Chereads / Kita, Kamu, dan Dia / Chapter 2 - Bab 2

Chapter 2 - Bab 2

Bagas menunggu dengan sabar sambil memencet beberapa kali tombol yang ada di depannya. Saat pintu di depannya terbuka, Bagas dapat melihat wajah Elliana yang murung.

Tanpa menunggu dipersilahkan masuk, Bagas sudah lebih dahulu melangkahkan kakinya masuk sedangkan Elliana mengunci kembali pintu apartemennya. Bagas sendiri sudah masuk ke dalam dapur Elliana dan meletakkan semua bahan makanan yang ia bawa ke dalam kulkas.

"Hei, kau masih hidup, Elliana?" tanya Bagas bercanda saat melihat Elliana duduk di sofa ruang tengah dengan wajahnya yang murung.

"Hmm..." hanya gumaman ambigu yang keluar dari bibir Elliana.

Bagas tersenyum kecil kemudian duduk di sebelah Elliana. Ah, melihat Elliana seperti ini hanya membuat hati Bagas sakit. "Ayolah, tersenyum," ucap Bagas dengan kedua tangannya yang berusaha menarik bibir Elliana ke arah yang berlawanan. "Nah, begini kan bagus."

Elliana menurunkan kedua tangan Bagas pelan. Mata Elliana menatap lekat mata milik Bagas. "Bagas, terima kasih kau sudah mengurus makananku selama tiga minggu ini," Elliana menghembuskan napas. "Kau tahu, aku hanya merasa seperti... pengecut saja."

"Kau sudah melakukan semua hal yang bisa kau lakukan, Elliana. Kau hebat!" ucap Bagas dengan senyum lebar di wajahnya. Salah satu tangan Bagas mengacak-ngacak rambut sebahu Elliana. "Oke, hari ini kau ingin makan apa? Aku buatkan."

Elliana memandang Bagas kaget. Rasanya dia benar-benar geli mendengar ucapan Bagas. Karena tak tahan, akhirnya suara tawaan kecil Elliana lolos. "Lucu sekali, Bagas," Elliana tertawa lagi. "Memangnya kau bisa memasak apa selain mie instan?"

Bukannya menjawab pertanyaan Elliana, Bagas malah tersenyum. "Begini lebih baik, Elliana. Tertawalah. Kau boleh saja bersedih tapi setelah itu kau harus maju ke depan. Dan soal Kendrick, kau bisa menjadikannya sebagai pengalaman. Mengerti, hm?"

Elliana masih diam di sofa, takjub mendengar kata-kata Bagas. Kenapa Bagas terlihat berbeda hari ini?

"Baiklah, aku buatkan mie instan saja hari ini," ucap Bagas sambil pergi ke dapur.

Dari tempatnya duduk, Elliana masih bisa melihat Bagas yang sibuk dengan dua bungkus mie instannya. Saat itu, pikiran Elliana melayang pada kejadian tiga minggu yang lalu. Saat ia bertemu dengan ayah Kendrick. Di saat ia tanpa sadar telah melepas Kendrick.

Setelah kejadian itu, Elliana berniat berbicara dengan Kendrick. Tapi laki-laki itu tidak pernah mengangkat telepon darinya. Bahkan saat mereka bertemu di kampus, laki-laki itu hanya menoleh sekilas lalu pergi, ia seakan-akan menghindari Elliana. Di saat itulah, Elliana tahu kalau Kendrick telah meninggalkannya. Laki-laki itu pasti lebih memihak pada orang tuanya. Tentu saja, Elliana juga pasti melakukan hal yang sama kalau saja dia punya orang tua.

Elliana memang anak yatim piatu. Sejak kecil dia hidup di panti asuhan dan di sanalah ia bertemu dengan Bagas. Bagas yang berumur tiga tahun lebih tua darinya dan Elliana telah menganggapnya sebagai seorang kakak. Saat Elliana berumur 17 tahun, Elliana dan Bagas memutuskan pergi dari panti asuhan.

Mereka tinggal di sebuah apartemen murah yang membuat mereka dapat hidup bertetangga. Berbeda dengan Elliana yang berusaha melanjutkan kuliah dengan menggunakan beasiswa, Bagas sendiri lebih memilih bekerja di sebuah bengkel setelah lulus SMA. Elliana pernah datang ke sana dan Elliana yakin bahwa gaji Bagas cukup besar melihat besarnya bengkel tersebut. Bahkan selama ini, Bagas yang mengurus biaya makannya.

Dan sekarang saat melihat punggung Bagas dari belakang, Elliana benar-benar sadar kalau Bagas itu seorang pria walau terkadang sikapnya sangat kekanak-kanakkan. Tapi Elliana juga tahu, Bagas melakukan itu untuk menghiburnya, dia benar-benar pengertian.

Tidak ingin melihat Bagas susah sendiri, Elliana memilih bangun dari tempat duduknya dan menyusul Bagas ke dapur. "Kalau begitu aku yang akan menyiapkan minumannya," ucapnya sambil membuka kulkas dan mengambil jus jeruk.

"Wah, baik sekali," balas Bagas dan Elliana tahu kalau kata-kata Bagas itu merupakan sebuah ejekan.

Elliana sudah selesai menuang jus ke dalam dua gelas, bersamaan dengan itu Bagas juga sudah selesai dengan dua mangkuk mie kuahnya.

"Elliana, jadi sekarang hubunganmu dengan Kendrick sudah berakhir?" tanya Bagas tiba-tiba yang membuat suasana menjadi hening seketika.

Dari sudut matanya, Bagas dapat melihat Elliana yang mengangguk kecil. "A-ah, coba lihat mienya. Kalau tidak cepat dimakan, nanti bisa tidak enak," ucap Elliana berusaha mengalihkan pembicaraannya. "A-aku rapikan mejanya dulu," Elliana melangkahkan kakinya menjauhi Bagas.

"Elliana."

Langkah Elliana terhenti bukan hanya karena suara Bagas yang tiba-tiba aneh tapi juga karena tangan Bagas yang menarik salah satu tangannya. Dengan perlahan, Bagas mendekati Elliana dan memeluk gadis itu dari belakang.

"Ba-Bagas? Kau kenapa?" tanya Elliana setengah kaget dengan tindakan tiba-tiba Bagas. Gadis itu berusaha melepaskan kedua tangan Bagas yang sedang melingkari tubuhnya.

Tapi Bagas malah lebih mengeratkan pelukannya. "Diam, Elliana. Tolong dengarkan aku kali ini saja. Karena aku tidak tahu kapan aku bisa memiliki keberanian seperti sekarang ini."

"Baik, aku dengarkan." Entah karena apa, tapi tiba-tiba saja Elliana merasa hangat, rasanya nyaman sekali.

"Aku," ucap Bagas pelan. "Aku menyukaimu, Elliana, bahkan sejak kecil. Saat melihatmu bahagia dengan Kendrick, aku melepaskanmu. Tapi sekarang, aku benar-benar tidak bisa melepasmu lagi, Elliana. Aku tidak ingin melihatmu menderita seperti ini, karena itu tidak bisakah kau melihatku sekarang?" tambah Bagas panjang lebar.

Setelah mengungkapkan perasaannya, Bagas benar-benar merasa gugup. Bagas menghembuskan napas pelan, rupanya sejak tadi ia menahan napasnya karena saking tegangnya.

Sedangkan Elliana benar-benar terkejut dengan semua ucapan Bagas. Pasalnya dia tidak pernah memikirkan kalau Bagas menyukainya. Tapi hati Elliana benar-benar tergerak dengan pernyataan Bagas. Dadanya tiba-tiba berdetak sangat kencang dan terasa hangat.

Setelah beberapa detik terdiam, Bagas perlahan-lahan melepas pelukannya dan siap menerima jawaban apapun yang akan diberikan oleh Elliana.

Elliana masih bergeming dalam posisinya. Setelah berhasil mengendalikan detak jantungnya, barulah ia berbalik menghadap Bagas. Mata Elliana membesar saat memandang mata Bagas. Mata itu penuh akan emosi yang tak dapat Elliana mengerti.

"Bagas," Elliana melangkah mendekati Bagas hingga tangan kanannya berhasil memegang wajah Bagas. "Terima kasih," sahutnya sambil tersenyum tulus. "Hanya dengan mendengar semua perkataanmu barusan, aku sudah merasa baik. Aku merasa benar-benar dicintai."

"Jadi-"

"Tapi, Bagas," Elliana mengusap pelan pipi Bagas. "Saat ini, aku belum bisa menerima perasaanmu. Aku juga tidak ingin menganggapmu hanya sebagai pelampiasanku. Karena itu, tolong tunggu aku," lanjut Elliana dengan mata berkaca-kaca.

Bagas tersenyum maklum mendengar penuturan Elliana, dia memegang tangan Elliana yang berada di wajahnya lalu menurunkannya perlahan. "Tenang saja, aku akan menunggumu, Elliana," balas Bagas sambil meremas tangan Elliana pelan sebelum melepaskannya.

Elliana menarik napas cepat, "Kalau begitu sekarang kita makan. Kau bawa mienya, aku bawa minumannya," ucap Elliana sembari mengambil dua gelas jus di sana.

Setelah Elliana keluar dari dapur, barulah Bagas mengambil dua mangkuk mie kuah yang tadi ia buat. Laki-laki itu tersenyum kecil, "Aku bahkan rela jika hanya menjadi pelampiasanmu saja, Elliana," gumam Bagas kecil.

.

.

.

Sudah seminggu lebih semenjak Bagas menyatakan perasaannya kepada Elliana. Bagas bersyukur hubungan mereka masih tetap sama seperti dulu. Dan sekarang Elliana sudah berkuliah dengan ceria kembali, itu saja sudah membuat hati Bagas merasa hangat.

Hari ini, laki-laki itu sedang disibukkan dengan pekerjaannya. Saat ia baru saja selesai makan siang, tiba-tiba saja salah satu rekan kerjanya mencarinya. "Bagas, pelanggan setiamu datang, katanya mobilnya lecet lagi," ucap temannya sambil tertawa cekikikan.

Bagas hanya menaikkan alis kemudian pergi ke depan. Dia kemudian bertemu dengan gadis berambut hitam dengan panjang sepunggung itu lagi. Semenjak tiga bulan yang lalu, gadis itu sering sekali kemari, biasanya karena mobilnya lecet atau dia mengeluh mesinnya bermasalah.

"Se-selamat siang, maaf sepertinya aku akan merepotkanmu lagi," ucap gadis itu sambil tersenyum manis.

Bagas juga tersenyum, "Kenapa lagi sekarang?"

Gadis itu tertawa kecil, "Aku tidak sengaja menabrak tiang saat mengeluarkan mobil dari universitasku tadi, jadi bagian belakangnya lecet."

Bagas menghembuskan napas, "Sepertinya kau ceroboh sekali ya? Hampir setiap minggu kau kemari membawa mobilmu, Devika."

Devika hanya bisa tertawa kecil, "Lalu, kira-kira berapa hari yang kau perlukan untuk memperbaikinya, Bagas?"

Bagas berjalan ke arah belakang mobil Devika. Matanya menjelajahi lecet yang ada di mobil tersebut. "Sebenarnya aku bisa menyelesaikannya dengan cepat, tapi..." Bagas menatap deretan mobil yang ada di tempatnya bekerja.

Devika juga melakukan hal yang sama, "Wah, sepertinya kau punya banyak pekerjaan."

"Karena itu, kalau aku boleh memberimu saran, lebih baik kau membawa mobilmu ke bengkel lain, Devika."

"Tidak bisa!" ucap Devika dengan nada yang sedikit meninggi. "Eh? Ma-maksudku... begini, sejak mobil ini pertama kali mengalami masalah, kau yang pertama kali memperbaikinya sampai sekarang, jadi..."

Melihat wajah Devika yang memelas itu akhirnya Bagas menyerah, "Baiklah kalau begitu. Aku akan mengerjakannya. Satu minggu paling cepat, bagaimana?"

Devika tersenyum lebar mendengarnya, "Ah, terima kasih. Dan juga, bi-bisa tolong antarkan ke apartemenku seperti biasa, kan?"

"Tentu saja, Nona Besar," canda Bagas.

Devika tertawa kecil mendengarnya kemudian pergi dan memanggil taksi.

"Hei, hei, kalian cukup akrab sepertinya?" salah satu pegawai di sana merangkul pundak Bagas.

"Tentu saja, dia terlalu sering kemari. Aku bahkan sampai tidak bisa untuk tidak mengingat namanya," sahut Bagas.

Temannya itu kemudian menatap Bagas dengan salah satu alisnya yang terangkat. "Hei, jangan-jangan gadis itu menyukaimu, karena itu dia selalu membuat masalah dengan mobilnya, Bagas," goda temannya itu.

"Jangan berkata yang macam-macam," balas Bagas sambil menurunkan lengan temannya itu dari pundaknya.

"Kenapa kau tidak mengencaninya saja? Sepertinya gadis itu orang kaya," goda temannya itu lagi sambil tertawa keras.

Bagas hanya menaikkan kedua pundaknya tak peduli dan meneruskan pekerjaannya. Setelah Bagas pikir-pikir, gadis itu memang sedikit aneh. Ada begitu banyak bengkel di daerah ini, kenapa dia memilih bengkel ini? Bisa saja alasannya karena bengkel ini dekat dengan apartemennya, tapi Bagas tahu kalau apartemen gadis itu cukup jauh dari sini.

Bagas menggeleng-gelengkan kepalanya kemudian melanjutkan pekerjaannya lagi.

Di lain tempat, Devika yang baru saja menaiki sebuah taksi sedang berusaha menenangkan degupan jantungnya. Kedua tangannya saling menggenggam di atas pangkuannya dengan wajahnya yang menunduk.

"Dia tetap tampan," gumamnya kecil dengan wajah yang memerah. "Rasanya jantungku ingin pecah." Devika ingat saat pertama kali ia bertemu dengan Bagas.

Hari itu, Devika pertama kali membawa mobil sendiri ke kampus. Dan malangnya, tiba-tiba saja di tengah jalan bannya kempes. Dia ingin mengganti sendiri, tapi dia belum pernah melakukan pekerjaan seperti itu. Ingin menelpon bengkel tapi dia tidak tahu nomor bengkel satu pun.

Di saat ia baru saja ingin menelepon ayahnya, sebuah motor menepi di dekatnya. Pria yang mengendarai motor itu kemudian melepas helmnya dan menghampiri Devika. "Mobilmu kenapa, Nona?" tanya laki-laki itu sopan.

Devika hanya diam membisu saat melihat wajah laki-laki itu. Tampan. Itulah yang sedang Devika pikirkan. Tanpa sadar wajahnya memerah.

"Nona?" panggil laki-laki itu.

"Eh? I-itu..." Devika tersadar dari lamunannya. "Bannya kempes," sahut Devika akhirnya.

Mata kelabu Devika dapat melihat pemuda itu yang sedang memperhatikan salah satu ban mobil depan Devika. Degup jantung Devika semakin keras. Ada apa dengan dirinya? Apa ia sedang jatuh cinta?

Setelahnya, waktu berjalan begitu cepat. Ban mobilnya sudah terganti dengan ban cadangan yang ada di bagasi. "Te-terima kasih atas bantuannya."

Laki-laki itu memasang cengiran di wajahnya, "Sama-sama. Kalau begitu aku pergi."

Yang bisa Devika lakukan hanya tetap terdiam di tempatnya. Bukan hanya tampan, tapi laki-laki itu juga baik dan senyumannya itu secerah matahari. Wajah Devika semakin memerah saat memikirkannya.

"Bagas, ya?" gumamnya pelan saat mengingat nama yang tertulis di baju laki-laki barusan. Devika bahkan juga mengingat nama perusahaan yang tertulis di atas nama pemuda tersebut. "Sepertinya dia seorang montir."

Gadis bermarga Hanasta itu kemudian menarik napas dan tersenyum kecil, "Lihat saja, kita akan bertemu lagi, Bagas."