Chereads / Akad Yang Tak Berjodoh / Chapter 30 - Bab 30 [Ada apa ini?]

Chapter 30 - Bab 30 [Ada apa ini?]

Ratih hanya tersenyum menanggapi. Ekspresi kesalnya persis seperti waktu itu, ketika sahabatnya ini berdebat prihal tidak penting saat resepsi pernikahan Nilam.

"Iih curang. Kok bisa ditebak gitu, sih? Kamu mata-matain aku, ya?"

"Kurang kerjaan banget aku lakuin itu, Er."

Erlina memandang Ratih dengan tatapan menyelidik yang dibalas alis terangkat oleh lawannya. Merasa tak akan mendapatkan apapun, akhirnya Erlina mengendikkan bahu acuh dan bergerak menaruh gelas kosongnya pada meja tempatnya biasa belajar. Tangannya meraih sebuah amplop besar cokelat yang tergeletak di sana.

"Ini apa?" Dibukanya amplop cokelat itu tanpa meminta izin dari pemilik. Memeriksa isinya. "Proposal Lamaran?" Kepalanya memiring sedikit tanda ia tak mengerti. Dan selanjutnya, ia menarik semua berkas yang di sana. Mulai membaca cv milik seseorang.

"CVnya pak Khalil? Oh my God. Pak Khalil ngelamar kamu, Rat?" kepalanya segera berbalik menghadap Ratih dalam satu gerakan, mendapat anggukan kecil di sana yang membuatnya berteriak girang. Suaranya melengking.

"Uuh akhirnya sekarang Ratihku mau menikah setelah beribu kali menolak ajakan ta'aarufan anak orang."

"Erlina jangan berisik. Nanti yang lain pada bangun."

Erlina refleks menutup mulutnya. "Oops sorry. Abisnya aku seneng banget. Jadi gimana-gimana?" Ia berjingkrak menaiki kasur. Memperbaiki posisi duduknya menghadap Ratih. Menanti tak sabar bagaimana kronologi selengkapnya.

"Apanya yang gimana?" Alis Ratih berkerut tak mengerti.

"Ya gimana bisa pak Khalil yang dingin sama semua perempuan itu tiba-tiba ngelamar kamu? Pake proposal segala lagi, emangnya dia mau ngelamar kerjaan?" kekeh Erlina yang tiba-tiba menyadari judul besar yang tertera di atas halaman pertama berkas.

"Ya gitu. Dia ngajak ketemu di Ruella's terus pesenin semangkuk puding dan ya gitu, dia nyerahin proposal lamarannya."

"Ya ampun. Dia ngelamar kamu pake proposal sama semangkuk puding? Bener-bener ya gayanya pak Khalil itu. Selera romantisnya mengejutkan. Beda banget. Haha,"—Erlina tergelak—"baru kali ini aku denger cara ngelamar yang super duper kaku bin aneh kayak gini. Persis kayak orangnya. Terus, terus kamu jawab apa?" Erlina semakin tertarik.

Ratih seyuju dengan pernyataan yang tercetus itu. Azzam memiliki pesona yang mengejutkan. Ia mengendikkan bahu lantas menjawab sekenanya, "Aku bilang dia untuk minta restu langsung ke abah. Apa pun keputusan abah, aku turutin."

Erlina menyentuh pundak Ratih, memberikan elusan lembut yang entah bertujuan untuk apa. "Aku yakin, pak Khalil adalah orang yang paling terbaik dipilihkan Allah buat kamu. Aku yakin dia bakal nyembuhin kamu dari semua luka yang lalu. Aku dukung penuh kamu sama pak Khalil. Dan yang paling penting, dia kaya, tampan banget lagi."

"Kamu ngomong gitu kayak luka kamu yang kemarin udah kering aja."

Erlina mendengus. "Eiy, suasana lagi bagus gini jangan dirusak dong. Ayo tidur. Besok bangun tengah malem buat minta sama Allah supaya kamu sungguh dijodohkan dengan Khalil."

Erlina membaringkan tubuhnya dan segera menarik selimut, menutupi tubuhnya. Ratih memperhatikan, ia merasa tidak perlu untuk menceritakan pertemuannya dengan Hakim di saat yang bersamaan pagi tadi. Jadi, Ratih menaruh gelasnya yang sudah tandas dan bersiap menjemput alam mimpi.

~***~

Ratih terpaku menatap bangunan rumah yang berdiri kokoh di hadapannya kini. Mengecek berulang kali dengan benar jika alamat yang diberikan Hakim sama dengan alamat rumah yang berdiri kokoh ini. Sebuah bangunan dua lantai dengan gaya eropa modern minimalis.

Seorang pria muda yang usianya berkisar lebih muda darinya bergerak mendekat. Pemuda tersebut mengenakan seragam security yang menjelaskan identitasnya sebagai pawang penjaga rumah garis depan. Khairul, begitu nama yang tertulis pada name tagnya.

"Maaf permisi, Mbak. Mau cari siapa?"

"Ratna. Pemilik rumah ini. Orangnya ada?"

"Ooh istrinya tuan. Mohon maaf, mbak, tuannya jam segini masih di kantor. Adanya cuma non Kinan sama bik Asih. Kalau boleh tahu, ada urusan apa, ya?"

"Saya kakaknya Ratna. Ingin bertemu saja."

"Ooo. Berhubung tuan masih di kantor. Mbak, mau datang lagi nanti atau menunggu saja di dalam?" tawar Khairul ramah.

"Rul, siapa?" Seorang wanita paru baya bertanya seraya berjalan mendekat. Tubuhnya gemuk dan mengenakan jilbab sebatas perut. Di tangannya, terdapat sepiring gorengan bakwan dan tahu isi yang masih mengepulkan asap. Baru selesai digoreng, sepertinya.

"Ini, Mak. Ada yang nyari istri tuan."

Dari panggilannya, Ratih bisa menebak jika wanita pemilik wajah ramah ini adalah ibunya si pemuda. Ratih menatap wanita itu heran, di sana, ia ditatap dengan pandangan berkaca-kaca. Seolah ketidak percayaan dan kerinduan menyatu jadi satu dalam roman wajah bulat berisi itu.

"Assalamu'alaikum, buk. Perkenalkan, saya Ratih. kakak kandungnya Ratna. Apa Ratnanya ada? Apa saya boleh bertemu?"

Wanita gemuk tadi segera tersadar, seolah ia baru saja mengenang suatu kenangan silam. "Ah iya, tuannya masih di kantor. Mari, Enon tunggu saja di dalam bersama Nona Kinan. Sebentar lagi juga pulang. Ayo, Rul, bukakan gerbangnya!"

Ratih merasa heran. Ia menanyakan keberadaan Ratna, tapi dua orang di depannya terus menjawab hal berbeda; mengatakan jika tuannya masih berada di kantor dan hanya Kinan yang ada di rumah. Tetapi Ratih menepis rasa keheranannya dan segera melangkah masuk saat dipersilakan. Ia dikawal oleh si wanita gemuk tadi menuju dalam rumah.

"Maaf, bibik belum memperkenalkan diri. Nama bibik, Surasih. Biasa dipanggil bik Asih, Non. Saya bekerja di sini sebagai asisten rumah tangga. Sudah dua puluh tahun. Dan satpam yang tadi Enon temui itu anak saya, namanya Khairul. Dia baru saja masuk kuliah tahun ini setelah satu tahun menganggur demi mengumpulkan biaya kuliah. Allhamdulillah, Gusti Allah berbaik hati memberinya rezeki untuk bisa melanjutkan pendidikannya."

Ratih tersenyum. "Allhamdulillah ya, Buk. Gusti Allah memang sangat baik. Ia selalu memberikan jalan untuk setiap hamba-Nya yang mau berusaha."

"Iya, Non, Allhamdulillah. Kami juga bersyukur bisa bekerja di keluarga ini dari dulu. Kami sangat terbantu sehingga tidak pernah merasakan rasa kekurangan sedikit pun."

Keduanya memasuki rumah Ratih dibawa melewati beberap ruangan yang bisa ditebak jika itu adalah ruang tamu. Rumah ini terlihat kecil dari luar, tidak sangka jika di dalamnya sangat luas dengan banyak ruangan yang enatah itu ruangan yang digunakan untuk apa. Ia menurut saja ketika dituntun memasuki areal rumah lebih dalam lagi. Entah kemana bik Asih ini akan membawa dirinya.

Sepanjang perjalanan, bik Asih menceritakan betapa dermawannya tuan pemilik rumah tempatnya bekerja ini. Memenuhi segala kebutuhannya sekeluarga, membantunya tanpa pamrih ketika sedang dilanda musibah, terlebih-lebih ddiperlakukan selayaknya keluarga kandung sendiri.

Akhirnya kedua orang berbeda usia itu sampai pada sebuat taman yang terletak di belakang rumah. mereka mendapati Kinan yang sedang asik bermain bersama anak laki-laki yang kisaran usainya tidak terpaut jauh dengan Kinan. Mereka memainkan lego. Di sampingnya terdapat banyak buku gambar siap warna beserta crayonnya yang berserakan. Mereka duduk beralas ambal bermotif.

"Assalamu'alaikum." Ratih mengucapkan salam saat sudah berdiri tepat di dekat mereka. Bik Asih sudah lenyap entah ke mana.

Kinan berjingkrak girang, segera berhambur memeluk tante cantiknya itu yang baru sekali ditemuinya. "Tanteeeee, Inan angeeen banget ama Tante!"

"Tante juga kangen banget sama Kinan." Ratih balas memeluk Kinan dan membawanya dalam gendongan. Mencium pipi gembil Kinan yang mulus kemudian dibawa duduk, Kinan ditaruhnya dalam pangkuan.

"Kinan lagi main apa?"

"Main lejo, Tante."

"Ini siapa? Kinan gak mau kenalin temennya sama Tante?"

Kinan menoleh ke arah teman prianya yang tengah melihatnya dengan tatapan polos. Kinan beringsut turun dari pangkuan. Memegang tangan si pria cilik lalu dikenalkan. "Ini cak Alby, temen Inan, Tante."

"Halo, assalamu'alaikum, Alby." Ratih mengelus rambut pria cilik yang bernama Alby tersebut.

Dengan gerakan anggukan kepala mantap si pria cilik menjawab lugas, "Wa'alaikumsalam, Tente. Aku Alby, teman sekaligus kakaknya Kinan. Alby akan jaga Kinan selalu dan terus melindunginya. Alby gak akan kasih Kinan nangis apapun alasannya. Kalau ada yang ganggu Kinan, Alby akan maju melawan mereka."

Ratih sedikit terkekeh mendapati jawaban luar biasa dari Alby. Pria sekecil ini entah belajar dari mana kalimat yang diucapkannya barusan. "Waah, Kinan pasti beruntung banget punya teman dan kakak yang cakep bener kayak Alby ini."

Alby mengeratkan pegangan tangan Kinan. Ia tersenyum bangga dengan apa yang baru saja didengarnya dari Tante asing ini.

"Tante boleh ikutan main gak, nih?"

Alby dan Kinan sontak berpandangan, seolah saling memberi isyarat lewat mata, lantas keduanya menatap Ratih dan mengangguk menyetujui. "Boleh, Tante."

"Nah ini bibik bawaiin cemilan tambahan lagi. Makan yang banyak ya biar cepat besar dan jadi orang hebat."

Bik Asih datang dengan membawa serta nampan berisi segelas Teh beserta tiga piring kue kering. Tangannya cekatan merapikan tempat untuknya menaruh makanan yang dibawanya dan Teh diangsurkan ke hadapan Ratih.

"Makacih, Nek Acih."

"Sama-sama, Non."

"Non, Ratih. Tuan akan pulang sebentar lagi, mohon Enon tunggu di sini bersama dengan Non Kinan, ya?"

"Iya, bik tidak apa-apa. Ratih juga ke sini pengen ketemu Kinan. Kangen banget sama si manis ini."

"Non Ratih cantik sekali. Cantiknya luar dalam, In Sya Allah. Kalau begitu, bibik tinggal ke dapur dulu ya."

Ratih mengangguk. Ia menatap kepergian bik Asih hingga tubuh gemuk itu lenyap di balik tikungan. Ia menyeruput Tehnya sekali sebelum ikut membaur bermain bersama Kinan dan Alby. Ketiganya larut dalam permainan lego yang tiba-tiba dicampur pengolahan perhitungan mati-matika. Kinan dan Alby semakin semangat bermainnya.

"Kinan, Bunda ke mana?" Akhirnya pertanyaan itu tercetus juga dari bibir Ratih.

Wajah Kinan berubah masam. Ia bingung hendak menjawab bagaimana. Pasalnya, pertanyaan itu terlalu kelu untuk dijawab oleh dirinya sendiri. Tapi ketika melihat wajah Tantenya yang menanti jawaban darinya.

"Bunda gak ada, Tante."

"Memangnya bunda ke mana?"

"Anyah biyang kalau bunda cudah pelgi ke alasy. Anyah janji kita akan pelgi beltemu bunda, nanti," balas Kinan polos.

Ratih membungkam. Dadanya terasa kebas, seperti baru saja dihantam palu godam. Apa maksud perkataan gadis cilik ini? Sungguh, Ratih tidak mengerti. Jawaban pertanyaannya yang tidak dijawab oleh kedua orang pekerja rumah tadi beberapa menit yang lalu kembali mengusik pikirannya.

.

.

"Iya, yah. Muka Om itu juga kayaknya muka yang gak bisa kesenggol dikit, tampangnya gak tertarik sama urusan orang lain," bisik Adam dengan menutupi bibirnya, khawatir terdengar orang bersankutan yang duduk pada jok paling belakang.

Ratih terkekeh.

"Makasih banyak kamu udah ingetin aku. Mulai sekarang, aku akan belajar untuk nundukin pandangan kalau lagi ngomong sama lawan jenis."

"Iya sama-sama. Allhamdulillah kalau kamu nanggepinnya begitu."

"Ngomong-ngomong, perutku laper nih belum makan. Aku ingat kayaknya ada seseorang yang janji traktir tapi belum juga dibayar," ujarnya. Sudah lebih seminggu gadis di sampingnya ini menjanjikannya makan dibayarin tapi tak juga datang undangannya. Meski ia sendiri sibuk dengan kerjaannya sendiri selama seminggu terakhir. Beruntung ia bertemu gadis itu tanpa disengaja.

"Okey. Nanti kita turun di halte berikutnya. Kita solat asar sebentar baru kita makan, yah? Bebas deh, mau makan apa aja."

"Ahay aseeek!"

~***~

Hening merajai sedari beberapa menit yang lalu. Tidak ada yang berniat memulai pembicaraan setelah sesi melepas kerinduan-tak bersua pandang usai. Keempat orang di ruang keluarga itu membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Kopi hitam pada meja rendah berlapis taplak dibiarkan mendingin, tak lagi disentuh bibir setelah sekali disesap. Aromanya yang khas tak mampu menggelitik lidah untuk mencecapnya lagi. Merangkai tutur kata jadi prioritas utama.

Umi menghembuskan napas pelan. Diliriknya suaminya, tak ditemukan tanda pembicaraan akan dibuka. Beralih ia ke Ardan; putra bungsu semata wayangnya yang baru saja kembali dari menuntut ilmunya bulan kemarin, putranya itu juga tengah menanti. Beralih pula ke Ratih, putri sulungnya itu nampak lelah sekali sehabis perjalanan panjang, segan putrinya itu pamit beristirahat. Sadar diri tak boleh pergi meninggalkan orangtua yang sedang akan berbicara.

"Mari kita bicarakan ini nanti selepas makan malam, Bah? Biarlah Ratih istirahat dulu. Lihatlah mukanya yang keletihan ini."

"Tidak apa-apa, Umi. Ratih akan istirahat nanti."

Abah menghela napas, dianggukkannya kepala yang sudah beruban itu. "Baiklah. Ratih istirahat dulu, Nduk. Mari kita bicarakan nanti."

Ratih memandang Uminya, seolah mencari persetujuan dari anggukan kepala sang Umi. "Jika memang belum ada yang bisa kita bahas. Abah, Umi, Ardan, Ratih izin ke kamar dulu, ya? Badan Ratih lengket, mau nyegerin badan sebentar."

"Iya, Nduk. Istirahatlah dulu. Nanti malam kita bicara lagi, ya." Dielusnya lembut kepala putrinya yang terbalut jilbab itu.

"Makasih, Umi.

"Ratih izin undur diri, Bah."

Ratih beranjak pergi seusai pamit, menaiki tangga menuju lantai dua letak kamarnya berada. Baru ia akan membuka pintu kamar saat suara serak-serak basah memanggil namanya.

"Kak Ratih!"

Ratih menoleh. Ia mendapati Ardan, adik terkecilnya yang kini tumbuh dengan wajah tampan. Tinggi badan 175 cm dengan tubuh ramping berisi, kulitnya sawo mateng dibalut baju koko putih selutut, rambutnya digunting rapi mengikuti tren. Terpancar aura karismatik yang pekat pada dirinya.

"Kenapa, Dan? Kamu sudah setinggi ini aja. Lama sekali kita tidak bertemu."

"Itu karena kita sekolahnya berjauhan. Pulangnya sekali semasa lagi." Ardian menyandarkan punggungnya pada tembok. Memperhatikan wajah kakaknya yang semakin cantik dan enak ditatap. Terlebih senyum lebar yang terukir di sana, lengkap dengan lekungan samar yang membayang.

"Kira-kira abah sama umi mau ngebahas apa, ya sampai minta kak Ratih pulang cepat sebelum selesai sidang." Ardian bertanya penasaran, barangkali kakaknya ini tahu sesuatu. Tetapi luruh sudah harapannya tatkala mendapati sang kakak mengendikkan bahu.

"Tidak tahu juga, Dan. Kakak hanya menurut di suruh pulang."

"Apa ini ada urusannya dengan kedatangan mas Khalil kemarin, ya?"

"Mas Khalil?"

"Iya. Senior Ardan di Cairo. Dia dapat gelar doktornya tahun kemarin dan langsung pulang ke tanah air. Kemarin sempat kaget saat ketemu di ruang tamu lagi ngobrol sama abah. Entah apa yang mereka bicarakan."

Ratih mengangguk paham. Bersemu merah wajahnya. Rupanya Azzam telah berkunjung tanpa memberitahunya. Dan pria itu cepat sekali bertindaknya.

"Wajah kak Ratih memerah. Capek banget ya pasti? Ya udah deh, kakak mandi dulu terus istirahat sana. Ardan gak ganggu lagi. Ardan pamit, mau ke asrama santri dulu. Assalamu'alaikum."

Ardan berlalu.

Ratih segera membuka pintu. Memasuki kamarnya yang sudah lama ia tinggalkan, terakhir kali ia menempati kamar ini tiga tahun lalu, saat pernikahan adiknya usai berlangsung. Kamar ini tak berubah sama sekali, barang-barangnya masih terletak di tempat yang sama saat terakhir kali ia meninggalkannya. Keadaannya bersih tanpa debu, selama ia tidak ada, rupanya kamarnya selalu mendapat perawatan dengan baik. Entah uminya yang melakukannya sendiri ataukah adik santriwatinya.

Ratih merebahkan punggungnya pada ranjang setelah menaruh tas di atas meja belajar. Meluruhkan penat akibat perjalanan yang menguras waktu. Manik jelaganya menatap plafon kamar yang polos, tak ada pernak pernik yang menghias seperti milik Ratna.

Teringat ia akan Ratna, setiap kali adiknya itu tidur bersama; selalu mengeluh, "Ah kamarnya kak Ratih gak asik banget. Gak ada meriahnya sama sekali. dekorin dikit, kek," katanya.

Tangannya bergerak mengambil ponsel. membuka layarnya yang sudah disuguhi pesan dari kontak Azzam. Rupanya pesan itu dari satu jam yang lalu. Lekas Ratih membuka dan membalasnya.

[Assalamu'alaikum Warahamtullahi Wabarakatuh,]

[Ratih, apa kabarmu?]

"Wa'alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Allhamdulillah kabar baik, Mas."

[Adakah kabar baik untuk saya?]

Ratih menaikan alisnya bingung. Cepat sekali pria ini membalas pesannya. Apa ia sedang menunggu balasan.

"Ada kabar yang Mas nantikan?"

[Ya, dan rasanya itu menyiksa sekali.]

[Seperti digantung antara hidup dan mati]

Ratih berpikir sejenak. Bibirnya membentuk kurva. Barangkali yang dimaksud kabar baik itu jawaban atas lamarannya. Sebab Ardan mengatakan jika pria itu berkunjung kemarin, dan mungkin saja abah akan membahas perkara itu padanya. Ya, ini memang perkara yang amat serius untuk didiskusikan langsung.

"In sya Allah. Semoga kabar baik ya, Mas. Do'akan saja."

[Aamiin ya robbal 'alamiin.]

Ratih menutup gawainya. Ia beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelahnya, ia berencana akan keluar membantu masak di dapur utama untuk santri. Tersisa tiga jam sebelum azan zuhur berkumandang.

~***~

"Bagaimana caraku memberitahumu, Putriku." Suara Abah tenang mengalir, pada wajahnya yang tak lagi muda itu tersemat kegusaran. Baru kali ini ia nampakkan kegelisahan, dalam keadaan apapun, wajahnya biasa mengukirkan kebijaksanaan dan kewibawaan terlepas dari perkara kesukaran yang melanda dirinya.

Keluarga kecil yang terdiri dari empat anggota itu kembali berkumpul sehabis ritual makan malam usai. Setelah sekian lama tak kumpul saling bercengkrama sebab tuntutan akan pendidikan, kini akhirnya bisa kumpul juga terlepas dari pembahasan perkara yang butuh penuntasan. Hening, semuanya menanti prakata selanjutnya keluar dari sang abah tercinta.

"Telah datang padaku banyak pemuda dari asal yang beragam, namun niatnya satu; ingin mempersuntingmu. Tak ada yang Abah terima. Siang kemarin, datang lagi seorang pemuda kota. Memperkenalkan diri sebagai dosen pembimbing tesisimu. Mengaku ia telah jatuh cinta padamu. Bertutur ia begini begitu menjawab semua pertanyaan abah. Lebih mengejutkannya, ternyata ia senior Ardan, adikmu ini. Diberitahunya abah bagaimana sosok pemuda itu. Apa yang Abah dengar dari Ardan, lebih luar biasa mengejutkan daripada penuturan pemuda itu sendiri, merendah rupanya ia di depan Abah."

Menjeda Abah sejenak. Dipandangnya lekat putri sulungnya yang duduk berseberangan dengannya. Ditundukkannya dalam-dalam kepalanya.

"Abah percaya padanya. Tenang hati ini bila engkau kupercayakan padanya. Bila restu yang kau harapkan dari Abah, telah kuberikan ridhoku selalu untukmu, putriku. Abah meridhoi setiap langkah yang kau pilih namun tetap dalam konteks yang kita tetapkan. Tapi sebelum itu, ada hal yang perlu untuk engkau ketahui. Ini tentang adikmu, Ratna."

Deg!

Ratih tertegun. Ia mengangkat kepalanya. Memandang Abah yang tatapannya entah tertuju ke mana. Tatapan itu seperti kosong, tetapi Ratih sadar jika Abahnya itu tengah mengenang sesuatu yang memilukan. Dan itu tentang, Ratna, adiknya.

.

.