"Benar juga. Gak baik kalau anak gadis pulang terlaru larut. Pulang bareng siapa, Rat?" tanya Tante Ayu lagi menyayangkan kepulangan Ratih. Ia merasa sangat berkesan dan nyaman saat bersama Ratih. Sopan santun serta tutur kata gadis itu yang pandai membawa diri.
"Kalau gitu, bareng Mbak aja, Rat. Lagian juga tadi Mbak yang ngundang kamu ke sini," tawar Mbak Liana yang duduk di dekat suaminya—Mas Fatih—lalu meminta persetujuan dengan gerakan kepala, "Iya, ya, Mas?" Dan dibalas anggukan oleh suaminya itu.
"Nggak usah, Mbak. Biar nanti Ratih pulangnya sama Nilam aja. Lebih nyaman," cegah Nilam lugas seolah tak membiarkan temannya pulang dengan orang lain selain dirinya. Apalagi sahabatnya ini, 'kan orang yang tidak enakan mendapat bantuan pada hal yang masih sanggup dilakukannya sendiri.
"Nggak Tante Cantik pulangnya bareng Danu dan papa mama. Danu sudah janji tadi mau anterin pulang," beo Danu tak mau kalah. Dirinya sudah berjanji akan mengantar pulang Kakak Cantiknya itu.
"Terima kasih semuanya. Ratih pulang naik taxi aja," tolak Ratih tidak enak.
"Nggak boleh, Rat."
"Nggak boleh, Tante cantik."
Ucap Danu dan Nilam bersamaan dengan nada tegas. Semua pasang mata memandang kedua orang beda usia itu heran, berdebat siapa yang akan mengantar Ratih pulang.
"Neng gelis, jangan pulang sendiri. Sudah mau larut gini, gak baik, kita tidak tahu apa yang akan terjadi di perjalanan. Neng Gelis tinggal di mana?" Eyang angkat suara setelah lelah menyaksikan perdebatan kecil antara menantu dan cicit kesayanag.
"Kebayoran baru, Eyang," jawab Ratih.
"Nah, 'kan, Nilam sama Danu arah pulangnya bertolakan. Kalian pulangnya masing-masing saja. Biar nanti Ratih, Azzam yang ngantar," cetus Eyang menyelesaikan perdebatan kecil yang sepertinya tidak akan berakhir itu.
"Rat, loe tinggalnya bareng sama Erlina, kan?" Ratih mengangguk. "Ya udah, biar gue yang anterin. Sekalian ada urusan juga sama Erlina."
"Apaan sih, orang Eyang mintanya saya yang anter. Memang kamu ada urusan apa sama anak gadis orang jam segini?" sela Azzam segera, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan sang Eyang tercinta.
"Ada ... urusan kerjaan kok."
"Mana ada atasan ngasih kerjaan karyawannya di jam segini saat di luar jam kantor," sahut Azzam tak mau kalah.
"Bilang aja kamu mau modus, Ran!" tukas Nilam.
"Ayuklah." Azzam bangkit. Menciumi tangan Ayu dan Zafran bergantian yang mana raut heran keduanya terlihat jelas di wajah mereka. "Pa, Eyang, Azzam anter Ratih dulu, yah." Lalu Azzam beralih menyalami Karim dan Mas Fath. "Yok Mas, Rim. Saya duluan, yah."
"Ratih gak pa-pa dianter Kak Azzam aja?" Nilam bertanya khawatir.
"Ya sudah. Gak pa-pa. Makasih, yah." Ratih mengelus lengan Nilam untuk meyakinkan sahabatnya itu bahwa ia baik-baik saja, kemudian beralih menyalami Eyang, Tante Ayu dan Mbak Liana, sementara untuk yang laki-laki, Ratih hanya menelungkupkan kedua tangannya depan dada.
"Mas Azzam, aku ikut, ya. Aku gak bawa mobil," celetuk gadis muda yang tadi hanya diam memperhatikan. Dia adalah Khayra Okta Zahra, yang memperkenalkan dirinya sebagai teman SMA Azzam dan Zibran. Gadis ramah dan welcome pada siapa pun itu, bahkan ia begitu baik pada Ratih yang baru dikenalnya saja. Okta juga sangat cantik dengan bentuk wajah square, bulu mata lentik dengan sorot yang tajam serta bibir bawah berisi dan memiliki gingsul yang manis, dilengkapi dengan style pakaiannya yang serasi.
"Rumah kamu, 'kan berlawanan sama arah kami. Nanti kamu diantar sama Zibran saja, ya. Kalian, 'kan searah." Setelah menolak, Azzam langsung saja pergi di susul dengan Ratih setelah mengucapkan salam perpisahan dan terima kasih yang tiada habisnya.
~***~
Mobil Avanza Xenia putih kebanggaan Azzam itu melesat dengan kecepatan 25 Km/jam. Pelan mobil itu melaju diantara pengemudi jalan lainnya yang melaju dengan kecepatan lebih. Ini untuk yang pertama kalinya ia berdua saja di dalam mobil dengan seorang perempuan selain mamanya. Dan ini untuk yang kedua kalinya gadis itu menumpang mobilnya setelah yang pertama bersama dengan sahabatnya, Erlina, sewaktu pulang dari acara resepsi pernikahan Nilam dan Karim.
Hening yang canggung meliputi keduanya, hanya terdengar deru mesin serta desau angin di luar jendela. Azzam yang tidak tau bagaimana membuka percakapan dan Ratih yang tak nyaman berdua saja dengan lawan jenis, meski pria di sampingnya ini telah melamarnya tapi karena belum memiliki ikatan halal, jelas itu membuat Ratih tidak nyaman berlama-lama.
"Ekhem, Ratih kok bisa sih berada di rumah? Kok gak dikabarin kalau berada di sana?" Azzam bertanya untuk sekedar mencairkan hening di antara keduanya.
"Aah, tadinya hanya mengantar Danu pulang. Tapi malah tidak diizinin pulang sama Eyang dan Mbak Eliana," jawab Ratih seadanya.
"Ooh."
Lalu hening kembali meraja. Tidak ada topik lanjutan, seolah pembahasan basa-basi Azzam dititik mati oleh jawaban Ratih.
"Mau makan es krim, gak?" tawar Azzam.
"Nggak perlu, Mas," tolak Ratih halus.
"Salah. Harusnya kamu bilang, nggak bisa nolak kalau ada."
Ratih terkekeh. "Emangnya ada, Mas?"
"Ada. Bentar, tepiin mobil dulu."
Setelah memarkirkan mobil di depan toko In*domart. Azzam mengajak Ratih turun dan duduk di kursi santai depan toko, sementara dirinya melesat ke dalam toko dan membeli dua buah es krim Cornetto rasa cokelat lalu diangsurkan ke Ratih.
Ratih menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Setidaknya mereka tidak menikmati es krim di dalam mobil juga.
"Aku dengar dari Mbak Nilam, kamu membantu Eyang membawa belanjannya," ucap Azzam setelah membuka tutup bungkus es krim miliknya.
Ratih yang masih membuka bungkusan es krimnya, menjawab sadanya, "Bukan apa-apa kok, Mas. Cuma kebetulan aja. Kasian liat Eyang yang waktu itu bawa belanjaan sebanyak itu sampai jalannya terseok-seok gitu."
Azzam mengangguk, menyantap es krimnya dengan khidmat sebelum bertanya kembali, "Waktu itu, kapan?"
"Sepulung dari Ruella's Pudding hari itu, Mas."
"Ooh, saat aku ngajuin proposal khitbahan, ya. Ada untungnya juga kamu menolak tawaranku mengantar." Azzam tersenyum mengingat bagaimana dirinya hari itu, saat menyerahkan proposal lamarannya dengan gugup.
"Kenapa?"
"Iya. Aku ngerasa, seolah garis takdir kita mulai tampak dari sana. Aku percaya banget kalau kamu adalah takdir yang ditentukan Allah untukku," tutur Azzam dengan senyum malu yang berusaha di sembunyikan. Tak bisa ia pungkiri, jika kini hatinya semakin bertabuh menyarakan genderang asmara.
Begitu pula dengan Ratih, jantungnya berdebar-debar dan rona kemerahan pada wajahnya muncul seketika. Desiran manis itu kembali bertandang pada hatinya yang sedang terluka, seolah itu merupakan penawar yang didapat secara tidak sengaja dan cuma-cuma.
"Soal lamaran Mas Azzam itu. Sepertinya bisa Ratih jawab setelah bab tesis terakhir Ratih tuntas," tutur Ratih ragu-ragu. Ia masih tak bisa menjawab, terlebih masalah Ratna yang baru saja menimpanya membuat dirinya tidak bisa mengambil keputusan dalam sekali pikir.
"Tidak apa-apa. Saya bisa nunggu kamu sampai hatimu mantap padaku. Aku percaya, apa pilihanmu nanti, itulah yang terbaik menurutmu. Kamu memang harus memikirkannya dengan matang-matang, karena ini menyangkut kehidupanmu seterusnya sampai jiwa terpisah dari raga. Dan sebagai kawan untuk menuju Jannah-Nya. Aku berharap kamu tidak salah pilih."
Mendengar penuturan Ratih yang barangkali memiliki kebimbangan dalam hatinya, membuat Azzam mengingat bagaimana Hakim—yang dikenalnya sebagai adik ipar gadis ini melamarnya siang tadi. Entah apa yang terjadi pada mereka sehingga membuat pria itu berani mengutarakan perasaannya pada kakak iparnya sendiri. Azzam ingin bertanya, tapi tidak bisa ia lakukan sebab tak ingin menyinggung sesuatu yang belum pantas untuk diketahui olehnya. Biarlah ia tanya nanti bila waktunya sudah tiba.
"Pulang sekarang?"
.
.