Lidya merebahkan tubuhnya di sofa panjang khusus tamu dan memegang wajah dengan kedua tangannya sembari mengumpat kesal. Pria bodoh tidak bisa diandalkan.
Ia mengambil handphone di atas meja dan mengetik nama Sarah sahabatnya untuk berbagi kekesalan yang tengah ia rasakan saat ini. Dua kali deringan sambungan teleponnya tidak diangkat juga hingga ketiga kalinya ia mencoba langsung mendapat jawaban.
"Sarah. Sesibuk itu kah kau? Hingga teleponku tidak diangkat," kata Lidya pada Sarah.
Lidya mengeryitkan keningnya saat mendengar suara-suara aneh di seberang teleponnya. Seperti suara orang melakukan kegiatan panas. Ia menggelengkan kepala karena menelepon di waktu yang tidak tepat.
"Apa yang kau lakukan?" teriak Lidya frustasi.
"Ah… uhhhmm. Halo sayang, aku sedang menari eroti…is, yah!.... ah," jawab Sarah.
Lidya memijit keningnya dan memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri agar tidak mengeluarkan umpatan kasar kepada Sarah. Saat ini situasinya sangat tidak baik untuk bercerita baik-baik. Ia butuh pelampiasan agar bisa mengurangi stress di kepalanya.
"Dasar! Lanjutkan olahragamu, kau merusak telingaku dengan desahan sialanmu itu!" Lidya mematikan sambungan teleponnya saat mengetahui Sarah sedang dalam waktu yang tidak tepat.
"Sialan! Kapan sahabatku itu akan sadar dari kegilaannya?" gumam Lidya.
Setelah beristirahat sejenak, ia melihat jam masih menunjukkan pukul dua siang. Sejenak ia memejamkan matanya perlahan, mencoba untuk menenangkan pikirannya yang telah dilanda emosi sejak tadi. Mungkin ia butuh menormalkan kembali emosinya dan mengistirahatkan tubuhnya agar kembali bertenaga. Dan sertelah beberapa menit, ia mulai memasuki dunia mimpinya.
Yusuf merasa frustasi, ia sama sekali tidak habis pikir dengan semua yang menimpanya hari ini. Di satu sisi ia kelelahan mengimbangi emosi Lidya, sementara pekerjaannya masih terbengkalai belum terselesaikan. Ia mencoba berdamai dengan kekesalan hatinya dan kembali melangkah menuju ruanganan kerja.
Setelah memasuki ruangan, ia mendapati sosok wanita cantik itu tertidur lelap di atas sofa. Wajah itu terlihat polos sekali saat tidur, dengkuran halus keluar dari bibir cantiknya. Ada sedikit kerutan di antara alisnya, mungkin wanita itu kelelahan setelah peperangan mulut yang menghabiskan energi itu.
Yusuf membiarkan wanita itu tertidur menikmati dunia mimpinya. Ia segera berjalan ke meja kerjanya dan melanjutkan kembali pekerjaan yang sempat terjeda beberapa menit yang lalu.
Yusuf larut dalam pekerjaanya mengulang kembali membuat gambaran rancangan yang telah rusak tadi. Ia menghabiskan waktu hingga lima jam untuk mengerjakan semua itu. Bersyukur berkat otak yang cerdas dan rasa tanggung jawab yang tinggi pekerjaannya terselesaikan dengan rapi. Ia telah melewatkan jadwal pulang kerjanya. Bahkan kini jam di dinding telah menunjukkan pukul tujuh malam.
Matanya beralih ke sofa tempat bos cantiknya itu tertidur. Wanita itu masih berada di sana dengan posisi tidur miring memunggungi dirinya. Ia melangkah mendekati sofa itu, mencoba untuk membangunkan wanita itu karena hari sudah gelap.
"Mbak, bangun," kata Yusuf mencoba membangunkan Lidya dengan menepuk-nepuk pelan lengan wanita itu.
"Hmmmm," Lidya menggeliat dan mengernyitkan matanya untuk mengatur pencahayaan yang masuk ke bola matanya.
"Mbak, ayo bangun. Sekarang sudah jam tujuh," kata Yusuf memperlihatkan jam tangannya.
"Ah! Jam tujuh. Ya ampun," kata Lidya segera duduk dari pembaringannya.
"Iya,"
"Ya sudah, tunggu sebentar. Saya siap-siap dulu."
Langkah Lidya mendadak terhenti, ia berbalik menatap Yusuf. Ada sesuatu yang masuk ke ingatannya saat ini, dan ia telah melewatkan itu sekitar lima jam yang lalu.
"Tapi bagaimana dengan berkas desain yang rusak?" kata Lidya dengan wajah cemasnya.
"Berkasnya telah selesai saya perbaiki, mbak. Dan saya sudah mencetak semua salinannya," kata Yusuf menjelaskan.
Ada kelegaan yang terpancar dari mata Lidya, mendengar jawaban dari Yusuf. Ia telah tertidur selama itu dan melupakan masalah desain yang sudah rusak. Tetapi ia cukup bingung, bagaimana Yusuf bisa menyelesaikan itu sementara pekerjaan yang telah dikerjakannya bukan menyangkut keahliannya.
"Tetapi bagaimana bisa kau mengerjakannya sendiri? Dan aku tebak itu bukan bidang keahlianmu dalam menanganinya sendirian," kata Lidya, mencoba mendapat penjelasan yang masuk akal dari Yusuf.
"Saya telah berjanji akan bertanggung jawab memperbaikinya, mbak. Dan saya telah berusaha melakukan yang terbaik dari pekerjaan itu, tetapi saya merasa kurang yakin dengan hasilnya. Nanti coba mbak periksa lagi di mana letak kesalahannya," kata Yusuf.
"Baiklah, sekarang kita pulang dulu."
"Baik."
Di rumah, mereka disambut oleh bu Tari dengan masakan lezat yang telah dipersiapkannya sejak sore. Beliau memasak banyak menu, dari masakan khas danging, hingga berbagai sayuran yang telah dibuat seenak mungkin.
"Hai, ma." Lidya mencium tangan ibunya.
"Kenapa pulangnya terlambat? Mama dari tadi menyiapkan semua ini untuk kalian, loh," kata bu Tari tersenyum menyabut anak kesayangannya.
"Iya. Tadi di kantor banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Oh iya, papa di mana, ma?"
"Papa sedang di kamar. Kamu mandi dulu, biar mama panaskan lagi makanan itu," kata bu Tari sambil melangkah ke ruang makan.
"Iya."
Yusuf juga pergi ke kamarnya, ia merasa tenaganya terkuras habis setelah berkutat dengan desain yang telah dirusaknya. Seharian ini dilewatinya begitu saja. Kantung mata menjadi penghias wajah tampannya karena seharian fokus menatap layar komputer.
Ia benar-benar fokus menyelesaikan pekerjaanya itu. Kini ia baru bisa merenggangkan otot punggung serta pinggangnya. Ketika semua pekerjaan yang dirusak pagi tadi telah selesai diperbaiki.
"Akhirnya, aku bisa merasakan keempukan tempat tidur ini lagi," kata Yusuf sambil menghempaskan tubuh kokohnya ke atas ranjang.
Yusuf benar-benar sangat lelah dan sangat membutuhkan waktu untuk istrirahat sebentar, sebelum makan malam bersama keluarga Lidya. Ia tidak melepaskan sepatunya, tetap memakai semua pakaian utuh kantornya untuk tidur.
Saat ini Yusuf tidak memiliki keinginan untuk melepas pakaian kerjanya karena ia sudah terlena dengan keempukan kasur yang menginginkannya untuk segera terlelap di atas tempat empuk itu.
Matanya terpejam sempurna. Menit berikutnya ia terlelap ke dunia mimpinya. Setelah melewati hari yang panjang, akhirnya ia terbebas dari masalah yang telah dibuatnya. Semuanya telah beres dan semoga besok adalah hari yang menyenangkan baginya.
Sementara itu, di kamar Lidya. Wanita itu telah selesai membersihkan diri dan telah berganti pakaian. Ia duduk di sofa bed di samping balkon sambil memegang berkas yang Yusuf berikan di kantor tadi. Ia membuka map itu dan melihat hasil yang dikerjakan oleh lelaki itu. Setelah membolak-balikkan lembar per lembar dan membaca seteliti mungkin, ia cukup terkejut dengan hasil kerja lelaki itu.
Sempurna!
Hanya satu kalimat itu yang tepat untuk memberikan penilaian dari hasil kerja Yusuf. Ia sama sekali tidak menyangka dengan kemampuan lelaki itu dalam membuat ulang desain itu. Sama sekali tidak ada kekurangan dari rancangan itu, bagaimana Yusuf bisa melakukan itu? hanya itu yang terbesit dari benaknya.
Selama ini Yusuf hanya bekerja sebagai asisten pribadinya. Tidak pernah melakukan pekerjaan sulit seperti saat ini, hanya menyalin data dan mengirimkan data saja yang baru dilakukannya. Apakah Yusuf mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dibanding dengan menjadi pesuruhnya.
Berarti selama ini ia telah salah menilai Yusuf. Lelaki itu mempunyai potensi yang luar biasa dari dugaannya. Ia akan berpikir kembali untuk memberikan pekerjaan sesuai dengan kemampuan yang sebenarnya dari Yusuf.
Tidak sampai satu jam, berkas itu telah selesai diperiksanya. Dan ia sama sekali tidak perlu bersusah payah membetulkannya. Setelah membaca bagian berkas terakhir, ia merasakan perutnya keroncongan. Dan ia ingat terakhir kali mengisi perutnya saat bersama Sarah. Itu sudah delapan jam dari jarak waktu saat ini.
Pantas saja ia merasakan lapar, rupanya ia telah melewatkan makan siang dan makan malamnya. Ia meletakkan berkas itu di meja komputer dan segera berjalan keluar untuk makan malam.
Di meja makan sudah ada mama dan papanya menunggu.
"Kenapa lama, nak?" kata mamanya.
"Eh, iya ma. Maaf tadi aku memeriksa berkas dulu," kata Lidya menarik kursi dan bersiap untuk makan.
"Ya sudah ayo kita makan."
Lidya melihat sekeliling, tetapi ia tidak menemukan Yusuf. Kemana perginya lelaki itu, katanya dalam hati. Sambil menunggu mamanya menyiapkan makanan di piring, ia berdiri.
"Ma tunggu sebentar, ya. Aku mau panggil Yusuf dulu," kata Lidya, bergerak meninggalkan meja makan.
Ia berjalan ke kamar yusuf. Tiba di depan pintu kamar, ia mengetok pintu itu.
Tok…
Tok…
Tok…
"Yusuf," kata Lidya bersuara.
Tetapi tidak ada sahutan dari dalamnya. Ia kembali memanggil nama Yusuf. Dan sama. Tidak juga mendapat jawaban dari lelaki itu. Ditariknya ganggang pintu dan kebetulan pintu tidak dikunci, ia masuk dan didapatinya kamar itu gelap.
"Yusuf…."
Lidya menekan kontak lampu, dan tampaklah lelaki itu tertelungkup tidur di ranjang. Ia menggeleng-gelengkan kepala melihat Yusuf yang tertidur dengan seragam kantornya, bahkan sepatunya masih terpasang.
Apakah segitu kelelahannya, sampai ia tidak sempat membuka sepatu dulu. Lidya mendekati ranjang Yusuf, ia bisa melihat wajah Yusuf yang terlelap kelelahan.
Napas lelaki itu teratur dan wajahnya tampak lebih tampan dua kali lipat saat terlelap begitu. Baru kali ini Lidya melihat wajah Yusuf di saat lelaki itu dalam keadaan tidak sadarnya.