Sementara itu Yusuf sedang berbaring di kasurnya, setelah beberapa waktu yang lalu melakukan kegiatan ibadahnya, ia teringat kepada kedua orangtuanya di kampung yang telah tiga bulan tidak bertemu. Diambilnya ponsel di atas meja lalu mulai mengetik nama kontak ayahnya. Panggilan menyambung.
"Halo, pak?" kata Yusuf, mendekatkan ponsel ke telinganya.
"Halo, Yusuf?"
"Iya, pak. Gimana kabar bapak sama ibu di kampung?" tanya Yusuf.
"Alhamdulillah bapak sama ibumu baik, nak. Kamu bagaimana di sana? Sudah bekerja?"
"Syukurlah bapak sama ibu baik-baik saja. Aku juga baik pak, dan aku juga sudah bekerja,"
"Kamu tinggal di mana, nak? Bapak sama ibu kangen sama kamu. Uang kamu masih ada, kalau kurang biar bapak kirimkan."
"Aku tinggal sama bos aku, pak. Aku juga kangen sama bapak dan ibu. Sekarang aku sudah punya uang pak. Aku sudah bekerja dan sudah menerima gaji."
"Kamu kalau butuh apa-apa bilang sama bapak dan ibu ya, nak. Kami tidak ingin kamu kesulitan di kota sana, nak."
"Iya, pak. Oh iya, ibu mana pak? Yusuf ingin ngobrol sama ibu,"
"Ibumu sudah tidur, nak. Tadi siang kecapean bekerja, makannya sudah tidur duluan."
"Oh, gak apa-apa pak. Ya sudah, kalau begitu bapak istirahat dulu ya. Nanti Yusuf kabari bapak lagi," kata Yusuf, untuk mengakhiri panggilan.
"Iya."
Panggilan telepon telah berakhir dan Yusuf kembali merebahkan badannya, mencoba untuk tidur. Ia mulai memikirkan apa yang akan dikatakannya kepada kedua orangtua Lidya besok, sementara bosnya itu meminta ia mengakui sebagai pacarnya. Ia benar-benar pusing mencari cara agar tidak mendapat masalah ketika ia dihadapkan dengan situasi rumit dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan menyulitkannya dan tidak menyinggung Lidya dari apa yang akan dikeluarkannya nanti.
Tentunya Yusuf merasa bersalah menyangkut rekaan yang akan dibuatnya bersama Lidya besok. Mengingat sifat keras kepala bosnya itu, ia tidak berani menentang apalagi tidak mengesahkan semua keputusan Lidya. Apa pun yang dikatakan wanita itu adalah mutlak karena menyangkut professional kerjanya, walaupun itu 'berbohong'.
Sama sekali tidak terbesit sedikit pun dalam kepalanya untuk membohongi orangtua, tetapi keadaan ini serba sulit baginya. Dan ia harus menuruti semua kemauan Lidya, agar semua berjalan dengan lancar sesuai keinginan wanita cantik itu.
Lidya mulai mencari alasan yang tepat untuk menjelaskan kenapa ia meminta Yusuf tinggal di rumah kepada kedua orangtuanya besok. Mau disembunyikan bagaimana pun, itu tidak akan berhasil menutupi keadaan yang sebenarnya di hadapan orangtuanya. Selama ini ia juga telah berusaha menutupi kesedihan dan kerapuhannya di hadapan orang-orang dengan sikap dinginnya. Semua itu hanya untuk menutupi luka hatinya yang tak berbalas. Dengan adanya Yusuf sebagai asisten prianya, ia mulai mengalihkan pandangan agar tidak terus terpuruk dalam patah hati.
Sosok yang telah mencuri hatinya ialah, Candra. Laki-laki yang selalu menjadi teman sekaligus kakak sepupu baginya semenjak ia masih kecil. Lelaki dewasa yang tidak terlalu tampan. Tetapi, dengan sifat posesifnya, berhasil menjaga Lidya menjadi wanita baik-baik dan mandiri. Candra tidak pernah membiarkannya sendirian kemanapun dan bagaimanapun, ia akan selalu menemani Lidya sebaik mungkin. Dari situ lah rasa suka itu muncul.
Hingga suatu ketika Lidya tak sengaja melihat dengan mata kepalanya sendiri, Candra sedang berciuman dengan seorang wanita yang menjadi pacarnya. Hatinya hancur karena saat itu ia akan mengungkapkan perasaannya kepada Candra, bahwa ia menyukai lelaki dewasa itu. Tetapi, setelah melihat adengan itu, ia jadi mengurungkan niatnya dan berusaha melupakan Candra.
Semenjak kejadian itu ia berubah menjadi wanita dingin dan tidak menyukai lelaki manapun. Karena ia berpikir cinta itu hanya menyakitkan bukan menyenangkan. Tetapi semakin kesini, rasa itu muncul lagi setelah kehadiran pria polos yang menjadi asisten pribadinya. Ia tak pernah membayangkan akan seperti ini sebelumnya. Pria kampung yang berpenampilan udik, mampu melelehkan kebekuan hatinya, tetapi ia belum bisa memastikan apakah itu suka terhadap lawan jenis, atau suka kepada seorang pria polos yang menyegarkan baginya.
Selama ini ia telah bekerja keras, tanpa memikirkan untuk mencari pasangan hidup. Di umurnya yang telah menginjak dua puluh enam tahun, seharusnya sudah matang untuk berumah tangga. Tetapi, ia masih bimbang untuk menentukan pilihan dengan pria mana yang akan cocok menjadi pasangannya. Sementara kedua orangtuanya selalu mengingatkan untuk segera mengakhiri masa lajangnya.
Ia tahu kalau kedatangan kedua orangtuanya besok adalah memastikan bagaimana status Yusuf untuknya. Dan ia juga tahu kalau ayahnya mempunyai mata-mata di kantor untuk memberikan semua informasi tentang dirinya. Tetapi ia belum bisa mengatakan kepastian apapun menyangkut Yusuf, karena lelaki itu hanya menjadi asisten saja.
Masalahnya, apa yang akan dikatakan jika orangtua itu bertanya, mengapa ia mengajak Yusuf serumah dengannya. Memikirkan itu, ia harus bekerja sama dengan Yusuf. Tidak mungkin ia menjelaskan A dan Yusuf menanggapi dengan B, bisa-bisa itu akan mengacaukan semua rencana yang telah dibuatnya sedemikian rupa.
Pagi ini cuaca terlihat mendung, langit tampak gelap dengan awan hitam yang bergumpal diatasnya. Sedari tadi Yusuf telah bersiap-siap seperti; memasak sarapan, mencuci baju, membersihkan rumah, dan menyiapkan semua keperluan kantor Lidya. Ia juga telah menyiapkan pakaian kerja yang akan dikenakan Lidya pagi ini. Jadwal Lidya hari ini adalah rapat dengan Candra mengenai pembangunan jalan baru.
Perusahaan yang dipimpin oleh Lidya adalah kontraktor di bidang pekerjaan sipil seperti; pembuatan jalan, jembatan, jalur kereta api, dan landasan pesawat. Yusuf melihat jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul delapan, ia mendongak ke atas memastikan apakah Lidya sudah selesai, karena pagi ini Lidya mempunyai jadwal meeting.
Tampak Lidya menuruni anak tangga. Wanita itu sudah rapi dan cantik dengan blazer putih gading di tangan kanannya, sementara tangan kiri menenteng tas kerja.
"Yusuf. Hari ini apa saja jadwal yang akan saya kerjakan?" kata Lidya baru saja turun dari kamarnya.
Yusuf membuka catatan agenda yang berada di atas meja.
"Jam sepuluh nanti ada jadwal meeting dengan pak Candra, mbak."
"Tolong telepon Sarah, suruh dia menyiapkan berkas-berkas yang akan saya perlukan nanti ke ruangan. Dan kamu, nanti temui saya di ruang meeting, temani saya bertemu Candra," kata Lidya, lalu duduk di kursi makan.
"Baik," Yusuf segera menyiapkan sarapan ke piring Lidya.
Setibanya di kantor, Yusuf segera keruangan Sarah untuk mengambil berkas yang diperlukan Lidya. Diihatnya wanita itu sedang sibuk mengetik di komputernya. Ia mengetok pintu agar Sarah mengetahui kedatangannya.
"Permisi bu, saya ingin mengambil laporan yang tadi pagi diminta mbak Lidya," kata Yusuf, melangkah mendekati meja Sarah.
"Aduh. Kamu bagaimana sih, Yusuf. Sama aku panggilnya ibu, tetapi ke Lidya panggilnya, mbak. Kami seumuran kali," kata Sarah, memutar-mutar rambutnya dengan tatapan menggoda.
Yusuf jadi salah tingkah melihat pose Sarah yang dibuat-buat. Ia mencoba mengalihkan topik agar cepat terbebas dari godaan Sarah yang sangat menggoda imannya.
"Maaf bu, saya tidak bisa. Bisakah berikan berkas itu secepatnya? Karena sudah ditunggu."
Sarah tahu kalau Yusuf berusaha cepat pergi dari ruangannya. Ia bisa menebak kalau Yusuf tidak suka dengan gayanya yang selalu memperlihatkan godaan sensual kepada pria itu. Ia mengambil map yang telah disiapkannya dari tadi, dan memberikan kepada Yusuf.
"Ya sudah, ini kamu bawakan ke Lidya. Jangan lupa nanti bilang ke Lidya, aku mengundangnya untuk makan siang bersama. Oke?" kata Sarah, mengedipkan matanya sebagai tanda minta tolong.
"Baik."
Yusuf segera keluar dari ruangan itu dan memasuki lift untuk pergi ke ruangan Lidya yang berada di lantai 22. Ia merasa lega setelah bebas keluar dari ruangan Sarah, karena semua orang di kantor sudah tahu bagaimana sifat wanita itu. Sarah mempunyai kepribadian yang menggoda dan seksi, tak jarang teman laki-laki di kantor menjadi targetnya. Tetapi walaupun begitu, Sarah adalah teman yang baik bagi Lidya.
Tiba di ruangan Lidya, ia segera meletakkan map tadi di meja Lidya.
"Mbak, ini sudah saya siapkan."
"Baik, setelah ini kamu ikuti saya ke ruang rapat."
"Baik," Yusuf segera undur diri, menuju meja kerjanya.
Yusuf merasa ada yang aneh dengan sikap Lidya, setelah mengetahui bahwa hari ini ada rapat dengan Candra. Tetapi, ia tidak memikirkan itu lebih lanjut. Di sini dirinya hanya bekerja sebagai asisten, bukan sebagai mata-mata Lidya. Ia mulai membuka email di komputernya, melihat pesan apa saja yang telah masuk untuk Lidya.
Lidya merasa frustasi kalau berhubungan dengan Candra. Ia telah berusaha menjauhi lelaki itu, tetapi sekarang harus terlibat masalah kerjaan lagi dengannya. Ia mencoba untuk meyakinkan dirinya supaya terlihat baik-baik saja di depan Candra. Ia tidak mau kalau Yusuf melihat sesuatu yang aneh dari gerak-geriknya saat rapat nanti.