Chereads / Akad Yang Tak Berjodoh / Chapter 29 - Bab 29 [Berkunjung]

Chapter 29 - Bab 29 [Berkunjung]

Sementara itu, pada lorong kosong yang mengarah menuju ruangannya. Hakim melangkahkan kakinya lebar demi segera mencapai ruangan itu. Anggun, sekretarisnya yang gesit tu kualahan mengejar langkah kakinya. Ia berusaha menahan sakit, rasa nyeri pada tumitnya sebab pinggiran pantopel baru yang ia kenakan.

Dalam langkahnya yang kesulitan, Anggun menebak-nebak apa yang telah terjadi pada atasannya itu. Pasalnya, selepas dari kembalinya seorang diri sehabis rapat. Roman wajahnya sangat gelap dan tidak ramah sama sekali, tidak ada senyum pada bibirnya yang biasa ia lemparkan pada para pegawai bila berpapasan.

Sesampainya dalam ruangan, Anggun segera menyodorkan dokumen yang baru saja dibawanya untuk meminta persetujuan. Sementara pria itu membolak balik halaman dokumen, Anggun menjelaskan inti dari dokumen itu dan tekhnisi pengaplikasian dari rancangan rencana yang telah disusun.

Hakim membubuhkan tanda tangannya di tiga lembar halaman terakhir di atas matrai.

"Lakukan saja seperti ini."

Setelah mengucapkan itu, Anggun undur diri dan siap melaksanakan titah atasannya itu. Beruntung, Hakim tidak memiliki perangai yang buruk dan sangat pandai mengontrol emosinya sendiri hingga tak memengaruhi kinerjanya. Meski demikian, tidak jarang juga ia menjadi tegang berada di sekitar Hakim bila dalam suasana hati yang buruk seperti ini.

Sepeninggalnya Anggun, Hakim menelungkupkan wajahnya pada telapak tangan lalu mereremas rambutnya sendiri dengan kasar. Ia mengerang frustasi, mengingat perlakuan tidak sopan yang ia lakukan pada Ratih. Sesungguhnya ia tidak berniat melakukan hal yang membuat gadis itu benci terhadapnya, entah karena terbawa perasaan sebab terprovokasi oleh ucapan Azzam hingga ia berlaku demikian tanpa sadar. Ia bahkan mendapati gadis itu menatap dirinya begitu dingin. Habislah, gadis itu pasti tak ingin berbicara dengannya lagi. Padahal ia butuh bicara agar ia bisa meluruskan segala kesalah pahaman yang bisa saja timbul di benak Ratih.

Tangannya bergerak mengambil dompet yang terdapat dalam saku celananya. Membukanya dan mendapati gambar seraut wajah mendiang istrinya. Ia mengeluarkan foto itu dan menarik ke atas foto yang terdapat di bawahnya sebelum menaruh foto pertama di atas meja. Foto yang menjadi awal mula kerenggangan yang sempat terjadi di antara dirinya dengan Ratna.

Pada balik foto itu tertera, "14 Juni, Bissmillah Akad. Aamiin!" yang merupakan tanggal dan agenda perencanaan akad dirinya dengan Ratih. Sebuah akad yang sangat ia nantikan, namun pena takdir tidak berpihak padanya. Sebuah kalimat yang menunjukkan dengan jelas maknanya. Lalu entah bagaimana, Ratna bisa menemukannya padahal ia telah menyembunyikannya dengan baik. Hakim tidak mengira jika Ratna akan membuka dompetnya dan mengetahui itu, padahal sebelumnya; perempuan itu tidak pernah berani menyentuh dompetnya meski diminta sekalipun. Ia lebih memilih untuk menunggu bila ingin meminta sesuatu terkait privasi miliknya yang memang jelas telah termasuk ke dalam miliknya juga.

"Semua masalah itu, 'kan berasal dari diri lo sendiri, Kim. Loe yang gak berani nolak permintaan abah kiyai. Padahal kalau lo ngomong dengan sejujurnya, beliau akan sangat menghargai lo. Terlebih yang loe khitbah, 'kan bukan orang lain, tapi putri beliau juga. Lo udah lancang ngelamar kakaknya, tetapi akadnya malah lo langsungkan bareng adiknya. Gimana gak kacau? Lo kacau, dia kacau, istri lo kacau. Dan masalahnya jad belibet kek gini, lo malah nambah ngelamar dia lagi. Gak waras emang, Lu."

Benar perkataan Adam pada satu waktu itu, kala ia menceritakan bagaimana ia melamar Ratih disaat perempuan itu meminta penjelasan atas kebenaran yang terjadi pada adiknya. Ya, itu semua berawal dari dirinya, dan luka itu ia tanggung sendiri pula.

"Inan mawu bunda tante!"(Kinan maunya bunda tante!)

Kalimat Kinan kembali melintas dalam kepalanya, berdengung seperti suarana sirene yang memberikannya peringatan tentang sesuatu yang tidak jelas apa itu; apakah sebuah larangan ataukah anjuran.

Pintu ruangannya yang tiba-tiba terbuka membuat Hakim sontak mengarahkan pandangannya pada sesosok perempuan yang selalu membuatnya bad mood di dua minggu terakhir ini. Perempuan kiriman ibu tirinya.

Hakim memasukkan foto yang digenggamnya ke dalam saku celana saat perempuan di sana berjalan ke arahnya dengan pinggul yang dilenggak lenggokkan. Ia mengenakan dress selutut tanpa lengan berwarna tosca, rambut piragnya digerai lurus hingga pinggang.

"Aku bawaiin makan siang. Tante bilang kamu suka gak makan siang," kata gadis itu memberikan dalihnya yang Hakim telah hapal betul. Semua alasan yang diucapkan demi bisa bertemu dengannya itu hanyalah karangan belaka dan Hakim merasa muak dengan itu.

Ditaruhnya rantang berisi makanan ke atas meja Hakim.

Hakim menekan salah satu tombol yang terletak pada telepon kabel yang terletak di hadapannya lalu berbicara dengan dingin, "Anggun, tolong minta satpam untuk menjemput tamu yang tidak diundang yang kamu biarkan masuk sembarangan."

Perempuan di sana segera membuat tindakan baru untuk mencegah diusirnya dirinya lagi seperti pagi tadi. Ia mendaratkan bokongnya pada pinggiran meja kerja Hakim.

"Aku gak akan pergi. Setidaknya tidak akan sebelum kamu menghabiskan bekal dariku. Aku udah capek-capek masak buat kamu tauk. Setidaknya biarkan aku liat kamu ngehargain masakan aku dengan memakannya langsung," tolak gadis itu dengan nada memelas.

"Masakan kamu? Bukannya kamu membelinya?" tebak Hakim seraya mengarahkan pandangannya pada layar komputer dan tangannya menggerakkan mouse di sana.

Manik bening gadis itu bergerak tak gelisah, dalam benak ia bertanya dari mana pria itu bisa tahu kalau dirinya membeli makanan itu dan bukan memaskanya. Ia memang tidak bisa memasak dan ia tidak mau menghabiskan waktunya untuk mengerjakan hal merepotkan semcam itu. Waktunya berdandan saja sudah dipersingkat, masa ia perlu belajar memasak untuk membuang waktunya yang berharga.

"Ya … ya … biarpun begitu, setidaknya kamu hargai dong masakan itu dengan memakannya langsung di depanku. Aku udah capek lho ngantri buat dapetin makanan kesukaan kamu itu."

"Aku tidak pernah memintamu untuk melakukan ini jadi kenapa aku harus melakukan itu," ketus Hakim tanpa mengalihkan fokusnya dari tangan dan mata yang sibuk bekerja.

"Tapi ibu kamu memintaku untuk membawakanmu makanan."

"Aku tidak merasa meiliki ibu. Ibuku telah lama berpulang, jangan gunakan dia sebagai alasan. Jika perempuan itu yang memintamu melakukannya maka jangan pernah datang lagi."

Gadis itu terdiam, ia tidak tahu bagaimana harus membalas. Semua dalih yang ia punya tidak ada yang mempan.

"Kalau begitu. tidak bisakah kamu menggapnya sebagai ketulusanku saja? Aku sungguh mencintaimu, Hakim. Dari dulu, kenapa kamu tidak pernah melihat ke arahku?"

Gadis itu berdiri dan menuju ke arah meja Hakim dan berdiri tegak di hadapannya. manik beningnya menatap lurus ke arah wajah pemuda itu.

"Sedari dulu kenapa kamu tidak pernah melihat usahaku? Apa hubungan pertemanan kita tidak bisa melangkah lebih menjadi sepasang kekasih? Bahkan setelah kamu menduda pun, aku masih menunggu dan berjuang untukmu. Tidak bisakah kamu mencoba membuka hatimu sedikit untukku?" ucapnya tulus. Air wajahnya menyiratkan luka yang telah sering ia tterima dari perlakuan dingin Hakim. Dalam benaknya, ia tidak pernah mengerti mengapa lelaki ini selalu berlaku dingin hanya kepadanya. Pria ini bisa tersenyum ramah dengan bebas kepada semua orang, tetapi pada dirinya, bahkan melihat lama saja pria itu seperti dsudah tidak sudi. Apa salahnya ia berjuang untuk mendapatkan hati pria ini. setidaknya pria itu bisa memperlakukannya sama seperti pria itu memperlakukan orang lain, walaupun tidak spesial, setidaknya ia tidak merasa sakit sebab sikap dingin yang ditujukan padanya.

Hakim menghentikan kegiatannya. Ia menatap tepat pada manik bening gadis itu, tetapi yang ditatap justru mengalihkan pandangan. "Jika kamu ingin membahas ini, tolong pergi saja. Aku sedang sibuk."

Ketukan di pintu serta suara perminta izin masuk oleh Anggun membuat kedua pasang mata itu beralih menatap pintu. Dan tubuh tinggi milik Anggun menyembul dari daun pintu setelah dititahkan masuk oleh Hakim.

"Dewi akan pergi. Tolong kamu antarkan tamu pulang," ucap Hakim lalu kembali mengarahkan fokusnya pada layar monitor.

Sementara gadis yang namanya Dewi itu menatap tak percaya atas pengusiran yang dialkukan berkali-kali padanya itu. Ia memang telah menduga akan diberlakukan demikian. Bila diperlakukan begini saja bisa membuatnya kapok, maka untuk apa ia menginginkan cinta pria ini. perlakuan semcam ini masih termasuk trik kecil pria ini utnuk membuatnya pergi. Ha, hal semcam ini tidak akan membuatnya jera.

"Mbak Dewi. Mari saya antarkan."

Dewi menghentakkan kakinya dengan keras sebelum melangkah keluar dengan ketukan pantopel yang nyaring yang disengaja demi membuat keributan.

Hakim memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa berdenyut nyeri. Ia mendapati Anggun hendak berlalu keluar, tapi segera ia hentikan.

"Anggun!"

Sekretarisnya itu menoleh dan berbalik badan, "Ya, Pak?"

"Jika dia datang lagi lain kali hanya untuk mengganggu tolong usir saja."

Anggun terlihat sedikit menimbang sebentar sebelum mengangguk menyutujui, "Baik, Pak. Akan saya ingat."

"Ya sudah. Kamu boleh keluar."

"Baik, Pak. Saya permisi."

Erlina menyeruput susu cokelatnya dalam sekali tandas, suhunya yang masih panas tak membuatnya merasa risih. Barangkali ia tak merasakan sensai terbakarnya lidah sebab terlampau kesal.

"Atasan kamu itu … apa yang waktu itu kita temui di pesta resepsinya Nilam?"

"Kok, Ratih tahu?"