Pagi ini Yusuf tengah bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Ia telah merubah penampilannya lebih rapi dari biasanya. Memakai minyak rambut, menyemprotkan wewangian di baju, dan tak lupa rambutnya dibelah tengah sedemikian rupa.
Yusuf telah selesai dengan ritual paginya, setelah itu ia pergi ke kamar Lidya. Seperti biasa, menyiapkan semua kebutuhan Lidya selagi wanita cantik itu melakukan kegiatan mandi paginya.
Semua pakaian Lidya sudah disiapkan dan sekarang saatnya membuatkan sarapan untuk wanita itu. Ia bergegas keluar kamar dan pergi menuju dapur. Tetapi langkahnya terhenti melihat Bu Tari yang sudah selesai menata semua masakannya di atas meja. Bu Tari menoleh ke arah Yusuf dan memberikan senyuman hangatnya.
"Saya sudah membuat sarapan. Kamu tidak perlu memasak lagi," kata bu Tari.
"Maaf bu, tadi saya telat bangun dan juga baru selesai menyiapkan keperluan mbak Lidya," kata Yusuf tidak enak hati.
"Sudah jangan sungkan begitu. Ayo sini duduk, kita tunggu yang lainnya. Setelah itu kita sarapan bersama," kata bu Tari, beliau pergi meninggalkan Yusuf di meja makan untuk memanggil suaminya.
Yusuf melihat semua masakan yang telah tersaji di meja, semuanya terlihat lezat. Ia jadi kangen dengan masakan ibunya di kampung, setiap pagi ibunya selalu menyiapkan sarapan untuknya dan juga ayahnya.
"Eh, Yusuf. Sudah rapi saja, mau berangkat ke kantor, ya?" kata pak Fandi yang datang bersama bu Tari di belakangnya.
Yusuf berbalik dan menoleh, "Iya, pak," katanya dengan tersenyum.
"Lidya masih belum siap ya, mah?" tanya pak Fandi, duduk di kursi makan.
"Belum, pah."
Lidya yang telah selesai dengan ritual mandinya segera mengambil pakaian yang telah tersedia. Ia melihat seragam kerja yang disiapkan Yusuf berbeda dari biasanya yang sering ia kenakan. Tetapi ia tidak punya banyak waktu untuk mengomentari ketidaksukaannya.
Dilihatnya jam di dinding dan ia masih punya waktu dua puluh menit. Tiga menit untuk memakai baju, lima menit untuk mengeringkan rambut, sepuluh menit untuk berdandan dan dua menit tersisa ia telah selesai memakai high heels. Ia kembali berkaca di cermin dan mematut penampilannya dari atas sampai bawah.
"Tidak buruk juga," katanya, melihat pantulan dirinya di cermin.
Tidak salah kalau dirinya terlalu keras mengajari Yusuf, karena semua itu berguna di saat kondisi mendesaknya. Ia jadi teringat perjodohan semalam, betapa lucu sekali nasipnya harus menikah dengan asisten pribadi.
Tapi itu cukup menarik, setiap waktu bisa dilayani oleh suami tanpa ia yang harus melayani sebaliknya. Nikmati saja dulu, setelah itu pikirkan selanjutnya. Hanya itu yang ada dipikirannya saat ini.
Baru ketika keluar dari dalam kamar ia menangkap aroma yang menggoda hidung datang dari bawah. Mungkin mamanya telah memasak sarapan, pikirnya. selama ini ia tahu betul aroma khas masakan dari sang ibu, walau dirinya jarang menikmati masakan itu setiap harinya. Tetapi, ia bisa menghapal kalau itu adalah buatan mamanya.
Lidya berjalan menuruni anak tangga. Kakinya mendadak terhenti tepat di tangga terakhir. Ia melihat Yusuf yang telah duduk bersama kedua orangtuanya di ruang makan. Yang membuat dirinya tak percaya adalah penampilan Yusuf seperti gaya lelaki tahun delapan puluhan.
Lidya hanya menggeleng pasrah. Kenapa lelaki itu tidak bisa mengikuti tren kekinian. Ia berjalan mendekat ke ruang makan dan menarik kursi di sebelah ibunya.
"Sayang, ayo kita sarapan."
"Iya ma. Maaf aku lama turunnya," kata Lidya, duduk di kursi makan.
"Iya, sayang."
Setelah selesai sarapan bersama, Lidya dan Yusuf pamit untuk pergi ke kantor. Dan sekarang mereka telah berada di mobil.
"Kamu pakai parfum apa sih! Bau banget," kata Lidya, menutup hidungnya karena aroma parfum Yusuf terlalu menyengat hidungnya.
"A-aku pakai parfum biasa mbak," kata Yusuf, mencium wangi bajunya.
"Ganti baju sana. Aku gak suka sama wangi parfum itu!" bentak Lidya.
"Tapi mbak….."
"Apa!" potong Lidya, memelototkan matanya galak.
Yusuf segera bergegas keluar. Ia kembali masuk ke dalam rumah dan berganti pakaian. Ia merasa aneh dengan sikap Lidya, sebentar-sebentar marah, sebentar baik, dan kadang berubah lebih dingin. Wanita memang membingungkan, kata Yusuf menggeleng-gelengkan kepala.
"Yusuuuuuuf! Buruan!!"
Nah, kan! Baru juga lima menit ditinggal, wanita cantik itu kembali berteriak tak karuan. Tadi meminta ia mengganti baju segera, belum selesai sudah dipanggil lagi.
Yusuf segera mengambil asal kemejanya dalam lemari dan memakainya dengan cepat. Belum sempat mengancing celananya, ia segera berlari keluar. Wanita itu paling bisa membuat dirinya kelimpungan mengikuti semua kemauannya.
"Iya, mbak."
Lidya melotot, menatap kancing celana Yusuf tidak terpasang, "Kamu jangan macam-macam, ya! Ngapain itu celana…" Lidya menunjuk ke arah celana Yusuf.
Yusuf menunduk, dilihatnya kancing celananya terbuka, menampakkan celana dalamnya yang berwarna merah. Mampus! Ia menepuk jidatnya, lalu segera berbalik memasangkan kancing celana itu.
"Maaf ya, mbak. Habisnya mbak teriak-teriak, sih. Aku kan belum sepenuhnya selesai berpakaian," kata Yusuf menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.
"Sudah, buruan! Telat tau gak?" kata Lidya, memperlihatkan jam di pergelangan tangannya.
Yusuf segera menghidupkan mobil dan menjalankan menuju jalan raya. Mereka telah terlambat sepuluh menit dari biasanya. Untung Lidya tidak mempunyai jadwal rapat pagi, kalau tidak mereka pasti akan terlambat.
Di kantor, Lidya bertemu dengan Sarah. Ia menceritakan masalah perjodohannya dengan Yusuf. Sebagai sahabat baik, Sarah menyetujui kalau sahabatnya itu akan mengakhiri masa lajangnya. Selama ini Sarah juga merasa sedih karena Lidya tidak pernah terbuka bila menyangkut masalah hati.
Dan Sarah pun tidak pernah tahu kalau dulu Lidya menyukai Candra. Walau pun mereka berteman baik, Lidya tidak pernah mau berbagi masalah pribadi dengannya. Hanya sekedar cerita bahagia saja yang dibaginya.
"Aku tak suka dengan penampilannya yang udik itu," kata Lidya frustasi, mengingat Yusuf yang tak bisa berdandan sesuai dengan kemauannya.
Sarah sungguh-sungguh mengucurkan air mata. Ia tertawa begitu keras, sampai nyaris tak bisa bicara.
"Kenapa kau mempermasalahkan itu? dia kan cukup tampan, dipermak sedikit pasti akan mendapat hasil yang memuaskan," kata Sarah, menghapus sisa-sisa air matanya karena terlalu keras tertawa.
"Masalah lainnya, ia sama sekali tak paham dengan seleraku. Masa iya aku punya suami berpenampilan udik, sementara aku harus membawa-bawanya kesana-sini."
Sarah mempunyai ide. Ia akan membantu sahabatnya itu untuk merubah penampilan Yusuf, mulai dari berpakaian, cara berbicara, cara bergaul, dan membentuk kepribadian yang tegas seperti lelaki sejati.
"Aku akan membantu mempermak calon suamimu itu. Tenang saja, serahkan semuanya padaku. Kau hanya perlu terima hasil akhir dariku, oke?" kata Sarah, menyombongkan diri.
"Kau pakarnya!" tegas Lidya, memberi dua jempol untuk kepercayaan diri sahabatnya itu.
Sarah yakin kalau Lidya mempunyai perasaan cinta untuk Yusuf. Ia akan menguji perasaan yang sebenarnya dari sahabatnya itu. sebagai teman terdekat, ia akan berusaha membantu Lidya mendapat kepercayaan diri untuk mendapatkan cinta Yusuf.
Mengingat lelaki itu sangat polos, tidak mungkin Yusuf akan mengetahui hati Lidya yang sebenarnya. Lidya sangat gengsian, menurutnya. Jadi ini adalah waktu yang tepat untuk menyatukan keduanya sebelum mereka terlibat hal gila dalam pernikahan nantinya.
"Beri aku modal, dan semuanya beres."
Lidya mendengus sebal, pasti ujung-ujungnya ia akan mengeluarkan uang juga. Ia tahu kalau sahabatnya itu mata duitan. Apa pun yang berhubungan dengan Sarah, pasti akan berakhir dengan bayaran yang setimpal.
Tak jarang Sarah selalu menggaet bos-bos kaya dan mapan untuk dijadikan ATM berjalan. Tetapi ia senang berteman dengan Sarah, karena di setiap suka dan duka Sarah selalu ada bersamanya.
"Oke. Itu adalah ciri khas dirimu," kata Lidya, mengeluarkan cek dan menulis beberapa angka di atasnya.
"Terima kasih, kau selalu mengenal diriku….. hahaha," kata Sarah, menerima cek tersebut dengan mata berbinar.
"Eits! Tunggu dulu."
"Apa lagi!"
"Kau harus berjanji untuk memberikan hasil yang memuaskan, oke. Jangan kecewakan aku, ingat?" Lidya menekankan suaranya.
"Oke! Oke, kau lihat dan tunggu saja kejutan dariku," kata Sarah, sebal dengan sifat Lidya yang selalu otoriter dan semuanya harus serba sempurna sesuai kemauannya.
"Bagus."
Lidya tidak sabar menanti, kejutan apa yang akan diberikan Sarah setelah ini. Karena ia sama sekali tidak tertarik untuk terjun langsung menangani Yusuf. Sebagai bos di perusahaan itu, ia masih mempunyai banyak tanggung jawab untuk memutuskan apa pun yang akan dikerjakannya.
Tidak ada waktu untuk sekedar berleha-leha menemani kegilaan Sarah. Cukup waktunya diperlukan untuk hal-hal yang lebih menguntungkan seperti kerja sama, atau memenangkan tender proyek kerja. Itu lebih menarik, pikirnya bangga.