"
Azzam kembali membaca dokumen yang sempat terjeda. Ia memberikan sentuhan highlight color pada teks yang membutuhkan perbaikan dan informasi yang perlu penjelasan lebih jelasnya hingga semua isi dokumen itu tuntas.
Setelah selesai dengan dokumen digital dalam layar monitor tersebut, Azzam menyeruput kopinya yang ternyata menyisakan sedikit hangat. Dalam sekali tandas kopi itu diteguknya.
Azzam menyandarkan kepalanya pada leher kursi. Memutarnya ke belakang menghadap jendela dengan sekat kaca bening besar yang menyuguhan pemandangan kota berupa gedung-gedung tinggi pencakar langit dan situasi lalu lintas di bawah sana yang padat dengan suara deru mesin kendaraan serta kelaksonnya.
Tangannya bergerak mengambil ponsel dari saku kemeja. Melonggarkan ikatan dasi dan coba mengetik pesan untuk seseorang. Tapi hal itu tidak jadi ia lakukan. Entah mengapa hatinya terasa begitu gusar hari ini. Ia membuka galery, dan menemukan potret seseorang yang diambil dari angel samping, hingga potret itu tak kalah dengan metode candid pada majalah islami. Azzam sedikit tersenyum, hanya dengan melihat poto hasil jepretannya sendiri; dadanya lagi-lagi berdebar.
Azzam mengusap wajahnya kasar. Bisa gawat jika ia terus seperti ini. Bisa-bisa ia berbuat maksiat tanpa sengaja. Ia perlu menyelamatkan imannya, tetapi ia tidak bisa memaksakan kehendak.
Ia memutar kembali kursinya menghadap meja dan membaca setumpuk dokumen yang dibawakan oleh pak Farhan. Dokumen itu telah disusun rapi sesuai dengan kriterianya masing-masing, pekerjannya hanya tinggal mengeceknya saja.
~***~
Saat ini Ratih tengah duduk di bangku panjang di halaman belakang rumah. Tempat itu biasa digunakan untuk bersantai sambil membaca buku, terkadang juga sebagai tempat sesi berbagi kisah perihal banyak hal dengan anggota keluarga. Lebih sering bersaa dengan Ratna, adik manisnya yang manja.
Khidmat sekali Ratih menekuri buku bacaannya. Demamnya sudah turun meski masih tersisa panasnya. Perawatan yang dilakukan umi padanya sangat ampuh. Obat yang tiada duanya.
Posenya saja yang seperti asyik membaca. Tapi sebenarnya tidak begitu, pikirannya melayang entah ke mana. Abah, umi dan almarhumah Ratna memintanya untuk mempertimbangkan Hakim kembali untuk dijadikan suami. Ia tidak habis pikir, mengapa di saat semuanya telah membaik justru kembali dijungkir-balikkan dengan kenyataan yang begitu memilukan. Ia tidak mengerti, mengapa harus di tempat yang sama lukanya kembali di robek. Di saat hatinya telah mantap pada Azzam, ia kembali diombang-ambingkan dengan keraguan yang seolah tiada akhir. Seolah hidupnya telah terantai dan berpusat pada Hakim, pada lelaki yang telah memberinya luka besar itu..
'Oh, Allah. Astagfirullohal'azim. Aku berlindung padamu dari gangguan setan yang terkutuk, yang membuat kebimbangan dalam hati ini kian bergejolak,' desisnya dalam hati.
"Apa sampai kehadiranku tidak bisa disadari juga, kak?" Ardan menjentikkan jarinya di depan wajah Ratih. Melihat kondisi kakaknya ini membuat hatinya ikut merasakan pilu. Seolah kebenaran tentang kakaknya yang meninggal tak cukup untuk membuatnya berduka.
Ratih terkesiap. Dengan segera ia mengatur ekspresi. "'Ah…, Ardan!"
"Lagi mikirin apa sih? Sampai kedatangan Ardan gak disadarin, bahkan saat Ardan memperbaiki posisi buku yang terbalik juga tidak tahu."
"Nggak kok, Dan. Kakak cuma mikirin tesis magister kakak yang belum tuntas," elaknya dengan tenang, berharap sang adik di hadapan ini percaya begitu saja.
Ardan mengembuskan napas pelan. "Kakak masih saja membodohiku, ya. Ardan sudah bukan lagi anak kecil, kak. Dalih semacam itu gak akan mempan lagi, meski sebenarnya memang gak pernah mempan dari dulu, Ardannya saja yang mau dibodohin biar kakak seneng. Mata sembab, wajah pucat, badan panas, itu cukup memberi penjelasan atas alasannya, kak. Masih soal semalam, kan?"
Ratih bungkam. Ia tidak tahu harus mengelak bagaimana lagi. Atau memang seharusnya ia tidak melakukan penolakan sejak awal.
"Kak Ratih masih memiliki rasa sama Mas Hakim? Apa kehadiran Mas Khalil belum cukup ampuh menggantikan tempatnya sampai kakak terluka begini?"—hening sejenak—"Mungkin Ardan gak tahu apa-apa jika menyangkut cinta orang dewasa, tapi Ardan juga bukan lagi anak remaja ingusan yang hanya kenal cinta monyet. Hanya melihat kondisi kakak saja, Ardan bisa menebak seberapa besar luka yang telah diberikannya pada kakak. Jika Ardan boleh mengungkap saran, Ardan lebih setuju jika kakak meneruskan niat yang sudah mantap sebelum kebenaran itu terbongkar. Kakak berhak untuk bahagia dengan kisah yang baru dan cinta yang baru pula. Sudah cukup tiga tahun ini kakak menderita atas luka itu. Jangan lagi, toh juga abah tidak memaksa. Lakukan apa yang ingin kakak lakukan. Ardan akan selalu mendukung."
"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang atas izin Allah. Kakak tahu betul bukan isi dari firman itu, dalam qur'an surah At-Taghabun ayat 64. Dan kita tetap dianjurkan untuk berbaik sangka pada-Nya. Kita ini pemilik-Nya, Ia bebas melakukan apapun semau-Nya. Kita diuji dengan cinta, maka kita akan dibalas pula dengan cinta. Tiada lain yang Dia ingin, 'kan adalah ketaatan, Sang Pemilik Sekalian Alam."
"Ardan percaya sama kakak. Apa pun yang kak Ratih pilih, pasti kakak telah memikirkannya dengan matang-matang dan atas izin Allah itu akan berjalan."
Ratih bungkam mendengar tutur demi tutur kata itu telontar dari belah bibir adik kecilnya yang dulu hanya bisa bermanja. Bibirnya terkatup rapat, tidak tahu bagaimana harus membalas sebab segala yang diucap tepat sasaran. Ia tidak memungkiri jika perkataan itu memang benar adanya, tapi ketika itu diucapkan oleh orang lain rasanya justru semakin sakit. Apa begini rasanya ditodong dengan fakta yang berusaha kita sembunyikan secara verbal begini? Rasanya seperti baru saja ketahuan mencuri.
Ardan menghapus jejak air mata yang sudah tumpah di pipi sang kakak. Bahkan semalam saat kebenaran itu di kuak ke permukaan, air mata ini hanya menggenang stagnan di tempatnya sampai ia lenyap ke dalam kamar. Ia menepuk-nepuk bahu Ratih pelan, harap besar dapat memberikan kekuatan untuk bisa menghadapinya dengan hati yang lapang.
"Maafkan kakak, Dan. Maaf." Suaranya bergetar. Kian deras air matanya mengalir. Menumpah ruahkan segala rasa yang membakar dada.
Benar perkataan Ardan, benar pula pernyataan Al-qur'an dan kelirulah dirinya yang berlalrut dalam kesedihan.
Sementara itu, di belakang mereka, tepat di daun pintu. Dua sejoli yang tak lagi muda itu memandang haru sekaligus iba akan putra-putri mereka yang bergelung dalam kesedihan. Ialah tidak lain abah dan umi.
Abah merangkul pundak umi, memberikan kekuatan pada istrinya yang juga diliput kesedihan. Yang dirangkul sakit hati akan kesedihan putrinya. Tiada orangtua yang tahan melihat anak-anaknya berpayung tangis.
"Tidak apa-apa, Umi. Mereka butuh belajar untuk pendewasaan diri. Mereka perlu mengetahui bagaimana kehidupan bergejolak mencari porosnya. Mereka perlu merasakan, bagaimana kehadiran sesorang dapat menjadi kekuatan untuk satu sama lain," ujar Abah menenangkan.
"Iya, Abah. Terima kasih telah selalu ada untuk umi dan anak-anak. Terima kasih telah menjadi imam yang baik dalam membimbing kami." Dielusnya punggung tangan Abah yang berpangku di bahunya.
"Sudah kewajiban Abah, Mi."
Umi melepaskan diri dari rangkulan abah. Menuju ke arah anak-anaknya berada. Ia ikut mendudukkan dirinya pada kursi panjang itu dan merangkul pundak Ratih.
"Ayo, sudah hampir Magrib. Kita siap-siap untuk solat. Mandi dan ambil air wudhu. Keluhkan dan serahkan semuanya pada Allah. Segala sesuatu, Dialah yang mengatur. Kita hanya perlu berikhtiar dan berdo'a."
Ratih memeluk Uminya erat.
.
.