Chereads / Akad Yang Tak Berjodoh / Chapter 36 - Bab 36 [Sebuah Kebetulan atau Takdir? 2]

Chapter 36 - Bab 36 [Sebuah Kebetulan atau Takdir? 2]

"Tiada lain tujuan dari diadakannya masalah adalah untuk menempamu menjadi pribadi yang tangguh dan baik dan penghapusan dosa atas kesalahan yang tidak sengaja diperbuat pada masa lampau."__AYTB

___________________

Dalam ruangan kamar tamu yang berinterior mewah itu, Ratih terduduk di sisi ranjang. Manik jelaganya terfokus pada layar gawai yang menampakkan jumlah panggilan tak terjawab dari umi. Ratih tak sengaja mensilent mode ponselnya agar tak diganggu siapa pun saat berada di Taman Baca, karena ia berpikir untuk melakukan pemulihan dulu barang sedikit tanpa menerima gangguan apa pun dari siapa pun.

Lama Ratih menimang untuk menelpon balik Uminya, Ia tahu jika wanita malaikatnya itu pasti sedang khawatir dirinya tidak ada kabar sama sekali. saat pergi pagi tadi dari rumah, ia memang sudah minta izin dan kemungkinan akan menginap di indekos sekalian untuk pemulihan diri katanya. Entah kenapa, berat sekali rasanya untuk sekadar berbicara sapa dengan Umi. Dirinya tidak marah ataupun kesal pada umi, hanya saja ia tak ingin berbicara untuk saat ini. Tetapi jika wanita surganya itu tidak mendengar suaranya, pastinya ia tidak akan bisa tidur semalaman suntuk.

Akhirnya Rtaih menekan ikon berbentuk telepon keluar pada kontak umi. Baru saja panggilannya berdering tanda sambungan terhubung, Ratih sudah bisa mendengar suara Uminya berucap salam dengan nada kelewat khawatir.

"Iya, Umi. Maafin ratih ya, Mi. Hpnya Ratih silent, jadi tidak tahu Umi menelpon. Ratih juga sedang berada di rumah temen, Mi."

Ratih memilin ujung jilbabnya. Mendengar dengan seksama ucapan Umi yang begitu khawatir padanya dan menanyakan bagaimana pertemuannya dengan Hakim.

"Sudah, Mi. Sudah bertemu dengan Mas Hakim dan seperti dugaan Umi. Mas Hakim belum bisa menjelaskan apa pun pada Ratih. Mungkin dia masih belum bisa menerimanya dengan lapang dada."

Ratih meremas gamisnya saat mendengar penuturan Umi yang berkata bahwa wajar saja Hakim belum bisa menerima kepergian Ratna meski dua tahun telah berlalu secepat kilat. Uminya itu berkisah bagaimana harmonisnya mereka setiap harinya. Hakim yang begitu memanjakan Ratna melebihi seperti perlakuan Ratih pada adiknya itu. Memperhatikan betul pola makan Ratna dan tidak membiarkan gadis itu merasa lelah sedikit pun, bahkan tidak jarang Hakim mengendong Ratna menaiki tangga jika tidak ada orang yang melihat.

"Mi, temen Ratih manggil nih. Ratih tutup ya, Mi." Ratih sudah tidak tahan mendengarnya, hal semacam itu tidak akan memperbaiki suasana hati Ratih, justru malam memperburuk keadaannya. Hatinya seperti kembali diremukkan dan dihantam berkali-kali menggunakan gada.

"Iya Umi sayang, Ratih baik-baik saja. Sudah dulu ya. Assalamu'alaikum." Bergetar hebat bibirnya saat berucap salam penutup. Ya Allah, perih sekali rasanya.

Luruh sudah bendungan air matanya, merembes keluar membentuk alirang sungai kecil pada pipi kiri kemudian di susul pipi kanan. Digigitnya dengan keras bibirnya. Pertahanannya berusaha dibangun kembali. Ia berlari menuju kamar mandi dan segera mencuci muka di wastafel.

Dipandangi pantulan dirinya pada cermin bundar di depannya. Wajahnya yang terguyur air itu tampak sangat berantakan sekarang. Bibirnya berdarah, hidungnya memerah, beruntung matanya tidak sembab meski memerah pula.

Ketukan di pintu disusul suara Nilam memanggil namanya membuat Ratih mengalihkan atensi. Rupanya sahabatnya itu datang juga tepat setelah usai solat Isya dilaksanakan. Ratih segera merapikan jilbabnya dan menjemput Nilam.

Begitu pintu dibuka, Nilam menubrukkan dirinya memeluk Ratih. lama sekali belum jumpa sahabatnya ini. terakhir kali bertemu saat resepsi walimahannya hari itu.

"Assalamu'alaikumnya dulu, manten. Ayo masuk," ucap Ratih memberi salam terlebih dahulu dan mempersilakan Nilam masuk.

Nilam melonggarkan pelukannya dan terkejut mendapati wajah Ratih saat ini. Jadi, tangannya bergerak kilat menutup pintu kamar dan mendorong Ratih ke sisi ranjang.

"Wajah kamu kenapa, Rat? Ini kenapa kok merah semua terus bibir juga berdarah," tanyanya sembari memegang wajah berantakan Ratih.

"Ah ini, tadi pas cuci muka gak sengaja kemasukan busa. Terus saking paniknya karna mata perih, busanya juga gak sengaja kehirup. Dan entah kenapa, bibir malah ikutan kegigit sampe berdarah gini," kilahnya meyakinkan.

"Ya Allah, Ratih. Gak biasanya kamu ceroboh gini. Ayo sini duduk dulu."

Nilam menarik ratih untuk duduk di sisi ranjang. Lantas mengeluarkan bedak serta lipstik dari dalam tas selempang mungilnya. Nilam menepuk-nepukkan spon pada bedan dan akan diaplikasikan ke wajah Ratih.

Namun baru saja spon itu didekatkan ke wajahnya, Ratih refleks mengindar. "kamu mau ngapain, Nil?"

"Apalagi. Sini aku bantuin ilangin merah-merah wajah kamu itu sama bibir berdarah ini. Kamu sadar gak gimana berantakannya wajah kamu ini? Masa kamu mau muncul di keluarga yang gak kamu kenal betul ini dengan wajah seperti itu? Orang luar yang melihatnya pasti mengira terjadi sesuatu padamu saat di dalam keluarga ini," jelas Nilam yang dibumbui dengan sedikit tipu daya. Pada hakikatnya, gadis yang baru menikah itu memiliki tujuan lain untuk mendandani Ratih dengan sedikit riasan.

Mendengar penjelasan Nilam, akhirnya Ratih mengalah. Membiarkan gadis itu berbuat apa saja pada wajahnya, bahkan dirinya tak sadar ketika sahabatnya itu menyapu wajahnya dengan berbagai produk kecantikan karena disuruh tutup mata dengan alasan agar tidak kemasukan bubuk bedak.

"Nah selese. Sekarang wajah kamu gak keliatan berantakan banget, deh," ucap Nilam bangga setelah memberika sentuhan terakhir pada bibir Ratih.

"Tapi kenapa pake gincu segala sih? Ini juga nanti dilap pake tisu, darahnya juga bisa ilang, kok."

"Iya ilang. Tapi bibir kamu bakalan keliatan pucat dong. Kamu harus keliatan seger. Oh iya, Mbak Liana bilang kamu di sini dari tadi sore, terus katanya kamu bantu masak juga. Kok bisa?" tanya Nilam penasaran. Jika tahu sahabatnya itu di sini dari sore, ia pasti akan datang lebih awal dan membiarkan saja suaminya datang menyusul.

"Ah itu. Tadi aku dimintai bantuan sama Mbak Liana untuk mengantar Danu. Tapi sesampainya di sini ternyata ketemu sama Eyang yang tternyata pernah aku tolongin. Jadilah aku tertahan di sini, gak enak menolak setelah didesak terus-terusan," tutur Ratih menjelaskan kronologi mengapa ia bisa berada di keluarga besar yang sedang melakukan acara keluarga ini.

"Ratih, Nilam. Sudah selesai? Ayo keluar."

Suara Mbak Liana dari luar memanggil mereka membuat kedua sahabat itu harus menghentikan sesi ngobrolnya dan memenuhi permintaan Mbak Liana untuk keluar menemui keluarga besar itu. Ragu-ragu Ratih melangkah keluar karena merasa canggung sekali harus berada di tengah-tengah keluarga besar itu selaku orang luar.

"Kenapa? Kamu gugup, ya? Gapapa, kan ada aku. Aku juga sebenernya masih suka gugup meski sudah sering ke sini, tapi karena ada mas Karim, aku jadi bisa enjoy sedikit. Kan ada aku di sini, kamu tenang aja. Jangan gugup, ya. Ayok," ucap Nilam menenangkan. Ia mengusap bahu Ratih untuk memberikan ketenangan kepada sahabatnya itu.

Rasanya bagai memasuki dunia baru saat Ratih keluar dari pintu kamar tamu. Ia disuguhi pemandangan yang begitu luar biasa harmonisnya. Pada ruang keluarga yang besar itu dipenuhi tawa hangat dengan lagi-lagi Danu sebagai objek komediannya.

Ruang keluarga itu dihuni oleh 5 orang pria dewasa, tiga diantaranya Ratih kenal dan dua orang sisanya sama sekali tidak dikenali. Ia sedikit terkejut mendapati dua pria yang dikeenalinya itu bisa berada di sini, dia Azzam dan Zibran. Azzam terlihat sibuk dengan ponselnya, sementar Zibran ikut melawak bersama Danu. Seorang perempuan muda sepelantaran sedang duduk dekat Eyang yang menikmati stand up comedy yang dilakoni oleh Danu dan Zibran itu.

Semua mata mengarah pada Ratih dan Nilam saat kakinya menjejalkan jejak pada ruang keluarga itu. Danu langsung berhamburan ke arahnya dan mulai berceloteh ria.

"Kakak Cantik, kok cantik banget sih? Apa karena lagi malam ya jadi kecantikannya kakak Cantik semakin bertambah. Aduh, jantung Danu jadi berdebar-debar nih," ujar Danu meniru perkataan yang baru saja diajarkan padanya oleh Zibran. Sontak, tawa kembali pecah di ruangan itu.

"Danu, kalau jantungnya tidak berdebar itu artinya jantung Danu lagi tidak berfungsi dengan benar. Harus segera diperiksa ke dokter lho," balas Nilam mengikuti alur hokian kemenakennya itu. "Danu siapa yang ngajarin ngomong kek gini?" lanjutnya bertanya.

"Oom Ibran yang ngajarin, Tante Manten," jawab danu polos sambil menunjuk ke arah Zibran yang telah duduk anteng seolah tidak tahu apa-apa saat dipelototi oleh Nilam.

"Ayo sini, Neng Gelis. Duduk di sini dulu dekat Eyang." Eyang menepuk-nepuk sofa samping tempat duduknya.

"Iya Eyang, terima kasih," ucap Ratih seraya mengambil tempat yang disediakan Eyang untuknya. Dan Nilam juga melesat menuju tempat duduk di dekat suaminya.

Sementara Azzam yang baru saja menyadari keberadaan Ratih dari suara lembut yang bertandang pada daun telinganya ketika gadis itu mengiyakan permintaan Eyang mendadak jadi tidak tahu harus berbuat apa. Itu sungguhan Ratih. Ia tidak percaya jika gadis itu berada di rumahnya saat ini juga saat tadi dirnya sibuk berpikir untuk mengirimi gadis itu pesan. Diliriknya malu-malu Ratih yang sibuk berbicara dengan Eyang dan gadis muda di sebelahnya. Tiba-tiba saja Azzam dilanda kebingungan bagaimana cara untuk bisa mengobrol dengan gadis cantik itu.

"Ayo, semuanya. Makanan sudah siap."

Tante Ayu mengajak semuanya untuk ke ruang makan.

~***~