Chereads / Kita, Kamu, dan Dia / Chapter 5 - Bab 5

Chapter 5 - Bab 5

Hari ini hujan terus mengguyur sejak siang hingga sore hari. Kendrick yang sudah menyelesaikan kuliahnya setengah jam yang lalu hanya berdiam diri di dalam mobilnya yang kebetulan menghadap bagian lobi gedung universitasnya.

Mesin mobilnya sendiri sudah menyala sekitar lima belas menit yang lalu tapi dia tidak berniat menjalankannya. Seperti ada sesuatu yang ia tunggu tapi ia tidak tahu apa. Dengan menumpu pada stir mobilnya, Kendrick terus menatap gedung kampusnya.

Di saat mata hitamnya menangkap seseorang berambut coklat sebahu, barulah ia tersadar dari lamunannya. "Elliana..." gumamnya dengan wajah sendu.

Wanita yang bernama Elliana itu terlihat berdiam diri di depan lobi, sepertinya dia tidak membawa payung. Tangan Kendrick refleks membuka pintu mobilnya dan pemuda itu turun begitu saja hingga dirinya sampai di hadapan Elliana.

Padahal ia sudah berjanji pada ayahnya untuk tidak berhubungan lagi dengan Elliana, tapi dirinya sudah tidak bisa menahan diri lagi. Dia begitu merindukan gadis yang sangat dicintainya itu.

"Elliana..."

Elliana melebarkan matanya melihat Kendrick menghampirinya. Dia begitu terkejut dan merasa sangat senang. Ada perasaan bahagia di hatinya bersamaan dengan rasa sakit yang ia rasakan mengingat perlakuan Kendrick terhadapnya belakangan ini.

"Kend-Kendrik... apa yang-"

Sebelum Elliana menyelesaikan kalimatnya, Kendrick sudah menarik Elliana bersamanya dan memaksa gadis itu masuk ke dalam mobilnya. Elliana sendiri hanya bisa pasrah karena dia masih terlalu kaget karena Kendrick tidak berbicara dan bahkan membawanya ke dalam mobilnya.

Begitu Kendrick sudah berada di kursi pengemudi, barulah Elliana berbicara. "Kendrick, kenapa tiba-tiba saja kau seperti ini?" tanya Elliana geram bahkan matanya sampai berkaca-kaca.

Hati Kendrick merasa mencelos melihat mata Elliana yang terluka. "Maaf, Ell. Maafkan aku," balas Kendrick sambil menggenggam kedua tangan Elliana. "Aku tidak punya pilihan lain."

Air mata Elliana terjatuh, "Ma-maksudmu apa?"

Kendrick menggigit bibir bawahnya sambil terus menatap mata Elliana. Hatinya benar-benar sakit saat melihat Elliana dalam keadaan seperti ini. Sikapnya beberapa waktu belakangan ini pasti sudah membuat gadis di hadapannya merasa sakit hati.

"Aku terpaksa melakukan semua ini, Ell. Demi keselamatanmu."

Elliana mengerutkan dahinya saat mendengar ucapan Kendrick. "Keselamatanku?"

"Ayahku mengancamku, Ell. Karena itu aku terpaksa menjauhimu belakangan ini. Tapi aku sudah tidak bisa menahan diri lagi," ucap Kendrick penuh emosi. Genggamannya semakin mengerat, "Aku sangat merindukanmu, Sayang."

Detik itu juga, Kendrick membawa Elliana ke dalam pelukannya. Pelukan yang penuh akan emosi. Elliana sendiri hanya bisa menangis dalam kungkungan Kendrick. Dia bahkan tidak pernah berpikir kalau Kendrick ternyata juga menderita selama ini sama sepertinya dirinya. "Aku juga merindukanmu, Kendrick."

"Elliana, kumohon untuk hari ini saja. Aku mau kau bersamaku sampai hari ini berakhir. Setelah itu, aku mungkin bisa melepasmu, Ell," ucap Kendrick sambil mengendurkan pelukannya.

Mereka akhirnya saling menatap kembali. Tangisan Elliana semakin keras. Dia tahu kalau dirinya akan berpisah dengan Kendrick, bahkan sebenarnya dia sudah mengikat dirinya dengan Bagas. Tapi saat melihat Kendrick sekarang, hatinya sudah meleleh kembali. Dia akan melakukan apa saja demi Kendrick untuk yang terakhir kalinya. "Baiklah," sahut Elliana mengangguk.

Pemuda dengan marga Byantara itu tersenyum kecil, "Terima kasih, Elliana." Kendrick kemudian mencium bibir Elliana dan melumatnya pelan. Ciuman yang menggambarkan seorang Kendrick Byantara yang sudah lama tidak bertemu dengan gadis pujaannya.

Elliana menerima ciuman Kendrick. Tanpa sadar, ternyata dia begitu merindukan Kendrick. Dia merindukan segalanya dari seorang Kendrick. Untuk hari ini saja, biarkan dirinya menjadi egois. Bagas, maafkan aku untuk hari ini.

"Elliana, aku ingin pasta saus tomatmu," ucap Kendrick selanjutnya.

Elliana tersenyum, "Antar aku pulang dan aku pasti akan membuatkannya untukmu, Kend."

.

.

.

Devika menutup ponselnya setelah menerima telepon dari Bagas. Montir yang memperbaiki mobilnya itu akan mengantar mobilnya setengah jam lagi. Devika menghembuskan napasnya keras berharap bisa mengurangi kegugupannya.

Hari ini adalah hari dimana dia akan memulai rencananya. Rencana yang dimulai dengan obat yang telah dibelinya dari Ria seminggu lalu. Setelah mengambil botol obat itu, Devika kemudian mengganti bajunya dengan baju yang akan mempermudah rencananya.

"Ini bagus," ucapnya ketika matanya menangkap pantulan dirinya di depan cermin. Sebuah mini dress berwarna ungu muda membungkus tubuhnya. Bagian atasnya berisi karet sehingga baju tersebut mudah diturunkan.

Wajah Devika kontan memerah saat membayangkan semua rencana yang telah ia buat. Rencana ini pasti bisa membebaskan dirinya dari rencana pernikahannya itu.

Rencana untuk membuat dirinya mengandung anak Bagas. Dengan rencana ini, dia percaya bahwa dirinya bisa menentang ayahnya dan sekaligus bisa mendapatkan pria yang ia cintai. Inilah yang dinamakan sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Ponselnya berbunyi lagi dan berhasil mengusir lamunannya. Ternyata dari Bagas, sepertinya pemuda itu sudah sampai di parkiran gedung apartemen yang ia tempati.

Begitu sambungan teleponnya terputus, Devika segera turun ke lantai dasar. "Wah, ternyata masih hujan," gumamnya kemudian masuk ke dalam lift.

Tidak perlu waktu lama bagi Devika untuk menemukan pemuda itu di tempat parkir apartemennya. Pemuda itu menunggunya di samping mobil putih Devika. "Sore, Bagas."

Bagas tersenyum untuk menanggapi sapaan Devika. "Lihat. Sudah mulus seperti semula."

Devika menengok sekilas untuk melihat bagian belakang mobilnya. "Iya, kau memang hebat, Bagas. Oiya, sekarang kan masih hujan, bagaimana kalau kau menunggu di apartemenku dulu? Lagipula, aku tadi lupa membawa uang," ucap Devika kemudian menghembuskan napas. Dia sangat gugup saat ini.

Bagas menaikkan alisnya sambil memikirkan tawaran Devika. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia menyetujuinya. "Baiklah."

Devika kemudian mengajak Bagas masuk ke dalam apartemennya yang sangat mewah itu. Bagas sangat terkesima saat memasuki kamar apartemen Devika. Benar-benar seorang anak keluarga Hanasta. Keluarga Hanasta itu sangatlah kaya.

Gadis itu sedikit malu saat melihat Bagas yang agak sungkan karena apartemennya itu. "Sebenarnya aku juga tidak mau tinggal di tempat semewah ini, tapi ayahku memaksa," ucap Devika tiba-tiba sambil mempersilahkan Bagas duduk di atas sofa ruang tengah.

"Tapi aku rasa rumahmu pasti lebih mewah, Devika," balas Bagas.

Devika hanya tersenyum menanggapinya kemudian masuk ke dalam dapurnya. Gadis manis itu segera membuat dua cangkir teh hangat yang cocok dengan cuaca dingin sekarang ini.

Saat itulah rencana Devika dimulai. Gadis itu dengan sengaja memberikan suatu obat ke dalam teh milik Bagas. Obat yang katanya Ria berkhasiat sangat lama.

"Ini, aku buatkan teh," ucap Devika sambil meletakkan dua cangkir teh di atas meja. Gadis itu kemudian duduk di sebelah Bagas. "Maaf, mengajakmu kemari tiba-tiba. Sebenarnya aku ingin mengucapkan terima kasih."

Bagas sedikit tertawa sambil mengambil tehnya. Pemuda itu meminum tehnya sedikit sebelum menoleh ke arah Devika. "Terima kasih? Itu tidak perlu. Kau cukup membayar saja, Devika," Bagas meminum tehnya lagi.

Diam-diam Devika terus melirik teh Bagas yang sisanya tinggal setengah. "Aku berterima kasih bukan karena kau memperbaiki mobilku, tapi karena kau dulu pernah menolongku mengganti ban mobilku yang kempes."

"Hm? Ban kempes?" Bagas seakan mengingat-ngingat. Sesaat kemudian wajahnya berubah cerah, "Oh, jadi perempuan yang aku tolong dulu itu kau, Devika? Wah, kebetulan sekali ya..."

"Sebenarnya bukan kebetulan," wajah Devika semakin memerah tatkala memikirkan kalimat apa yang akan diucapkannya lagi. "Aku sengaja mencarimu dan terus membuatmu memperbaiki mobilku."

"Eh? Kenapa?"

"I-itu karena aku..." Devika menatap mata Bagas. Wajah Devika sudah semerah kepiting rebus, "Aku menyukaimu, Bagas," ucap Devika mantap.

Bagas terkejut dengan ucapan Devika bahkan dia sampai tersedak oleh teh yang ia minum. "A-apa, Devika? Kau tidak salah? Aku ini cuma montir, berbeda denganmu yang-"

"Aku tidak pernah peduli dengan status, Bagas. Aku menyukaimu, jadi aku ingin kau membalas perasaanku, Bagas."

Bagas menghembuskan napas sebelum menatap mata Devika. Pemuda itu memegang kedua bahu Devika. "Kau masih muda, Devika. Di luar sana, pasti ada laki-laki yang pantas untukmu. Maaf, tapi aku sudah memiliki seseorang yang aku cintai," ucap Bagas dengan penuh nada pengertian.

Devika sedikit terkejut dengan jawaban Bagas. Dia sebenarnya sudah bersiap dengan jawaban penolakan Bagas tapi dia tidak pernah berpikir kalau rasanya sesesak ini. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca. "Begitu..."

Bagas melepas pegangannya pada bahu Devika, "Di luar memang masih hujan. Tapi sebaiknya aku pulang saja, Devika."

Devika tersenyum sendu, "Oh baiklah. Aku ke kamar dulu mengambil uang untuk membayar perbaikan mobilnya."

Begitu Devika menghilang, Bagas menghembuskan napas. Dia berusaha menstabilkan degupan jantungnya. Padahal ia tidak memiliki perasaan apapun kepada Devika tapi kenapa jantungnya berdenyut aneh seperti ini? Belum lagi tiba-tiba saja ia merasa begitu panas.

Tubuhnya terasa sedikit berat dan kepalanya sedikit pusing. "Akh..." erang Bagas sambil memegang kepalanya. Penglihatannya sedikit kabur.

"Bagas?"

Bagas mendongakkan kepalanya menatap Devika yang kemudian duduk di sebelahnya lagi. "Devi... ka..." ucapnya pelan. Begitu melihat Devika, tiba-tiba saja tubuhnya semakin memanas, terutama bagian bawah tubuhnya. Ada sesuatu yang menggebu-gebu ingin keluar di bawah sana.

Hembusan napas Bagas mulai menderu. Di lain pihak, Devika takjub dengan pengaruh obat dari Ria. "Bagas, kau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir sambil menempelkan tangannya ke dahi Bagas.

"Devika... aku..." mata Bagas terlihat sedikit sayu. Begitu dahinya disentuh Devika, tubuhnya merespon aneh. Bagas mengambil tangan Devika yang sebelumnya berada di dahinya. Diciumnya pelan tangan itu, "Kau harum... membuatku ingin..."

BRUK!

Tiba-tiba saja tubuh Devika terdorong dengan cukup keras di atas sofa. Sekarang posisinya berada persis di bawah Bagas. Bagas terlihat sangat ganas di mata Devika tapi Devika menyukainya karena rencananya sudah berhasil. Dengan berani, Devika mengalungkan tangannya ke leher Bagas. "Lakukanlah, Bagas."

Mata Bagas semakin sayu. Dengan cepat lelaki itu menarik dress Devika ke bawah sehingga Devika hanya mengenakan bra dan celana dalam saja. Bagas kemudian dengan cepat menenggelamkan wajahnya di antara dada Devika. Melepas branya dan memulai aksinya untuk menjajah kedua payudara Devika. Dari mulai meremas, melumat hingga mengigit.

"Ahhh... Aahhh!" Devika hanya bisa mendesah dengan wajahnya yang kemerahan. Tentu saja rencananya berhasil. Karena dia sudah memberi obat perangsang kepada Bagas.