"Iya Eyang. Ini Ratih. Tidak menyangka bisa bertemu Eyang di sini."
"Ini Kakak Cantik, Eyang. Kakak yang sering Danu ceritaiin, yang ngajarin Danu banyak hal di Taman Baca itu." Danu memotong pembicaraan dengan antusias memperkenalkan Ratih pada Eyangnya.
"Begitu, Cah bagus? Masya Allah, takdir apa kita dipertemukan seperti ini. Ayo masuk Neng gelis, ayo," ajak Eyang merangkul pundak Ratih.
"Sepertinya lain kali, Eyang. Sudah mau petang juga." Ratih balas menahan gerakan Eyang.
"Ndak, ndak. Tidak ada hari lain Neng Gelis. Mumpung sudah di sini sekalian saja makan malam di sini. Hari ini Neng Gelis jadi tamu spesial undangan Eyang." Tangan Eyang yang tidak lagi kuat itu sedikit memaksa Ratih untuk melangkah masuk, tapi gadis itu tidak bergeming di tempatnya.
"Iya, kakak Cantik. Ayo makan malam bareng di sini dulu. Nanti Danu anter Kakak Cantik pulang deh. Meski sudah malam, Danu ini anak pemberani. Akan Danu hajar siapa pun yang berani gangguin Kakak Cantik," ucap Danu percaya diri dengan berpose laiknya superhero yang entah sejak kapan sebelah tangan mungilnya telah bergelantungan pada lengan Ratih.
Baru saja Ratih hendak menolak lagi ketika Mbak Liana datang dari dalam rumah. "Sudah datang, Rat? Ayo masuk, bantuin Mbak siapin makanan. Makan malam di sini dulu baru balik. Ayo."
Mbak Liana ikutan hendak menarik tubuh gadis itu, mengambil alih posisi Eyang barusan yang merangkul pundaknya.
"Tapi, Mbak."
"Sudah ayo. Nilam juga akan ke sini nanti. Nilam sahabat kamu, kan?" Mbak Liana memaksa dengan menyebut nama Nilam, sahabatnya itu. Jika Nilam akan ke sini, berarti bisa saja ini keluarga mertuanya gadis itu, pikir Ratih. sepertinya tdak masalah ia ikut gabung jika sahabatnya itu juga akan ada di sini.
"Tidak apa-apa Ratih gabung? Sepertinya akan ada acara keluarga besar."
"Ah, keluarga besar apanya, Neng? Bukan apa-apa kok, Gelis. Hanya kumpul keluarga sekali sebulan saja. Eyang akan sangat senang jika Neng gelis mau menerima undangan Eyang yang tua ini."
Setelah didesak terus-menerus, akhirnya Ratih mengalah. Tak enak bila harus menolak lagi setelah didesak seperti itu. Terlebih ia mendadak jadi tamu spesial yang diundang langsung sang pemilik rumah.
Akhirnya Ratih menjejalkan kakinya ke dalam rumah yang tak kalah memukaunya dari penampakannya di luar. Ia mengikuti jejak Mbak Liana menuju dapur. Tadinya Eyang mengajaknya untuk iku ke belakang rumah, tapi ditolak lantaran tak enak. Ia memang tamu di sini, tapi akan canggung sekali rasanya bila ia tidak ikut membantu sementara yang lain sedang sibuk bekerja menyiapkan makanan. Sementara Danu mengikuti jejak Eyangnya menuju halaman belakang rumah yang sepertinya juga sudah ramai dipenuhi banyak anggota keluarga yang lain. Terdengar tawa yang saling bersahutan karena hokian seseorang.
Ah, betapa ramainya keluarga ini. semua anggota keluarga ini tetap terjalin dengan baik dan harmonis. Tidak seperti kebanyakan konglomerat lainnya, yang seolah keharmonisan dalam keluarga adalah suatu kemustahilan lantaran mengumpulkan pundi-pundi rupiah jauh lebih penting.
Ketika sampai di dapur, Ratih kembali dibuat tercengang dengan dekorasi mewah ruangan ini, terlihat begitu mewah dan elegan dengan pencahayaan yang terang dari jendela besar yang menampakkan kebun sayuran. Tapi tidak diperlihatkan keterkejutannya itu. Di sana, ia mendapati tiga perempuan beda usia tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Seorang perempuan dengan gamis sederhana dan celemek hitam yang membalut tubuhnya sedang berkutat dengan bumbu masakan. Satu lagi perempuan berdaster dengan jilbab jadi sepanjang dadanya sibuk memotong daging sapi, daging ayam dan ikan. Seorang lagi, gadis muda yang usianya lebih muda dari Ratih sedang memetik beragam sayuran yang sepertinya baru di petik.
"Ma, Liana bawa teman. Mentor yang mengajari Danu di Taman Baca yang waktu itu Liana ceritaiin. Kenalin ini Ratih, Ma," ucap Mbak Liana pada seorang perempuan yang tadi berkutat dengan pengolahan bumbu makanan. Perempuan yang dipanggil Mama itu menoleh dengan senyum yang terpahat manis pada wajahnya. Dari gurat wajahnya, Ratih bisa taksir jika usianya baru menginjak kepala 5 atau 6. Perempuan itu pergi ke arah wastafel untuk mencuci tangannya lalu kembali pada Mbak Liana dan Ratih.
"Assalamu'alaikum, Tante." Ratih menyalami perempuan itu seperti yang ia lakukan pada Eyang dan disambut dengan usapan lembut pada bahunya. Diam-diam Ratih kagum akan pembawaan perempuan di hadapannya ini. Tenang, anggun, serta wibawa menyatu dalam dirinya yang terlihat hanya dengan sekali pandang saja.
"Wa'alaikumsalam. Tidak perlu terlalu sopan begitu. Tante ini ibu mertunya Liana. Panggil saja tante Ayu, atau senyamannya kamu aja."
"Baik Tante. Terima kasih."
"Ternyata Ratih juga, Ma yang bantuin Eyang bawain barangnya waktu Eyang pergi sendiri itu, yang katanya dibawaiin sampe depen gerbang itu lho, Ma." Mbak Liana berkata girang, menyampaikan kisah heroik Ratih pada Eyang kesayangan mereka.
"Oh ya? Masya Allah, gak nyangka bisa ketemu penyelamat Eyang. Terima kasih banyak, ya kamu sudah repot-repot bantuin Eyang yang tidak kamu kenal di saat semua orang hanya sibuk dengan keperluannya masing-masing."
"Itu bukan apa-apa, Tante. Lagi pula waktu itu sekalian saja karena tujuan saya searah dengan Eyang."
"Rendah hati sekali kamu, Nak. Ayo, Liana, bawa Ratih ke belakang. Biar ngobrol sama Eyang." Dipegangnya pundak Ratih lembut oleh Tante Ayu, senyumnya kian mengembang melihat bagaimana keanggunan dan ketenangan Ratih begitu kokoh saat berhadapan dengannya.
"Tidak mau dia, Ma. Maunya bantu-bantu di sini. Tidak enak katanya diundang dadakan dan tidak sempat bawa apa-apa."
"Iya, Tante. Saya bantu-bantu di sini saja. Sepertinya juga masih banyak kerjaan yang butuh tenaga bantuan."
"Tidak apa-apa Ratih bantu? Ratih tamu lho di sini," tanya Ayu memastikan.
"Tidak apa-apa, Tante. Saya malah bersyukur jika Tante mau menerima bantuan tenaga saya yang tidak seberpa ini."
"Ya sudah kalau begitu. Bik Sumi, Dara, ke sini sebentar," Panggil Ayu pada kedua orang yang tadi masih sibuk dengan peerjaannya itu.
Tergopoh kedua orang beda usia itu menghampiri Ayu setelah buru-buru mencuci dan mengelap tangannya.
"Kenapa, Buk?" tanya wanita berdaster, yang usianya jauh lebih tua dari Ayu.
"Kenalin ini, Ratih. penolong Eyang. Dia di sini sebagai tamu, tapi katanya mau bantu-bantu. Lalu Ratih, ini Bik Sumi dan ini Dara, kemenakennya dari kampung. Kamu kalau butuh apa-apa, minta tolong saja sama mereka ya," ujar Ayu memperkenalkan dua pekerja rumahnya pada Ratih.
Dan Ratih mengangguk saja dan berjabat tangan dengan keduanya. Ratih hendak menciumi tangan Bik Sumi tapi ditahan oleh wanita itu seraya menggelengkan kepala, maka jadilah hanya berjabat tangan saja.
"Ratih bisa, 'kan ngeracik bumbu?" Ratih mengangguk sebagai balasan. "Kalau begitu kamu bantuin tante masaka aja ya sama Liana."
Sekali lagi Ratih mengangguk patuh. Lantas mereka bubar dan kembali pada kerjaan masing-masing. Ratih ikut dengan Ayu dan Liana, membantu mereka memasak.
"Ini mau masak apa aja, Tante?" tanya Ratih saat tangan Ayu sedang memasukkan beberapa jenis bumbu makanan ke dalam blender untuk dihaluskan.
"Masakan rumah biasanya. Pecel sayuran, rendang, dendeng, sup, olahan masakan ayam sama ikan juga," jelas Ayu. Tangannya menekan tombol on pada blender, deru bunyi mesin penggiling bumbu itu memenuhi ruangan.
"Yu ..., Ayu! Di mana Azzam? Kenapa belum pulang? Sudah kamu telepon dia?" tanya Eyang runtun yang baru saja memasuki dapur.
Ah rupanya ada juga yang bernama Azzam di keluarga ini.
.
.