Chereads / Akad Yang Tak Berjodoh / Chapter 31 - Bab 31 [Serangkaian Kepiluan]

Chapter 31 - Bab 31 [Serangkaian Kepiluan]

Bila

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa Ratna tak juga menemuinya setelah dua tahun ia tinggal di kota yang sama? Ada apa dengan para pekerja rumah Hakim yang seperti menolak memberitahunya prihal adik tersayangnya itu? Kenapa pula Kinan berkata Ratna telah pergi ke Arasy? Mungkinkah Ratna mengetahui sesuatu yang terjadi antara dirinya dan Hakim di masa lalu hingga ia marah dan enggan bertemu. Atau barangkali, adiknya itu memiliki kesibukan yang membuatnya tak memiliki waktu barang untuk berteleponan sebentar. Dan mungkin begini, jangan-jangan begitu. Semua spekulasi-spekulasi tak mendasar timbul merecoki. Kian kusut benang masalah tentang suatu yang tidak diketahuinya itu.

Ratih tersadar ketika dering handphonnya berbunyi, sebuah dering yang khusus disetel untuk malaikat tak bersayapnya seorang. Lekaslah ia menjawab panggilan itu dan mendekatkan gawainya dekat telinga.

"Assalamu'alaikum, Nduk?" Bergetar suara di seberang mengucapkan salam.

"Wa'alaikumsalam, Umi." Setenang mungkin Ratih menjawab.

"Nduk? Pulanglah sebentar, biarkan Umi membalas rindu padamu. Abahmu pun ingin melihat wajah ayumu, tak bisa tidur ia dibuatmu. Pulangnlah barang beberapa hari lalu kembali lagi. Sudah tidak tahan Umi akan kerinduan ini."

Hati Ratih merasa nyaman, kembali ia temukan ketenangan dari suara lembut milik Uminya. "Nggih, Umi. Besok pagi-pagi sekali, Ratih akan pulang. Rindu sangat Ratih pada abah dan Umi."

"Iya, pulanglah, Nak. Ada pula yang hendak didiskusikan Abah denganmu. Hanya menanti kepulanganmu barulah selesai perkara ini."

"Perkara apa, Umi?"

"Biarlah besok kita bahas di sini. Umi tunggu kepulanganmu."

"Nggih, Umi."

"Hati-hati di jalan pulangmu ya, Nak. Ridho abah dan Umi selalu menyertaimu. Assalamu'alaikum."

"Terima kasih banyak, Umi. Wa'alaikumsalam."

Ratih mematikan sambungan telepon. Ia pandangi wallpaper ponselnya yang menunjukkan gambar dirinya dengan Ratna. Foto itu diambil sudah lama sekali sebelum adiknya beralih status menjadi istri. Ia tatap lekat wajah Ratna yang tersenyum itu, manis sekali dengan lekungan kecil yang membayang pada pipi tirusnya. Membuncah kerinduannya akan Ratna.

"Assalamu'alaikum. Udah selesai teleponannya?" tanya sesepria dengan suara beratnya.

Ratih sontak menoleh sekilas sebelum kembali membuang pandang. Terkejut ia mendapati suara pria yang menegurnya dari samping tempatnya duduk.

"Wa'alaikumsalam. Ya Allah, Adam. Kebiasaan sekali ya munculnya kayak hantu," kelakar Ratih dengan wajah tenangnya.

"Ya ampun, Rat tega bener. Kamu tuh setiap kusamperin pasti timingnya selalu lagi nerima teleponan. Kalau ngeganggu pembicaraan kamu, 'kan juga gak enak," kilah Adam membenarkan tingkahnya.

Ratih menggeleng-gelengkan kepalanya. Sudah dua kali pria ini mengejutkannya dengan kehadiran yang tiba-tiba.

"Lagian, nih ya, Rat. Syukur aku duluan duduk deket kamu. Kalo enggak, tadi itu ada om om yang tampangnya serem banget mau duduk deket kamu yang lagi sibuk ngelamun. Ngelamunin apa, sih?" bisiknya pelan.

"Justru, lebih berbahaya kalau kamu yang duduk di samping saya."

"Loh kok jadi gitu?"

"Ya emang gitu."

"Coba jelasin. Aku gak ngerti kenapa justru aku yang bikin kamu berbahaya?"

"Gini, aku sama kamu itu bukan mahrom. Gak baik kita duduknya deketan gini. Terus, kamu sadar gak kalau lagi bicara suka natap wajah lawan bicara kamu itu lekat banget dan itu gak bagus."

"Bukannya itu hal yang wajar ya kalau menatap lawan bicara saat ngobrol?"

"Iya, itu hal yang wajar bila lawanmu bicara itu sesama jenis atau yang mahrommu. Seorang laki-laki dan perempuan tidak diperbolehkan saling bertatapan lama-lama, hal itu bisa menimbulkan fitnah. Dan mustahil setan gak mengirim syahwatnya padamu ataupun padaku. Itu bisa menimbulkan dosa, Dam."

"Gitu, ya? Aku kurang tahu soal ajaran agama. Makasih banyak, ya. Tapi beneran kok, aku gak ada maksud begituan." Diangkatnya jari tengah dan jari telunjuk membentuk v, tanda piss.

"Gapapa, terus juga, siapa tahu Om om yang tadi gak akan menggubris keberadaanku apalagi berbuat tidak-tidak terhadapku. Dan itu lebih aman untukku."

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, sisterillahku.

Sudah berapa lama hari berlalu saat kakak membuka surat ini? Satu tahun? Dua tahun? Saat membaca surat ini, kakak pasti telah mendengar penjelasan dari kedua malaikat kita.

Kak Ratih, hei…. Ada banyak hal yang ingin kuungkapkan padamu, kak. Ada beratus keluh ingin kuutarakan. Ada beribu maaf ingin kuucap. Dan ada berjuta kalimat penenang ingin kurampas darimu. Tapi sayang sekali, semuanya tidak akan muat dalam lembaran kertas ini.

Tapi sebelum itu, bagaimana kabarmu saat membaca surat ini, kak? Kuharap hatimu tidak sakit saat mengetahui kebohonganku. Betapa tidak patuhnya aku sebagai adikmu. Kumohon, persiapkan dirimu sebelum membaca surat ini, sebab aku tak ingin kakak jadi membenci siapapun karena ini.

Pertama-tama, kakak cantikku ini pasti kecewa betul sebab abah dan umi menyembunyikan kepergianku dari kakak dan Ardan dalam waktu yang lama. Jangan marah pada mereka, sebab aku yang memintanya. Sungguh, aku tak ingin membohongi kalian, kurasa akan jauh lebih baik jika kalian memang tidak mengetahuinya. Dan untuk bagian ini, Ratna rasa tak perlu menjelaskannya lagi, sebab abah telah memberi penjelasannya, kan.

Lalu hei … kak Ratih Anggraini Putri. Kenapa kau membiarkan dirimu terluka karena diriku? Mengapa tak kau jelaskan padaku jika seharusnya yang menikah dengan Mas Hakim adalah dirimu. Sungguh aku kecewa padamu, kak. Tapi, aku jauh lebih marah pada diriku sendiri. Mengapa aku harus meminta abah untuk melamarkan Mas Hakim untukku dengan memanpaatkan kelemahan tubuh ini. Bukankah aku memanpaatkan penyakit ini dengan terlalu baik, kak? Aku menekan abah dan menarik simpati Mas Hakim hingga ia mau menikahiku meski mengorbankan cintanya. Dan aku telah melukai kalian berdua, orang yang paling kusayang dan kucinta. Tidak seharusnya aku menjadi onak duri atas kebaikan kalian, kan?

Tapi, kak. Terkadang aku sangat bersyukur bisa menikahi Mas Hakim terlepas dari aku mengetahui kebenaran tentang cinta kalian. Perlakuan Mas Hakim membuatku terlena dan berpikir jika bukan salahku bisa menikah dengan pria sebaik dan selembut dirinya. Mas Hakim itu pembohong besar kelas kakap yang membuatku tidak menyadari betapa besar luka yang menganga pada relung hatinya. Dan itu, membuatku jauh merasa lebih sakit, kak.

Tak bisa kubayangkan bagaimana hancurnya kalian saat akad hari itu. Aku memintamu memilihkan kebaya, membuat daftar tamu undangan, mendekor kamar pengantin, bahkan segala sesuatu terkait pernikahan itu terlibat dirimu di dalamnya. Lantas, dengan congkaknya aku berbagi kebahagiaan saat hatimu sedang hancur remuk redam akibat ulahku sendiri. Kala itu, Ratna hanya berpikir tentang bagaimana kebahagiaan ini dapat menular padamu tanpa kusadari itu justru menambah lukamu.

Maka dari itu, kak Ratna harus memafkanku tanpa diembeli hukuman berdiri menghadap pohon dengan kaki diangkat sebelah dan tangan yang memgang ember berisi air penuh selama satu jam. Sebab, jika kakak melakukan itu; aku ragu bisa menerima pengampunan atas dosaku darimu.

Hai, kakak cantik. Saat ini, pasti telah ada lamaran yang sedang kau pertimbangkan, bukan? Apakah hatimu telah tertambat padanya? Telah tersingkirkan kah posisi Mas Hakim di dadamu? Jika tidak, kuharap kakak sayangku ini mau mempertimbangkan ulang untuk menikah dengan Mas Hakim untukku. Aku berharap sangat besar bila kakak bersedia menggantikan tempatku untuk mengurus dan merawat putri serta suamiku. Dan aku berharap, cintamu masih lekat untuk Mas Hakim. Aku berharap begini bukan sebagai bentuk penebusan atas dosaku. Aku tak ingin membuatnya terdengar egois setelah dengan lancangnya aku menghancurkan hatimu.

Lalu, bila hatimu telah tertambat pada sang calon suami. Ratna berdo'a semoga pria itu tidak memberikan luka padamu dan hanya akan memikirkan kebahagiaanmu. Semoga cinta kalian sampai pada jannah-Nya.

Ratna rasa cukup sampai di sini cuap cuap manja ini. Ampuni segala dosaku padamu, kak. Kebahagiaan selalu menyertaimu. Serta ridha Allah selalu menaungi langkahmu.

Selamat atas pernikahanmu, kak. Do'aku, sakinah mawaddah warahmah untukmu beserta calon suami.

Dari adik nakalmu yang menggemaskan.

Ratna Rachel Anggraini

…..______________________________________________________....

Demikaianlah surat itu ditulis dengan tinta basah, diharumi dengan asinnya air mata serta dibubuhi dengan cinta dan dosa. Pengakuan akan kesalahan yang tak diketahuinya, atas dosa telah melukai orang terkasihnya dan luapan segala emosi yang tak cukup tersalurkan.

~***~

Ratih bergelung dibalik selimut seusainya melaksanakan solat subuh. Ia didera kantuk berat sebab semalaman suntuk tak bisa tertidur hingga fajar menyingsing. Badan serta kepalanya terasa berat, rupanya pusing berhasil merongrong tubuhnya menjadi lemah.

"Ratih? Kamu sudah bangun, Nduk?"

Suara Umi dari balik pintu terdengar seperti gemaan aneh mendengung di telinga. Suaranya tak bisa keluar untuk sekadar berbalas panggilan Umi. Tenggorokannya tercekat, terasa kering.

"Umi masuk, ya."

Setelah membuka pintu, umi berjalan mendekati ratih; berniat membangunkan putrinya yang masih bergelung dalam selimut. Namun ia dikejutkan dengan suhu badan Ratih yang tinggi, kulit wajahnya yang memucat serta keringat dingin yang membanjiri pelipisnya yang masih terbalut mukena.

"Asstagfirullohal'azim. Kamu demam, Nduk. Ya ampun. Tunggu sebentar, Umi ambilkan air dan handuk."

Tergopoh ia berlari keluar. Memanggil seorang santri yang sudah biasa membantunya. Meminta untuk dibawakan baskom berisi air hangat dan handuk kecil.

Tak lama, datanglah apa yang dipintanya itu. Dan segera ia mengompres kening Ratih, berharap lekas turun demamnya.

"Umi buatkan bubur dulu untuk sarapan ya, Nduk."

Berlalu pergi Umi setelah mengelus kepala Ratih dan membenarkan selimutnya. Rasa bersalah semakin mencokol dalam hati nuraninya yang sudah terluka itu. Ia mengira tersebab dirinyalah putri sulungnya itu demam.

.

.