[Ini Ratih]
[Maaf meminta nomor kontakmu dari Ardan tanpa izin.]
[Bisa buat janji temu dengan saya?]
[Ada yang perlu saya bahas.]
[Kabari bila ada waktu.]
Ada getaran yang sama seperti tiga tahun silam menyelusup lembut ke dalam kalbunya. Yang mengiriminya pesan adalah gadis yang baru saja ia ingat kenangan buruknya. Terlebih, gadis itu meminta bertemu. Apalah yang hendak dibicarakan gadis itu padanya.
Tak ingin membuat sang gadis menunggu terlalu lama. Maka segera ia mengetik balasan.
'Kamis siang di minngu ini. setelah solat Zuhur'
'Saya luang di waktu ini. Tempatnya saya kabari nanti.'
Sesaat setelah di kirim, notif laporan pengiriman sukses dan telah dibaca terpampang di layar atas ponsel. Diperhatikannya terus gawai itu, menunggu balasan yang ternyata tak kunjung datang. Ah, begitu saja, rupanya.
Tok tok!
Suara ketukan yang disusul suara salah seorang pegawai meminta masuk mengalihkan atensi Hakim. Ia mempersilakan.
Seorang gadis berseragam, mengenakan jilbab yang melilit lehernya tersenyum tulus ke arah Hakim tatkala kakinya berhasil menginjak ruangan. Ia berdiri di samping pintu yang terbuka.
"Assalamu'alaikum. Selamat siang, Pak Hakim. Seorang klien VVIP meminta bertemu saat ini juga. Kami telah memintanya untuk membuat janji temu terlebih dahulu, tetapi ditolak. Ada hal penting yang ingin disampaikan, begitu katanya," tuturnya runtun dengan sopan dan senyum yang terus dipertahankan.
"Wa'alaikumsalam. Di mana dia sekarang?"
"Di private lobby, Pak."
"Sampaikan, saya segera menyusul."
"Baik. Permisi, Pak. Assalamu'alaikum."
Hakim meraih jas hitamnya yang tergantung pada penggantungan kayu yang diletakkan di dekat jendela, belakang kursi kerjanya. Sembari berjalan keluar ia mengenakan jasnya.
~***~
"Ini dokumen yang loe minta!"
Zibran menyodorkan map hijau yang berisi beberapa dokumen tahun lalu ketika statistik penjualan meningkat secara signifikan. Ia meminta dicarikan dokumen itu sebagai bahan refrensinya dalam menilik ide-ide baru yang dapat meningkatkan hasil penjualan terus mengalami peningkatan.
"Terima kasih, Ran."
Zibran mendudukkan dirinya pada sofa. Mencomot kue kering yang dibawanya sendiri, tentu saja kue kering itu diambilnya dari meja kerja Erlina. Bahkan ia bisa mengingat bagaimana tatapan sinis mengarah padanya dari gadis itu.
"Katanya siang ini loe ada pertemuan dengan prmilik desain terbaru itu. Kudengar dia kerabatnya pak Farhan?" tanya Zibran penasaran.
"Iya. Kudengarnya juga begitu. Dari beberapa sampel desain yang dia kirim, itu cukup bagus, dan diperkirakan bisa booming di pasaran. Orangnya kita kenal, kok."
"Oh ya? Siapa?"
"Kamu gak perlu tahu."
"Apaan coba. Gue ikut, ya. Bosen banget."
"Kerjaiin kerjaan kamu. Jangan makan gaji buta."
"Kerjaan gue ya udah beres. Cuma tim gue jadwal survei lapangan hari ini. jadi gue bosen, gak ada yang bisa dilihat."
Seolah mengerti apa maksud dari kalimat terakhir itu, Azzam menukas, "Istigfar kamu, Ran. Dari pada berbuat seperti itu terus, mending kamu halalin segera. Bisa jadi dosa tauk."
"Gue juga maunya gitu, Zam. Tapi dianya gak suka gue, ya mau gimana lagi. Gue cuma bisa nunggu dengan cara gue sendiri," belanya dengan wajah kusut.
"Ya, ya. Teruslah ganggu dia sampai ada yang datang menjadi pahlawannya."
"Eh eh, apa maksud loe ngomong gitu, Zam? Loe kira gua berbuat jahat apa sampe pake ada acara superhero segala?"
Azzam menggelengkan kepala. Tak habis pikir dengan tingkah si sepupunya ini. jika ia menyukai seseorang, ia pasti akan membuat orag itu merasa jengkel akan dirinya sendiri. Entah kepercayaan apa yang ia pegang teguh hingga sifatnya yang satu itu tidak bisa diubah sama sekali. 'Mending gue tetap dengan ketengilan ini dan melihat siapa yang bisa nyaman dan nerima gue apa adanya, daripada berlaku lemah lembut tapi modus semua. Percuma!' itu yang sering digaungkan ketika dibercandai kata 'memperbaiki imej yang keanjlokannya sudah cukup'.
"Loe jangan bahas gue mulu, Zam. Loe sendiri gimana? Masih belum ada yang nyantol?" tanyanya mengalihkan topik. Membuat pria yang di seberang bungkam total.
Azzam enggan menjawab. Ia berdiri dan mengenakan jasnya yang tadi hanya disampirkan pada leher kursi. Mengambil ponselnya dan dimasukkan ke dalam saku celana.
"Mau ke mana? Loe seriusan gak ngasih gue ikut?"
"Ya udah, ayok." Azzam melangkah keluar.
"Bentar. Gue abisin makanan gue dulu." Mulutnya yang masih mengunyah segera ditelan paksa dengan dorongan air lantas mengejar Azzam. Mensejajari langkah mereka.
Keduanya menaiki lift dan menuju lantai pertama. Selama menyusuri loby menuju tempat parkir, banyak para pegawai menyapa mereka dengan sopan, bahkan tak sedikit pegawai perempuan yang masih muda memandang dengan tatapan memuja secara terang-terangan. Seolah itu hal biasa, Azzam tak merespon sedikit pun, wajahnya bahkan diseting datar, senyumnya hanya diberikan pada beberapa pegawai yang sudah berumur, pria dan yang sudah menikah, sebagai bentuk hormat pada yang lebih tua. Meski begitu, ia tidak pernah membedakan karyawannya, semuanya diperlakukan sama. Pilih-pilih memang. Berbeda dengan Zibran yang tersenyum, membalas sapaan para karyawan dan terkadang diselipi jahil di sana.
Begitu sampai di pintu loby, mereka bertemu dengan Erlina yang berjalan tergesa. Namun menyempatkan diri untuk menyapa kedua atasannya itu dengan sopan.
"Loe udah balik aja?" tanya Zibran pada Erlina.
"Saya balik mengambil sesuatu, Pak. Kelupaan gara-gara seseorang yang menjahili saya!" ketus Erlina dengan wajah kesalnya yang ia tujukan pada Zibran. Tanpa bertanya pun, bisa ditebak siapa pelakunya.
"Wah, siapa itu yang berani berlaku kayak gitu sama tim Zibran? Kasih tau gue, biar gue gampar orangnya."
"Tidak perlu. Terima kasih!" ketus Erlina seraya berlalu. Enggan sekali ia meladeni atasannya yang tiada habis akalnya untuk membuatnya kesal itu.
"Zam, gue gak jadi ikut, ya. Lain kali deh."
Baru saja Zibran hendak berbalik. Lengannya sudah dicegat terlebih dahulu oleh Azzam.
"Kamu ikut saya. Ini perintah!" tegas Azzam tak menerima penolakan.
"Wah, penyalahgunaan kekuasaan!"
Akhirnya, Zibran mengekor dengan pundak lesu menuju parkiran.
~***~
"Assalamu'alaikum. Maaf. Sudah menunggu lama?"
Azzam dan Zibran sontak menoleh ke sumber suara. Seorang gadis berpenampilan bak model sampul majalah, staylish one pocket rayon shirt yang dipadu hijab simpel, yang kedua ujungnya diikat ke arah belakang dan sampulnya disembunyikan.
"Zakiya?" tanya Zibran dengan wajah sedikit terkejutnya. "Kok elo?"
"Iya. Ini gue. Biasa aja kali. Kayak gak pernah ketemu aja."
Zakiya menarik kursi kosong yang disediakan untuknya. Meluruhkan tasnya dari pundak dan mengambil sesuatu yang dibutuhkan.
"Ini yang loe bilang nanti juga tau sendiri, Zam?"
Azzam hanya mengendikkan bahunya.
"Kenapa, sih?" tanya Zakiya bingung melihat kedua orang di hadapannya yang entah memperdebatkan apa.
"Enggak. Kalo tau itu, loe, tadi gue pesenin aja makanan kesukaan loe," jawab Zibran sekenanya. Padahal yang dipikiriannya saat ini adalah betapa menyesal dirinya telah menawarkan diri untuk menemani, seharusnya ia tidak perlu ikut saja meski diancam dengan otoritas.
"Wah gitu? Gue berterima kasih banget kalo loe mau pesenin lagi. Serius," kelakar Zakiya mengikuti alur bercandanya Zibran, seolah hapal betul bagaimana level bercanda yang dimiliki pria tersebut.
"Udah ah. Tenang aja. Gue udah pesenin, kok. Kita bisa mulai, kan?"
"Oh iya, sori. Kita mulai, ya. Jadi ini dia beberapa sketsa desain yang udah gue bikin. Dua diantaranya udah loe lihat dari email yang gue kirimin, kan?" Zakiya menunjukkan beberapa bentuk sketsa kerajinan yang dibuatnya. "Dan selanjutnya gue bakal jelasin bahan baku yang dibutuhkan."
Zakiya menjelaskan dengan panjang lebar apa yang perlu dijelaskan sebelum menekan kontrak dengan perusahaan manufaktur terbesar yang dikelola sepupu teman masa kecilnya ini.
Setelah tanda tangan kontrak dilakukan. Azzam meminta Zibran untuk mengantar Zakiya kembali terlebih dahulu menggunakan mobilnya. Sementara ia sendiri masih ingin tinggal sebentar lagi dengan alasan menghabiskan minumannya. Bersyukur Zibran mengiyakan saja. Lantas kedua orang teman masa kecil itu berlalu.
Azzam meraih ponsel yag dibawanya. Menggeser-geser layarnya tanpa berniat menemukan sesuatu di sana. Tadi, ketika ditengah presentasi Zakiya; ia tidak sengaja mendengar suara yang diyakini itu Ratih sedang menyambut kedatangan seorang pria yang pernah dikenalnya bernama Hakim, tepat di meja belakangnya yang disekat dengan satu set meja kosong lainnya. Ia akan menunggu gadis itu dan berbicara sebentar dengannya setelah usai dengan urusannya.
"Tolong, pertimbangkan kembali untuk menjadi istriku, Ratih."
Bagaikan petir di siang bolong. Azzam tercengang mendengar pengakuan yang tidak sengaja didengarnya itu. Pengutaraan yang diucapkan dengan tulus. 'Pertimbangkan kembali,' katanya, Bukankah ia sudah menikah? Apa maksudnya melamar orang lain saat dirinya sudah beristri?
.
.