Yusuf menikmati waktu istirahat makan siang di kantin bersama Raka. Lelaki yang bekerja di bagian pemasaran itu sangat baik padanya. Ia mau berteman dengan Yusuf, walau yang lainnya menjauhi dirinya.
"Mas, sudah lama bekerja di sini?" tanya Yusuf, di sela-sela makannya.
"Sudah. Mungkin ini tahun ke lima saya di sini," kata Raka menanggapi.
Yusuf mengangguk mengerti. Dilihat dari penampilannya, Raka terlihat berumur tiga puluh tahunan, karena ada sedikit lipatan di bawah kelopak matanya menandakan ia sudah tidak muda lagi. Mungkin sudah berkeluarga juga, pikir Yusuf menebak.
"Saya sudah berkeluarga dan mempunyai satu orang putri," kata Raka, menjawab rasa penasaran Yusuf.
"Wah, mas sudah punya anak. Pasti anaknya cantik, ya mas?" kata Yusuf, mencoba lebih akrab.
"Iya. Dia lagi masa cerewet-cerewetnya saat ini," kata Raka, mengingat tingkah putri kecilnya di rumah.
"Aku paling suka anak kecil, mas."
Raka menatap Yusuf. Ia bisa melihat kejujuran dari sosok pria di hadapannya itu. walau pun penampilan luarnya berbeda dengan staf kantor yang lain, tetapi ia bisa melihat bahwa Yusuf memiliki kepribadian yang menyenangkan dan baik.
"Makanya kamu segera menikah, biar punya anak yang lucu-lucu juga," kata Raka, menggoda Yusuf.
"Uhuk…uhuk," Yusuf tersendak, mendengar kata menikah.
"Nih, minum dulu," Raka memberikan segelas air putih.
Yusuf menerima gelas itu dan langsung meminumnya. Ia terkejut mendengar kata-kata menikah. Mengingat ia akan menikah dengan Lidya, ia jadi gugup. Apakah Lidya akan mau menerima perjodohan itu atau malah mengerjai dirinya dengan mengulur waktu lebih lama.
Yusuf membayangkan jika menikah nanti, ia akan mempunyai anak bersama Lidya.
Anak…
Makhluk kecil akan lahir mewarisi dirinya. Ia tidak bisa membayangkan akan mempunyai keturunan dengan Lidya. Apakah wanita itu mau mempunyai anak darinya, atau malah wanita itu hanya menginginkan status pernikahan saja. Saat ini ia tidak boleh terlalu berharap untuk masa depan yang cerah bersama Lidya, karena ia merasa tak pantas mendapatkan kehormatan itu. Ia sadar dirinya hanya berasal dari kampung dan mempunyai latar belakang keluarga yang biasa-biasa saja. Tidak seperti Lidya yang mempunyai gelar dan kehormatan yang sudah di sandang sejak lahir.
Setelah makan siang, Yusuf segera kembali ke ruangan kerja, meneruskan pekerjaannya. Di dalam ruangan, ia melihat meja Lidya yang tampak kosong. Mungkin dia keluar, pikir Yusuf. Ia duduk di kursinya, membuka map besar yang telah di bawanya dari ruang sekretaris. Sekarang pekerjaannya memasukkan semua data-data yang berada di map itu ke komputernya agar Lidya mudah memeriksa semua laporan dari bawahannya. Semua pekerjaan yang diberikan Lidya, dikerjakannya dengan teliti.
Kalau ada kesalahan sedikit saja, gajinya yang akan menjadi jaminan. Beruntung ia sangat teliti dan selalu memperhatikan apa saja yang telah didatanya. Ia tidak ingin hasil jerih payahnya dipotong karena keteledoran, maka dari itu semuanya benar-benar teliti dikerjakan. Dan ia juga ingin membuktikan kalau dirinya mampu merubah nasip hidupnya menjadi lebih baik. Setelah semua orang yang mengejek kemampuannya, ia bertekad untuk berubah menjadi orang sukses, membuktikan dirinya mampu.
Pintu ruangan dibuka, menampilkan wanita cantik itu melangkah masuk. Wanita itu berjalan ke sofa tamu.
"Yusuf. Kesini sebentar,"kata Lidya, duduk di sofa.
"Baik," Yusuf segera bangun, beranjak mendekati tempat duduk Lidya.
"Saya telah memikirkan untuk menerima kamu sebagai calon suami… tapi dengan syarat kamu harus belajar dulu dengan Sarah. Saya tidak mau mempunyai suami udik dan kampungan!" tekan Lidya, menyilangkan kaki, menatap tajam Yusuf.
Belajar… sama Sarah?
Sebuah bayangan mesum dari Sarah muncul begitu saja di kepalanya. Bayangan Sarah menggodanya dengan bentuk tubuh yang meliuk-liuk seperti ulat bulu itu, membuatnya ngeri. Ia masih menginginkan kesucian matanya, jika bersama Sarah semua itu akan musnah. Monster penjilat pria itu akan menggerayangi dirinya.
"Saya gak mau berdekatan dengan bu Sarah, mbak," kata Yusuf, takut-takut.
Lidya mengeryitkan dahinya. Kenapa respon Yusuf berlebihan begitu ketika dirinya menginginkan untuk belajar dengan Sarah. Ia tahu kalau sifat sahabatnya itu genit, tetapi ia tak yakin Sarah akan mengambil yang telah menjadi label miliknya.
"Kamu tenang saja. Sarah tidak akan memakanmu, dia telah menerima pekerjaannya untuk membatu apa yang saya inginkan. Jadi, jangan bertingkah jika kamu masih menginginkan kedamaian!" tegas Lidya, menunjuk tepat di kening Yusuf.
"Baik, mbak," kata Yusuf, tak bisa membantah.
Yusuf jadi teringat dengan percakapannya di kantin bersama Raka, mengenai anak. Ia jujur ingin mempunyai anak bersama Lidya, tetapi ia masih ragu untuk menanyakan apakah Lidya mau menerima keinginannya itu.
"Mbak,"
"Ya," sahut Lidya.
"Kalau kita menikah nanti, apa kita akan begitu…?"
"Begitu apa?"
"Anu-anu, mbak…."
"Bicara yang jelas!" bentak Lidya, dengan wajah galak.
"Hubungan i-intim," kata Yusuf, memicingkan matanya malu.
Lidya mengernyitkan keningnya. Ia mengerti apa yang Yusuf katakan. Berhubungan intim seperti kebanyakan pasangan suami-istri, dia tahu itu akan terjadi. Tetapi setelah mendengar Yusuf yang berinisiatif mengatakan itu duluan, ia jadi mempunyai ide cantik untuk mengerjai lelaki polos itu. ia segera bergerak pindah ke samping Yusuf dan menatap lekat kedua manik hitam itu.
"Maksudmu begini!" kata Lidya, menggeggam tonjolan kecil di balik celana Yusuf.
"Aaaaa!!! Jangan mbak, saya masih perjaka. Nanti saja kalau sudah sah!!" Teriak Yusuf, menutup bagian keramatnya dengan kedua tangan.
"Ayo kita coba sedikit…." Kata Lidya, menggoda Yusuf yang telah menggigil ketakutan.
"Tidaaak!!" Yusuf segera berdiri dan bergegas berlari keluar ruangan.
Lidya tertawa geli melihat tingkah polos Yusuf. Ia hanya mengerjai lelaki itu, agar tidak terpengaruh dengan pikiran-pikiran kotor dari orang lain. Ia tahu bagaimana sifat Yusuf, lelaki itu tidak akan pernah mau mengerti dengan hal-hal primitif, sifat dasar manusia.
"Dasar payah!" Lidya langsung bangun dan segera berjalan ke meja kerjanya.
Sementara Yusuf, ia sangat terkejut setelah apa yang baru saja dilakukan Lidya kepadanya. Seumur-umur belum ada yang berani melakukan itu kepadanya. kenapa wanita itu sangat agresif sekali, pikirnya. Semua itu tidak akan terjadi, jika ia tidak mengutarakan rasa penasarannya untuk mempunyai anak. Ia merasa kepribadian Lidya lebih ganas dengan yang sebelumnya, setelah kejadian itu.
"Eh, ada Yusuf."
Tiba-tiba saja pundaknya ditepuk dari belakang. Ia berbalik dan ternyata pelakunya adalah Sarah, wanita seksi yang sangat sensasional itu menampilkan senyum terbaiknya.
"Kenapa? Kok kayak orang ketakutan begitu?" kata Sarah, melihat wajah Yusuf yang terlihat panik seperti habis dikejar setan.
"Tidak apa-apa, bu. Mari…."
Yusuf segera menepis tangan Sarah yang berada di pundaknya dan segera melangkah. Ia tidak mau berurusan dengan wanita lagi setelah mendapati perlakuan Lidya di ruangan kerja itu.
"Tungggu, Yusuf!" Sarah menarik lengan Yusuf, mencegah dia pergi.
"Kenapa lagi ya, bu?" kata Yusuf, menghentikan langkahnya.
"Kamu besok temui saya di ruangan. Kita akan belajar banyak, oke!"
"Belajar? Belajar apa ya, bu?" kata Yusuf binggung.
"Sesuatu," kata Sarah, mengedipkan matanya menggoda.
Yusuf hanya pasrah, karena ia telah diberitahu oleh Lidya untuk belajar dengan Sarah. Sebenarnya ia ingin menolak, tetapi ia tidak ingin bos cantik itu murka dan malah berimbas pada pekerjaannya.
"Baik."
Hanya itu yang dikatakan Yusuf dan setelah itu ia beranjak pergi meninggalkan Sarah sendiri. Ia butuh tempat aman saat ini, sebelum kembali ke ruangan Lidya untuk meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda. Ia menyesal telah memancing kegilaan bosnya itu, kalau tahu begini jadinya, ia tidak akan menanyakan hal aneh itu.
"Hei, Yusuf?" sapa Candra yang baru keluar dari ruangannya.
Yusuf menoleh ke asal suara. Di sana ada Candra yang berdiri di pintu ruangannya. Lelaki dewasa itu tampak gagah dengan setelan jas kerjanya. Telihat sekali Candra sangat pintar mempadu-padankan pakaiannya, dari segi penampilan tampak pas di badan tegapnya. Dibanding dirinya, sudah jauh sekali di bawah Candra.
"Iya, pak, Candra."
"Dari mana, Yusuf?" kata Candra, mendekati Yusuf.
"Dari toilet pak," kata Yusuf.
"Lidya mana?"
"Ada di ruangannya pak," kata Yusuf, menjawab dengan sopan.
sebenarnya Candra ingin menanyakan hubungan Yusuf dengan Lidya, Karena ia telah tahu dari pak Fandi bahwa Lidya dijodohkan dengan lelaki itu. Tentu saja membuat Candra penasaran tentang kebanaran yang telah didapatnya.
"Ehem. Omong-omong kamu dan Lidya dijodohkan, ya Yusuf?" kata Candra, mencoba mengorek informasi dari Yusuf.
Yusuf kaget. Kenapa Candra bisa tahu, pikirnya. Padahal berita itu tidak disebarluaskan, tetapi sudah diketahui oleh Candra.
"Kamu jangan kaget begitu, saya diberitahu oleh om Fandi." Candra tahu kalau Yusuf terkejut karena ia menanyakan hal itu.
"Itu masih belum pasti, pak."
"Kenapa belum pasti?" kata Candra masih penasaran.
"Saya kurang tahu, pak. Coba bapak tanyakan kepada mbak Lidya," kata Yusuf.
Ia tidak ingin mendahului Lidya. Karena wanita itu akan marah jika ia tidak meminta ijin untuk mengatakan apa pun yang menyangkut masalah pribadinya. Untuk saat ini ia lebih baik mundur dari hadapan Candra, sebelum pria itu bertanya hal lainnya. Karena ia tidak ingin terpengaruh untuk membeberkan informasi pribadi bosnya itu.