"
"Adik cantik kenapa nangis, heum?" Ratih berjongkok di samping anak itu, mensejajarkan wajahnya dengan mata sembab berderai tangis, meraih pipi gembil yang basah dan memerah, mengusap jejak air mata yang belum juga mereda.
"Dia mau gamis yang ini, tapi yang warna merah muda." Tanpa ditanya, Santi sigap menjawab, seolah tahu jika anak itu tidak akan menjawab apapun meski ditanya.
"Sudah dicek ke gudang, San?" tanya Ratih mengalihkan pandangan ke Santi, mencari kebenaran yang pasti.
"Sudah. Stoknya sudah habis kemarin."
Ratih diam sejenak, ia mengingat gamis model itu yang berwarna merah muda tersisa satu dan dibeli oleh sepasang pasutri kakek-nenek yang akan berkunjung ke rumah cucunya. Sebagai hadiah, katanya.
Ratih kembali memusatkan fokus pada anak yang tangisnya tiada reda itu. Tersenyum hangat sembari jemari lentiknya menghapus bulir bening yang terus berjatuhan. "Adik manis namanya siapa? Adik manis mau denger cerita tidak? Cerita bidadari yang saaangat cantik jelita. Bidadari itu tinggal di bumi, lho. Adik manis tau tidak ceritanya?"
"Rara."—Agak ragu dia menjawab, mengingat kakak penjaga toko ini sok akrab dengannya. Tapi tangis anak itu mulai mereda, meski air mata terus bergulir membasahi pipi gembilnya—"Bidadari itu, 'kan cuma ada di surga," lanjutnya di tengah-tengah sesenggukannya.
"Siapa bilang bidadari cuma ada di surga. Bidadari juga ada di bumi, loh. Bahkan jauh lebih cantik dari bidadari surga."
"Papa bilang bidadari itu cuma ada di surga, tapi lebih cantikan mama." Anak itu berkata polos, tidak ingin perkataan papanya seolah disalahakan begitu saja. Ia sudah tidak lagi menangis, pipinya masih memerah. Dengan telaten Ratih mengusap pipi gembil yang basah itu. Anak itu mulai tertarik dengan perkataan Ratih.
"Coba deh tanya sama mama. Apa yang kakak bilang itu benar tidak?"
Anak itu menoleh pada mamanya, seolah mencari jawaban yang di maksud kakak asing ini. Mamanya mengangguk saja membenarkan, "Benar, Sayang. Bidadari itu juga ada di dunia."
"Tuh, kan. Rara tahu jika bidadari di Surga itu suka mengenakan gaun warna merah muda, makanya Rara pengen gamis yang merah muda juga?"
Agak ragu anak itu mengangguk, pasalnya mungkin papa tidak pernah menyinggung soal warna gaun kesukaan bidadari Surga, atau mungkin papa lupa memberitahunya.
"Tapi bidadari di dunia sukanya sama warna biru muda, loh. Sama kayak langit yang cerah dan benderang seperti langit kota kita di luar sini."
Sebelah alis anak itu terangkat. Heran. Belum paham betul dengan pernyataan kakak cantik dihadapannya ini.
"Rara tidak percaya?"—Ratih mengambil baju yang dipegang Santi, mendekatkannya ke tubuh gadis cilik itu dengan tangan kiri, sementara tangan kanan meraih ponsel di saku lantas menekan aplikasi kamera. Mengarahkan fokus kamera depan pada tubuh si anak dari atas rambut hingga sebatas pinggang—"Coba nih lihat, bidadarinya cantik sekali, kan? Masih kecil saja sudah secantik ini, apalagi besarnya nanti."
Anak itu tertawa, memperlihatkan gigi kelincinya. Merasa baru saja digombali kakak-kakak cantik jomblo yang belum juga menikah.
"Kalau sudah besar nanti, Rara bisa jadi bidadari cantik seperti kakak dong. Bidadarinya dunia yang suka gamis warna biru muda seperti langit."
Ratih tertegun, sedikit merona wajahnya. Merasa digombali balik oleh anak kecil semanis ini. Baru sadar jika dirinya juga mengenakan gamis warna biru muda dengan kerudung tosca panjang. Ratih tertawa kikuk, Santi dan mama anak itu juga ikut tertawa. Beberapa pengunjung lain yang memperhatikan ikut tersenyum.
"Assalamu'alaikum." Sontak suara baritone mengalihkan fokus, suasana mendadak jadi sedikit canggung.
"Wa'alaikumsalam. Mas Azzam? Sejak kapan di sini?" tanya Ratih seraya berdiri, Ia tidak menyadari kehadiran pria yang tahu-tahunya sudah berdiri tidak jauh di belakangnya.
"Sejak tadi," jawab Azzam sekadarnya dengan menampilkan senyum. Di belakangnya, mengekor seorang perempuan yang Ratih kenal bernama Okta. Gadis yang dikenalnya saat di rumah pemuda itu.
"Mbak Okta juga di sini?" Ratih berbasa-basi menyapa saat gadis itu telah berdiri di samping Azzam. Heran, mengapa dua orang ini bisa berada di sini.
"Hai, Ratih. Kita ketemu lagi." Okta mengulurkan tangan kepada Ratih dan disambut canggung. Sebagai bentuk salam hormat terhadap sesama muslimah.
Ratih diam-diam merasa denyir aneh dalam dadanya. Dua orang yang berdampingan di hadapannya ini terlihat sangat amat serasi, siapa saja yang melihat pasti akan mengira jika kedua orang ini datang untuk melakukan fitting baju pernikahan. Yang pria sangat amat tampan dan perempuannya juga teramat sangat cantik.
"Saya mencari, Mbak Zakia. Apa beliau ada di dalam?" tanya Azzam mengutarakan tujuannya kemari.
"Waah, itu pangerannya bidadari cantik, yah? Tampan yah, Ma?" celetuk si Rara menggemaskan pada Mamanya.
"Rara juga mau minta sama Allah biar dikasih pangeran setampan itu," lanjutnya polos dengan mata bulat jernihnya yang mengamati wajah Azzam. Perempuan yang disebut mama hanya terdiam dengan senyum kikuk, mungkin tidak mengira jika putri cantiknya bisa bicara begitu.
Hening sejenak, lantas detik berikutnya penuh dengan derai tawa.
Garis rona kemerahan muncul di wajah Ratih. "Mari, Mas, Mbak. Saya antar ke ruangannya, Mbak Zakia."
Ratih berlalu mendahului, menuju ruang Mbak Zakia yang terletak di lantai dua, melewati rak-rak pakaian dengan memutar arah. Azzam dan Okta mengekor di belakang.
Sesampainya di depan ruangan Mbak Zakia, Ratih mengetuk pintu dan menyebutkan jika ada yang mencari. Setelah dipersilakan masuk kedua tamu tersebut, barulah Ratih kembali.
Deringan ponsel di saku gamis menghentikan langkah Ratih saat meniti turun anak tangga. Tertera nomor Hakim di sana. Kontak pria itu memang tidak di save, tapi Ratih dapat mengenalinya dari tiga digit nomor akhirannya.
"Wa'alaikumsalam," balas Ratih setelah mendengar kalimat salam itu terdengar kala mendekatkan ponsel ke telinga.
'Ratih? Boleh minta tolong?" ragu Hakim bertanya, pasalnya ia merasa segan untuk menghubungi gadis ini mengingat bagaimana pertemuan terakhir mereka.
"Ada apa, Mas?"
"Kinan sakit dan dia terus manggil kamu. Aku tidak tahu harus berbuat apa, tubuhnya masih panas dingin meski sudah dberi obat," jawab Hakim. Terdengan kekhawatiran yang pekat dari nada suaranya dan Ratih bisa merasai betapa besar cintanya pada putri semata wayangnya itu.
"Kinan demam? Kok bisa?" Ratih ikut merasa khawatir.
"Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba aja dia panas dingin terus berkeringat banyak. Wajahnya memerah. Kinan terus memanggilmu, bisakah datang untuk menghiburnya sebentar saja?"
Ratih bungkam, tidak tahu harus menjawab apa. Dirinya ingin sekali menemui Kinan, tetapi ia juga tidak ingin bertemu dengan Hakim. Hatinya masih saja terasa sakit bila ia mengingat Hakim, apalagi sampai bertemu lagi.
Seolah paham akan kebungkaman lawan bicaranya, Hakim buru-buru menjelaskan, "Aku akan ke kantor sebentar dan Kinan hanya akan ditemani bik Asih. Kuharap kamu bisa menemuinya meski sebentar saja."
"Iya, Mas. Nanti aku ke sana setelah salat Zuhur."
Akhirnya Ratih mengalah, toh juga Hakim akan pergi. Ia tidak akan bertemu dengan pria itu.
Ratih mematikan sambungan telepon setelah mengucap salam.
~***~
Ratih menatap nanar pada seonggok tubuh yang terbaring rapuh di atas tempat tidur. Ia melangkah mendekat dan duduk di sisi ranjang. Tangannya yang mulus menyentuh kening Kinan yang tertidur dengan mata yang mengernyit seolah sedang menahan sakit setelah menyingkirkan handuk yang mengering di sana. Panas menjalar seperti aliran listrik di tangan Ratih.
Kemudian tangannya membasahi handuk itu lalu memeras airnya pada baskom di atas nakas lantas mengangsurkannya kembali ke kening Kinan. Kini tangannya beralih mengelus lembut pipi gembil Kinan lalu berbisik pelan menyebut nama gadis cilik itu.
Kinan perlahan membuka matanya hanya sedikit. Kepala yang berdenyut hebat membuatnya tidak kuat berlama-lama membuka mata. Samar-samar terlihat raut wajah yang teramat mirip dengan bundanya itu tengah khawatir. Terasa tangannya dipegang erat seolah memberikan kekuatan untuk melawan sakit yang menyerang. Kinan menyunggingkan sedikit senyum yang terlihat miris.
"Bunda? Tante bunda? Inan lindu."