"Yusuf, tolong berikan file ini kepada Lidya. Saya ada kepentingan yang mau diurus," kata Candra, memberikan sebuah map kepada Yusuf.
"Baik, pak."
Yusuf segera membawakan map berisi file penting itu ke ruangan Lidya. Sudah cukup drama siang ini setelah kejahilan wanita cantik itu menakutinya. Setelah sampai di depan pintu ruangannya, ia segera membuka pintu dan terlihat Lidya yang sedang fokus mengetik di komputernya.
"Mbak."
Lidya menoleh, memutar kursi duduknya, "Ya," katanya.
"Ini pak Candra menitipkan file. Saya taruh di sini, ya?" kata Yusuf, meletakkan di meja kerja Lidya.
Yusuf tidak sengaja menyenggol gelas berisi air minum Lidya dan mengenai map. Karena tangannya tidak sigap mengambil benda itu segera, jadi lah air tumpahan minum membasahi kertas yang berada di dalam map itu.
"Astaga!!!" Lidya, panik melihat file itu telah basah dengan air menggenangi di atasnya.
"Maaf, mbak." Yusuf segera mengambil map itu, lalu dikeringkan dengan bajunya.
Ia telah ceroboh karena tidak berhati-hati meletakkan berkas penting itu. habis sudah! Kertas yang berada dalam map tadi sudah tidak bisa terselamatkan lagi.
Yusuf sangat takut melihat raut muka Lidya yang telah berubah pias menahan amarah. Ini memang kesalahannya, ia siap untuk menerima konsekuensinya.
Sambil berharap-harap cemas ia mencoba menatap Lidya, meminta maaf atas tindakan yang baru saja dilakukannya.
" Maaf, mbak. Saya benar-benar tidak sengaja," kata Yusuf, meminta maaf dengan wajah menyesal.
"Ya, Tuhan!"
"Kau tidak lihat! Kau…. Ah!" umpat Lidya marah.
Lidya mengerang marah penuh emosi, ketika melihat file penting itu tidak sengaja terkena tumpahan air minumnya oleh Yusuf. File itu berisikan contoh rancangan desain yang akan diberikannya kepada Soni group. Hancur sudah semuanya, gara-gara asisten udik yang tidak berhati-hati itu.
Yusuf tidak berani berkutat lagi saat mendengar makian keras dari mulut Lidya. Ia hanya merutuki kesialannya hari ini. Apa pun yang bisa membuat file ini utuh lagi pasti akan dilakukannya agar Lidya tidak marah lagi.
"Saya akan bertanggung jawab memperbaikinya, mbak," kata Yusuf penuh gugup dan rasa bersalah.
"bertanggung jawab?... hahaha, lucu yah! Kamu nyadar dong, posisi kamu itu hanya asisten. Seberapa kepercayaan dirimu untuk membenarkan file ini kembali?" kata Lidya, meremehkan kemampuan Yusuf.
"Maaf m-mbak."
"Apa? Maaf? Besok file ini harus ada tepat jam sembilan pagi. Aku tidak mau tahu bagaimana dan kenapa kau mendapatkan file ini utuh kembali. Paham!" bentak Lidya galak.
Yusuf yang wajahnya pucat pasi segera mundur, membawa file itu ke meja kerjanya. Walau pun keahliannya tidak di bagian arsitek, tetapi ia akan mencoba melakukan sebaik mungkin. Dilihatnya file yang telah basah itu, semua tulisan yang ada di dalamnya telah mengambang, tidak bisa dibaca lagi. Hanya tulisan besar saja yang masih sedikit bisa dibaca.
Yusuf tidak menyia-nyiakan kesempatan lebih lama. Diambilnya kertas yang masih kering, lalu disebarkannya satu per satu di atas meja. Ia mencoba untuk segera menyalin ke komputer tulisan yang masih utuh itu.
Lidya menarik napas kasar. Kepalanya berdenyut pusing memikirkan file itu yang akan diberikannya besok kepada pihak arsitektur Soni Group.
Dilihatnya Yusuf yang tengah sibuk memisahkan satu per satu kertas di atas mejanya, ia sangat kesal dengan kecorobahan lelaki itu. Mau bagaimana pun ia harus turun tangan membantu menyelesaikan, karena tidak mungkin asisten udik itu mampu menyelesaikan pekerjaan sesulit itu.
Tiba-tiba pintu ruangannya diketok dari luar. Lidya memberikan perintah untuk mempersilakan orang itu masuk.
"Masuk."
"Hai, ini aku." Candra datang dengan membawa dua cup kopi di tangannya.
"Ada apa kau kemari," kata Lidya cetus.
"Hei, ayolah. Aku hanya datang mengunjungi adik sepupuku, kenapa kau begitu sekali kepadaku ini," kata Candra, memperlihatkan wajah pura-pura sedihnya.
"Aku sedang tidak mood untuk meladeni tamu," kata Lidya.
"Ada apa? Kenapa wajahmu seperti baju kusut begitu?"
Lidya menghempaskan tubuhnya ke kursi. Emosinya masih belum reda untuk melayani obrolan dengan Candra. Saat ini ia hanya butuh hasil yang memuaskan tentang file yang telah rusak.
"File yang kau berikan tadi telah rusak oleh kecerobohan pria itu!" kata Lidya menunjuk ke tempat Yusuf bekerja.
Candra mengikuti arah telunjuk Lidya. Di sana terlihat Yusuf yang sedang asik mengeringkan kertas-kertas yang terlihat basah.
"Kenapa?"
"Ketumpahan air minum."
"Ya ampun, kenapa bisa hancur begitu. Pantas saja kau marah. Aku juga tidak punya salinannya," kata Candra, yang mulai terlihat gelisah.
Candra berjalan mendekati meja kerja Yusuf. Ia bisa melihat kertas itu hanya tinggal sebagian saja yang utuh. Besok adalah hari penyerahan semua berkas itu, tetapi ia rasa dengan waktu sehari tidak akan cukup memperbaiki bagian yang telah rusak itu.
"Maaf pak, saya akan berusaha memperbaiki lagi," kata Yusuf dengan wajah bersalah.
"Semoga berhasil," kata Candra dengan senyum mengejek.
Terlihat sekali di raut wajah Candra, bahwa dia kelihatan senang sekali dengan kejadian yang menimpa Yusuf itu. Dari sorot matanya ia mengatakan, rasakan itu semoga kau tak berhasil. Itu lah yang bisa Yusuf tangkap dari tatapan mata Candra kepadanya.
"Lidya, kenapa dia sih calonnya gak ada yang lebih baik apa" kata Candra.
"Gak ada, yang masih perjaka dia doang. Aku mau yang masih berlebel," kata Lidya, membuat Candra bungkam sesaat.
"Jaman sekarang masih perjaka? Yakin itu?"
"Karena aku tahu mana yang masih original dan mana yang sudah bekas, alias kw."
Candra kembali menatap Yusuf, "Tampang lumayanlah, body oke, ya… satu sih kurangnya. Kurang tegas….."
"Kenapa sih kamu kesini. Aku sedang tidak mau berdebat,"
"Aku Cuma mau tahu tentang rencana pernikahan kalian saja. Habisnya kamu tiba-tiba menerima perjodohan om Fandi sih, kenapa tidak bersama akau saja?"
"Mimpi!" kata Lidya sinis.
"Aku bisa membuat kamu puas setiap saat loh, Lidya. Gimana, mau mencobanya?" kata Candra, menggoda dengan seringaian nakalnya.
"Pak, bisa tolong jaga ucapan bapak, bagaimana pun mbak Lidya adalah pimpinan bapak di sini."
Lidya dan Candra tersintak mendengar uacapan Yusuf yang berani-beraninya memberi peringatan.
"Wah, wah. Berani ya, kamu? Baru menjadi calon suami Lidya saja kamu sudah belagu, ya. Dengar ya, walau kamu sudah menjadi suaminya nanti, jabatan kamu di sini masih tetap jadi kacungnya, ngerti! Jadi jangan pernah sok menjadi suami idaman!" bentak Candra marah, hendak memukul Yusuf, tetapi langsung ditahan oleh Lidya.
"Yusuf diam! Candra cukup. Sekarang lebih baik kamu keluar, aku butuh ketenangan."
Candra langsung keluar, "Awas kamu, ya!" katanya menatap Yusuf dengan tatapan emosi.
Setelah Candra keluar, Lidya langsung mengamuki Yusuf. Ia sangat benci bila masalah pribadinya dicampuri. Ditariknya kerah baju Yusuf kuat, lalu ditamparnya pipi Yusuf hingga membuat Yusuf meringis kesakitan.
Plak!
"Jangan pernah ikut campur urusanku. Sekali lagi kau mencari masalah, angkat kaki dari sini. Paham!" kata Lidya, menatap marah Yusuf dengan mendorong pundaknya kuat, membuat Yusuf terhuyung ke belakang.
"Maaf, mbak," kata Yusuf, segera pergi keluar meninggalkan Lidya yang masih meredam emosinya.
Yusuf sebenarnya tidak suka mendengar ucapan Candra merendahkan Lidya, karena bagaimana pun wanita itu akan menjadi tanggung jawabnya sebentar lagi.
Tetapi, respon yang diberikan Lidya berbanding terbalik dengan pikirannya. Harusnya wanita itu mengerti maksudnya melindungi kehormatannya itu. Ia hanya menarik napas perlahan, mencoba untuk menenangkan isi pikirannya.
Belum selesai memperbaiki kesalahan yang pertama, sekarang ditambah lagi masalah kedua. Semua ini terasa sangat berat bagi Yusuf, ia akan pergi jika memang Lidya sudah tidak membutuhkannya lagi.
Percuma mempunyai jabatan tinggi, sementara dirinya tidak pernah dihargai oleh orang lain, apalagi Lidya yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.
Lidya memegang kepalanya yang terasa mau pecah. Ia semakin kesal dengan kenyataan, bahwa dengan sembrono ia menerima Yusuf sebagai calon suaminya. Apa yang akan terjadi jika setiap hari, ia akan terlibat emosi secara terus-terusan dengan Yusuf karena kecerobohan dan kepolosan lelaki itu. Adakah jalan lain yang bisa membawanya pada kedamaian, tanpa harus menikah.
"Semua gara-gara orangtua itu. Aku bosan mengikuti kemauan mereka," kata Lidya dengan marah.
Ia menyalahkan semua kesialannya selama ini kepada keputusan orangtuanya. Belum cukup dirinya tidak pernah menuntut untuk selalu mendapat perhatian selama ini, sekarang malah dipaksa menerima pernikahan dengan lelaki udik yang selalu membuat tensinya mendidih.
"Gila! Gilaa! Akhhhh!!" Lidya melempar semua benda yang ada di dekatnya.