Lidya berhenti di luar ruang rapat untuk merapikan blazernya, lalu menyisipkan helaian rambut hitamnya ke balik telinga. Ia maih canggung untuk berhadapan dengan Candra. Mengingat sosok lelaki itu yang sudah lama tidak bertemu dengannya semenjak ia memutuskan untuk menjauh.
Lidya menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkan perlahan. Memutuskan untuk menghadapi lelaki itu dengan keadaan tenang dan baik-baik saja. Di sampingnya sudah ada Yusuf yang setia mendampingi. Mungkin dengan keberadaan Yusuf di sampingnya bisa membuat dirinya lebih tenang di hadapan Candra, nantinya.
Yusuf melirik ke arah Lidya, menatap ekspresi wanita itu yang agak menampilkan ketegangan di wajah cantiknya. Ia berinisiatif untuk membukakan pintu untuk mempersilakan Lidya masuk terlebih dahulu.
"Silahkan, mbak." Yusuf membukakan pintu.
Lidya menatap tajam ke arah Yusuf. Ia masih mempersiapkan diri untuk terlihat santai, dan Yusuf dengan beraninya menghancurkan kepercayaan dirinya dengan mempersilakannya masuk duluan. Persetan dengan semuanya!
Ia mengangkat dagunya tinggi, menegapkan badanya. Matanya terfokus ke depan, langkah kakinya mulai bergerak perlahan tapi pasti. Dengan tatapan tegas ia berjalan masuk.
"Kenapa kau lama sekali?" suara Candra memecah ketegangan Lidya.
Lidya mendadak berhenti di atas sepatu berhak tinggi yang sekarang rasanya terlalu tinggi.
Candra duduk di ujung meja besar. Dan sialnya terlihat lebih tampan sejak kali terakhir bertemu Lidya dua tahun lalu. Rahangnya bersih dari bulu-bulu. Mata gelapnya menatap Lidya dengan tajam dari atas sampai ke bawah.
Yah, Lidya berpakaian lengkap dan siap untuk berbisnis. Bisnis yang akan melibatkan Candra. Sambil mengangkat dagu, Lidya berpaling menghadapi Yusuf seakan-akan dia bukannya baru saja membuat sejarah dalam mengawali rapat dengan cara paling canggung. Dia mengulurkan tangan pada Candra, memulai rapat secepat mungkin.
"Senang bertemu denganmu, Candra."
"Masuklah." Dia mengisyaratkan supaya Lidya maju, dengan sopan mengabaikan ketenganggan di antara mereka.
"Hari ini kita akan membahas proyek pembangunan jalan baru yang kita menangkan minggu lalu. Dan, kupikir kita akan mengawali dengan permintaan kerja sama dengan Soni group untuk menyewa jasa arsitekturnya," kata Candra, membuka berkas-berkas tender di hadapannya.
"Kenapa harus Soni group?" tanya Lidya.
"Karena mereka menyewakan tenaga arsitektur handal. Sudah banyak proyek yang mereka tangani, dan semuanya mendapat hasil maksimal." kata Candra, memperhatikan Yusuf yang berdiri di belakang Lidya.
"Dia Yusuf, asisten pribadiku." Lidya menjawab rasa penasaran dari mata Candra, yang sedari tadi memperhatikan lelaki tampan di belakangnya.
"Oh," Candra menyimak dengan paham.
Rapat terus berjalan hingga satu setengah jam terakhir. Lidya mulai membereskan berkas-berkas di hadapannya, setelah mendapat kesepakan kerja dengan menyewa tenaga ahli dari Soni group. Ia telah mentandatangani konrak kerja yang akan berjalan setengah tahun kedepan.
"Yusuf, bawa semua berkas ini ke ruangan saya," kata Lidya, menyerahkan map kepada Yusuf.
"Baik," Yusuf segera mengambil map itu dan pamit undur diri dari ruangan, meninggalkan Lidya dengan Candra di sana.
Suasana hening seketika setelah pintu ruangan tetutup kembali. Lidya menatap raut muka lelaki di hadapannya itu. seolah ia tahu kalau Candra akan menanyakan sesuatu yang masih belum dipahaminya. Karena terlihat dari tatapannya yang masih mengundang tanda tanya tentang keberadaan Yusuf sebagai asistennya.
"Seorang pria? Benarkah?" kata Candra, menekankan tanda tanya diucapannya.
Lidya mengangkat bahu, memasrahkan semua kebernarannya.
"Iya. Dia berbeda dari lelaki lainnya," tegas Lidya.
Candra mendadak bisu mendengar jawaban dari mulut Lidya. Berbeda, pikirnya.
Pria?
Selama ini yang Candra tahu, Lidya tidak pernah berhubungan dengan pria atau sekedar berteman. Hanya ia lah pengecualian selama ini berada di dekat adik sepupunya itu, tetapi dua tahun terakhir sosok perempuan ceria dan manja itu berubah menjauhinya dan berubah menjadi sosok dingin tak tersentuh. Ia sempat berpikir apa yang menyebabkan Lidya berubah drastis begini.
"Aku jadi cemburu kau lebih memilih dia daripada, aku."
Cemburu?
Kata itu meluncur begitu saja dari mulut Candra. Apakah itu gurauan atau itu kebenaran. Yang jelas saat ini Lidya berusaha tidak terlibat hubungan apa pun lagi dengan lelaki itu. ia telah berusaha melupakan perasaannya dan bertekad untuk memulai rencana baru.
"Itu bukan dirimu, Candra. Sudah, aku harus segera pergi," kata Lidya, merapikan blazernya dan segera berdiri.
"Kuharap kau bahagia selalu. Dan jangan sungkan untuk meminta bantuanku selama kau perlu," kata Candra, merubah posisi duduknya bersandar ke sandaran kursi.
Dari posisinya saat ini, ia bisa melihat secara keseluruhan dari gestur Lidya yang terlihat canggung setelah membahas Yusuf. Ia jadi penasaran hal apa saja yang telah dilewatkannya selama dua tahun terakhir ini. Tetapi ia tidak bisa menanyakan lebih lanjut tentang penasarannya itu saat ini, karena jelas terlihat bahwa Lidya tidak mau membagi masalah pribadi dengannya.
"Terima kasih, Candra."
Candra mengangguk, membiarkan Lidya keluar meninggalkan dirinya. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang telah ditutupi oleh wanita cantik itu. tetapi, apa itu? itu yang akan menjadi pertanyaan penasarannya. Mungkin kedepannya ia akan berusaha mencari tahu kebenaran apa yang telah ditutupi Lidya darinya.
Yusuf telah bersiap di meja kerjanya. Menyusun semua berkas-berkas yang telah dibawanya dari ruangan rapat. Ia mendengar suara langkah kaki seseorang menuju ke ruangannya. Dan ternyata Lidya yang datang dengan ekspresi datarnya.
"Ayo kita pulang." Lidya mengambil tasnya, dan segera meninggalkan Yusuf yang masih berdiri dengan tatapan tidak percaya.
Jam masih menunjukkan pukul satu siang, dan Lidya memintanya untuk segera mengantar pulang. Biasanya jam mereka pulang tidak secepat ini. Ada apa dengan bosnya itu, setelah bertemu rapat dengan Candra langsung berubah menjadi tidak mengenakkan. Ia segera mengejar Lidya keluar, tidak ada waktu untuk memikirkan masalah perkara hati bosnya itu.
Tiba di rumah Lidya langsung masuk, didapatinya kedua orangtuanya sudah berada di ruang tamu sambil menonton televisi.
"Mama, papa. Kapan sampai di rumah?" kata Lidya, mengulurkan tangan menyalami mereka bergantian.
"Sayang. Kami baru saja tiba," kata mamanya, memeluk Lidya dengan sayang.
"Bagaimana masalah kantor, nak?" kata papanya, mengelus kepala Lidya dengan lembut.
"Semuanya terkendali dengan baik, pa."
Yusuf yang baru saja memasukkan mobil ke garasi segera masuk ke dalam rumah. Ia masuk dengan langkah canggung, mendengar suara kedua orangtua Lidya yang berada di ruang tamu, Ia jadi gelisah memikirkan apa yang akan dikatakan jika orangtua itu bertanya hal-hal yang menyulitkannya. Sementara itu Lidya meminta ia mengakui sebagai pacarnya. Drama apa yang aku lakukan ini, pikirnya.
Ia menghembuskan napas kasar, mencoba untuk tetap professional dalam pekerjaannya.
"Selamat siang," sapa Yusuf, membukukkan badan memberi hormat kepada kedua orangtua itu.
Mereka menatap Yusuf dari atas sampai bawah. Menilai penampilan Yusuf dan melihat bagaimana cara Yusuf berbicara. Setelah mereka memastikan, Fandi dan Tari saling bertatapan, mereka mengangguk membentuk senyuman setuju.
"Kamu pasti Yusuf?" kata Tari, mama Lidya.
"I-iya," kata Yusuf, sedikit gugup setelah mama Lidya menebak dirinya.
"Ayo kesini, nak. Kami berdua adalah orangtua, Lidya." Fandi menepuk tempat duduk kosong di sampingnya.
Yusuf segera melangkah dan duduk di tempat yang telah di isyaratkan pak Fandi. Ia menatap Lidya sekilas dan menyalami kedua orangtua itu bergantian.
"Saya buatkan minum dulu ya, bu." Yusuf berdiri.
"Tidak usah, nak. Kami sudah makan dan minum. Kamu di sini saja, temani kami mengobrol sebentar," kata ibu Tari.
Yusuf kembali duduk. Ia menoleh ke arah Lidya, mengisyaratkan apa yang akan dilakukannya.
"Yusuf, apakah kamu sudah mempunyai pasangan?" tanya ibu Tari, menatap Yusuf dan Lidya bergantian.
"Eh. B-belum, bu."
Tari bisa melihat kegugupan Yusuf di hadapannya. Ia pindah, duduk di samping Yusuf mencoba memberikan ketenangan. Melihat dari penampilan luar Yusuf, ia bisa menebak kenapa anaknya menyukai Yusuf sebagai asistennya. Itu semua karena sifat dari Yusuf yang telihat tulus dan baik.
"Jangan gugup begitu, nak. Kita Cuma ingin tahu sedikit kehidupanmu saja," timpal pak Fandi, yang dari tadi melihat kegugupan Yusuf.
"Yusuf aku angkat jadi asisten, pa. kebetuan dia butuh pekerjaan saat itu, dan aku menawarkan pekerjaan untuknya. Itu saja…"
"Mama tanya sama Yusuf. Kamu diam dulu," potong Tari.
Lidya langsung bungkam. Ia tahu kalau kedua orangtuanya berusaha mencari tahu hubungan apa yang terjadi antara ia dan Yusuf. Walau ia berusaha menjelaskan pun, tetapi tetap saja ia akan kalah dengan mamanya yang super kepo itu.
Lidya segera beranjak pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian, karena tubuhnya terasa lengket setelah pulang dari kantor. Ia butuh mandi untuk menyegarkan tubuh dan kepalanya, setelah acara rapat dengan Candra tadi menguras tanaga dan pikirannya.
"Ma, pa. aku ke kamar dulu."
"Ya, sudah. Setelah itu kita makan bersama, ya? Jangan lama-lama, mama tunggu di sini."
"Baik, ma."
Lidya segera pergi ke lantai atas. Meninggalkan Yusuf dan orangtuanya di ruang tamu. Ia bisa mempercayakan semuanya kepada Yusuf, karena lelaki itu pasti bisa menangani semua pertanyaan yang diajukan oleh kedua orangtuanya itu.