Chereads / Akad Yang Tak Berjodoh / Chapter 38 - Bab 38 [Salah siapa?]

Chapter 38 - Bab 38 [Salah siapa?]

Hakim tidak mengerti, padahal ia sudah bersusah payah menata diri tapi kembali diluluh lantahkan begitu saja seolah usahanya selama ini hanya kesia-siaan belaka.

"Bagaimana, Dam?" tanya Hakim kala mendapati sosok pemuda tampan berjas dokter itu keluar dari kamar Kinan. Betapa khawatir dirinya tadi melihat Kinan tiba-tiba diserang demam begitu saja tanpa adanya angin hujan. Terlebih ketika seseorang yang tidak ingin dilihatnya kebetulan berada di tempat.

"Tidak apa-apa, cuma demam biasa. Cukup istirahat yang banyak dan minum obat teratur juga pasti bisa cepat sembuh," tutur dokter muda itu seraya menghampiri Hakim yang berdiri dari duduknya di sofa ruang keluarga. Dr. Adam D.A, begitu name tag yang terukir di baju kebanggan si pemuda. D.A singkatan dari Dzaky Almer.

"Syukurlah. Aku kaget banget dia tiba-tiba berkeringat banyak terus dingin panas begitu." Hakim bersyukur dan kembali mendaratkan bokongnya, lega karena Kinan hanya terserang demam biasa.

"Makanya nikah lagi biar loe sama anak ada yang urus," kelakar Adam sembari mendaratkan bokongnya pada sofa di samping Hakim. Ia melepas jas kebanggannya itu dan ditaruh sembarangan pada punggung sofa.

"Aku …, melamarnya lagi, Dam. Kayaknya aku sudah gila," tutur Hakim tiba-tiba. Menyuarakan hal yang membuatnya sesak.

"Dia? Maksud loe cewek yang loe suka, kakak dari almarhum istri loe itu?" tanya Adam sedikit terkejut. Adam tahu jika sahabatnya ini memiliki seseorang yang disukai di belakang istrinya, terlebih orang itu adalah kakak dari almarhum istrinya sendiri. Tapi ia tidak menyangka jika duda ganteng ini akan mengutarakan perasaannya lagi setelah tiga tahun beralalu.

Hakim mengangguk sebagai jawaban. Adam memang mengetahui banyak hal tentang dirinya, ia tidak segan-segan bercerita masalahnya pada sahabat yang ia temui dua tahun lalu itu. Adam ini dokter yang menangani perawatan Ratna, istrinya. Entah bagaimana, tiba-tiba saja keduanya menjadi dekat begitu saja dan saling berbagi kisah dan menjabat strata persahabatan.

"Loe gila, ya. Udah lama, gue kira loe udah lupa. Loe ngelamar dia gitu aja tanpa tanya dulu apa dia udah ada calon atau enggak? Dan loe gak mikirin gimana perasaan Ratna di atas sana?"

"Tahu. Dia sudah ada yang ngelamar. Tapi karena masalah surat itu, sepertinya dia bimbang lagi, dan sepertinya ini kesempatan yang disediakan untukku bisa memulainya kembali dari awal," jawab Hakim lesu. Dirinya tahu jika gadis itu sudah ada yang ngelamar dan abah sepertinya cocok dengannya. Karena ia tahu, bila masalah ini terungkap pastinya ada lamaran yang dipertimbangkan oleh Ratih. Entah kenapa istrinya ingin kakaknya mengetahui segala sesuatu tentangnya ketika sedang dikhitbah oleh seseorang. Apa tujuannya, Hakim sungguh tidak mengerti.

"Kim, gue tahu loe sakit tapi gak nyangka kalo loe sampai segila ini. Loe tahu betul, 'kan bahwa kita dilarang mengkhitbah di atas khitbahan saudara kita sendiri? Janganlah seorang laki-laki mengkhitbah wanita yang sudah dikhitbah saudaranya, kecuali saudaranya itu telah meninggalkannya atau memberinya izin, hadist riwayat Bukhari. Dan juga gue gak ngerti kenapa istri loe menulis surat semacam itu dan membuatnya menjadi rumit begini."

Hakim tertunduk. Ia tahu betul hadist larangan itu. Tetapi dirinya seolah diberikan kesempatan oleh Ratna tapi tidak juga diberikan izin untuk mencapainya. Barangkali, dirinya salah paham dengan pesan yang gadis itu ucapkan padanya di kala terakhir sebelum menutup mata. Atau barangkali pula, ingatannya telah memburam dan hanya mengingat perizinan yang diberikan untuk mempersunting si pujaan hati. Ah, semakin pening saja kepala Hakim dibuatnya.

"Adam mau minum apa? Hakim juga mau apa? Biar, Ibu bawakan," tawar seorang perempuan yang baru saja keluar dari kamar Kinan. Dia adalah Tania, ibu tiri Hakim yang bahkan tidak pantas disebut sebagai ibu mengingat usianya hampir sepelantaran, perempuan itu lebih pantas menyandang gelar kakak ketimbang ibu. Hakim mengacuhkannya.

Adam melirik ke arah Hakim yang begitu acuh, ekspresi pria itu bahkan berubh jadi sangar. "Enggak usah repot-repot, Tante. Adam bentar lagi juga pergi, kok. Ada jadwal operasi sebentar lagi," tolak Adam dengan beramah tamah. Sebenarnya ia merasa tidak enak pada perempuan yang menyandang gelar ibu tiri sahabatnya ini, tetapi ia tetap memperlakukannya dengan baik.

Mata teduh perempuan itu redup, menyadari betul jika kehadirannya masih tidak bisa diterima dengan lapang. Meski begitu, ia akan tetap berusaha menjadi seorang ibu yang pantas bagi pria yang tidak lagi muda itu. Ia mengambil langkah dan ikut duduk, bergabung dengan kedua pria itu. "Kinan terus memanggil seseorang. Sebaiknya kamu panggilkan orang itu. Mungkin dengan begitu, Kinan bisa cepat pulih."

Hakim mengangkat pandangan ke arah Tania, melayangkan sorot tanya dan dibalas dengan jelas dan tanya, "Tante bunda, katanya. Dia siapa?"

Hakim kembali membuang pandang, tak berniat memberikan jawaban atas tanya yang dibiarkan menggelantung pada udara. Sementara Adam hanya memperhatikan, tidak berniat masuk dalam obrolan keluarga yang belum akur itu. Daripada menjadi nyamuk dengan tingkat kepekaan akan bahasa manusia yang tinggi, Adam lebih memilih pergi saja.

"Eee …, kayaknya gue balik sekarang deh, Kim, Tante. Gue pergi, ya. Entar kalau ada apa-apa sama Kinan langsung hubungin gue," pamit Adam dan menyalami Hakim dengan kepalan tinju yang saling beradu, salam khas milik mereka berdua.

"Oke deh. Makasih banyak, yah. Entar aku kabarin lagi."

"Siip. Mari Tante. Assalamu'alaikum."

Lantas, Adam melesat pergi setelah mengucapkan salam.

"Kinan membutuhkan kehadiran sosok seorang ibu di usianya yang masih sangat belia ini. Ia butuh perhatian dan kasih sayang dari seorang ibu. Aku harap, kamu mau mempertimbangkan untuk menikah lagi. Ini demi Kinan. Perempuan yang direkomendasikan Ayahmu sepertinya akan cocok." Tania kembali bersuara tidak lama setelah deru motor Adam lenyap dari pendengaran.

Hakim melayangkan sorot mata tak suka dan membuat Tania menundukkan pandangannya menghindari tatapan anak tirinya itu. Dirinya selalu ciut bila berhadapan dengan Hakim, pria itu terlalu memberikan tekanan kuat padanya. Ia mafhum jika Hakim tidak menyukainya, tetapi bukankah tidak perlu sampai melayangkan kebencian senyata itu tiap kali dirinya bersuara atau hanya berada dalam jarak pandang pria itu.

"Urusanku dan anakku tidak perlu kamu campuri. Urusi masalahmu sendiri. Dan kurasa, kamu sudah bisa pulang sekarang, nona Tania," ucap Hakim dengan penuh penekanan. Entah mengapa, setiap kali melihat Tania, desir amarah selalu membakar dirinya. Ia selalu ingin melontarkan cacian pada ibu mudanya itu. Alasannya, Hakim sendiri tidak mengerti jelas, entah itu karena perempuan ini mengisi kekosongan tempat yang ditinggalkan ibunya ataukah karena hal lain.

.

.