.
Setelah mengamati ternyata benar wanita yang dilihat Sari itu adalah Asya bosnya, dan disamping Asya juga ada Lulu sahabatnya yang pernah dikenalkannya di salon.
"Tapi laki-laki itu siapa ya?" Sari masih menatap dibalik kaca itu.
Sari mengingat-ngingat wajah lelaki di samping Asya, dan ternyata dia suami Asya, Sari pernah melihatnya dua kali saat baru-baru bekerja di salon. Namun suami Asya sering pergi ke luar negeri makanya jarang terlihat.
Tak ingin perbuatannya mengamati orang-orang di dalam sana ada yang melihat, Sari bergegas pergi menyusuri jalan menuju teman-temannya.
"Lama banget ri.. " ucap Ica.
"Iya.. mules dikit tadi." Jawab Sari.
"Kebanyakan makan pete lo," ejek Dita tertawa.
"Pulang yuk!!" Aja Wati.
"Yuk pulang.. gue juga tar malem ada janji," tambah Ica.
"Bayar gihh.. gue gak bawa uang cash belom narik," Dita nyengir ke teman-temannya.
"Gue aja yang bayar, tar lo dirumah baru pada bayar ke gue," tawar Sari.
"Asikk… " seru Wati.
"Tapi ada bunganya ya,"Sari terkekeh menggoda teman-temannya.
"Gile lu ri…" sahut Dita.
"Gampang ntar gue kasih bunga pasir," Ica ikut mengomentari.
"Idiiihh.. bau dong," seru Sari memonyongkan bibirnya.
"Emang bunga pasir yang warnanya gimana sih, kok aku gak pernah tahu?" Sahut Wati polos.
Teman-temannya kompak tertawa mendengar pertanyaan Wati.
"TAI KUCING WATI," teriak ketiganya berbarengan.
Wati mengerutkan keningnya Mendengar teriakan mereka bertiga, "ih.. jorok," Wati menggerakkan bahunya.
"Gue bayar dulu ya," Sari berjalan menuju kasir yang berada hampir dekat dengan ruangan yang berdinding kaca tadi.
Sari memberikan beberapa lembar uang kepada wanita yang menatap layar komputer itu, sambil menunggu kembaliannya Sari melihat dua orang wanita keluar dari ruangan itu yang tak lain itu adalah Asya dan Lulu.
"Mereka siapa mbak?" Tanya Sari ke wanita di depannya.
"Itu bu Lulu yang punya cafe, kalau yang disebelahnya itu temannya," jawabnya sopan.
Tak ingin keberadaan Sari terlihat oleh mereka, Sari berdiri membelakangi Lulu dan Asya, dan untungnya mereka pun masih berdiri didepan pintu terlibat obrolan yang cukup seru.
"Jadi lo beneran nyuruh Abra ke singapura?"
"Iyalah..masa bohongan si."
"Gue kira cuma pura-pura."
"Gak Lah.. gue gak mau adik gue berhubungan makin jauh sama tu anak!"
"Emang lo gak setuju banget ya?"
"Bangetlah.. masa adek gue pacaran sama karyawan gue, kan gak selevel."
"Iya sih.. tapi gue lihat anak itu cakep kok."
"Cakep.. tapi kan tetap saja beda kelas say."
"Yang mana sih anaknya, gue gak tahu?"
"Itu yang paling manis dia, namanya Sari."
Deg… Sari terkejut mendengar obrolan singkat kedua wanita dibelakangnya itu, hingga ia tak peduli dengan wanita di depannya lagi.
"Mbak.. ini kembaliannya," ucap wanita itu.
Sari masih diam dan wajahnya terlihat kesal, ia masih terus berusaha mendengar percakapan kedua sekawan itu.
"Mbak," wanita itu menyentuh tangan Sari.
"Eh.. iya mbak.. maaf," Sari mengambil uang kembalian di tangan wanita itu sambil tersenyum dan bergegas berjalan agar tak terlihat oleh Asya dan Lulu.
"Yuk.. mobilnya dah dateng tuh," ucap Ica.
Mereka pergi meninggalkan cafe ini menuju mobil taksi online yang dipesan Ica. Sementara Sari masih dalam kebingungan, kecemasan dan kegugupan setelah mendengar percakapan singkat Asya dan sahabatnya.
Duduk di posisi pinggir mempercepat langkah Sari untuk keluar dari mobil, tanpa bicara apapun ia segera membuka kunci asrama dan menuju kamarnya, serta langsung melemparkan handbag miliknya di atas kasur.
"Jadi benar bu Asya sudah tahu semua," ucap Sari yang berdiri menatap ke luar jendela.
melihat pintu kamar yang terbuka, Sari segera menutupnya dengan sedikit hempasan.
"Brengsek!!!" Teriak Sari melemparkan benda apapun yang ada diatas meja riasnya.
"Aku gak terima… aa..aaa...!!" Teriak Sari kesal dan emosi.