Yusuf merasa gelisah berada di dekat kedua orangtua Lidya yang dari tadi terus memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut pribadinya. Ia merasa kalau kedua orangtua itu sengaja mengetahui apa pun yang ada pada dirinya termasuk bagaimana kedekatannya dengan Lidya.
Selama ini Yusuf hanya bekerja sebagai asisten, bukan sebagai pasangan Lidya. Tetapi kenapa kedua orangtua itu malah menginginkan suatu hubungan yang lebih dari bos dan asisten.
"Yusuf. Sebenarnya saya menginginkan kamu sebagai pendamping Lidya. Setelah mendengar semua tetang kehidupanmu dan keluargamu, kami menginginkan kalian bersama," kata pak Fandi.
"Maksudnya gimana ya, pak?" tanya Yusuf tidak mengerti kemana arah pembicaraan orangtua itu.
"Kami meminta kamu jadi calon suami dari Lidya."
"Artinya, m-menikah? Begitu pak," kata Yusuf ragu-ragu, menatap kedua orangtua itu untuk mendapatkan jawaban pasti.
"Iya," jawab bu Tari dengan tersenyum lembut.
Apa yang baru saja aku dengar, pikir Yusuf. Ia berusaha agar cepat tersadar dari keterkejutannya setelah mendengar ucapan pak Fandi, memintanya untuk menikah dengan Lidya. Apakah ini mimpi? Yusuf mencubit pipinya sendiri.
"Aw," pekiknya, membuat pak Fandi dan bu Tari kaget mendengar suaranya.
Jadi ini bukan mimpi, katanya dalam hati. Menikah? Dengan bosnya sendiri. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa kedua orangtua Lidya mengatakan itu kepadanya. ia masih syok, dan mempertanyakan kembali kebenaran yang baru didengarnya.
"Apakah ini benar, pak, buk?" katanya tidak percaya.
"Iya. Apa kamu bersedia?" kata pak Fandi.
Yusuf mengangguk cepat, menyetujui itu. kenapa Yusuf bertingkah sembrono begitu, sementara Lidya belum memberikan persetujuan atas keputusan itu. apa sesenang itu ia mendapat tawaran yang menyenangkan. Menikah dengan wanita dingin, tegas, dan otoriter.
Kehidupan rumah tangga bagaimana yang akan dijalaninya nanti bersama Lidya. Apakah ia akan jadi bapak rumah tangga dan Lidya menjadi tulang punggung keluarga, karena sekarang ini posisi mereka begitu adanya.
"Kamu jangan cemas. Setelah ini kami yang akan membicarakan dengan Lidya. Kamu tenang saja, karena kami rasa kalian sangat cocok." Timpal pak Fandi.
Pak Fandi bisa melihat kebaikan dan ketulusan dari diri Yusuf. Melihat sebulan ini Yusuf mampu bertahan dengan sifat keras kepala anaknya, sudah pasti Yusuf mempunyai stok kesabaran yang tinggi untuk menghadapi sifat keras anaknya.
Ia berharap kalau Yusuf mampu mengubah sifat Lidya menjadi putri ceria dan manja seperti dulu lagi. Melihat Lidya yang sekarang, membuatnya merasa bersalah karena di masa-masa remaja Lidya, ia tidak pernah berada di dekat anaknya itu karena disibukkan pergi ke luar kota bersama istrinya. Sementara Lidya waktu itu sangat membutuhkan figur orangtua yang sebenarnya.
Tetapi semua itu dilakukannya karena ia menginginkan masa depan yang cerah untuk anak semata wayangnya itu. ia tidak ingin Lidya kesulitan dan serba kekurangan di masa depan. Setelah kerja kerasnya mendapat hasil hingga semua usahanya bangkit dan maju, ia kembali. Tetapi itu sudah telambat memberikan perhatian yang dibutuhkan Lidya karena Candra lah yang telah berperan menggantikan mereka berdua.
Ia bersyukur Candra bisa menjaga Lidya di saat dirinya sibuk mengurusi tugas kantor. Tetapi tidak beberapa lama semua itu berubah di waktu Lidya hendak masuk perguruan tinggi. Tiba-tiba anaknya itu berubah menjadi dingin, tidak mau berteman dengan Candra lagi. Tidak jarang ia melihat Lidya yang selalu mengunci diri di kamar dengan belajar hingga tidak mengenal waktu.
Ia prihatin dengan perubahan sifat anaknya itu. Hingga ia dan istrinya telah berusaha mendekatkan diri, tetapi anaknya itu tetap memberi jarak tanpa rasa peduli kepada mereka.
Tiba saatnya mereka semua berkumpul di ruang makan. Lidya yang telah selesai membersihkan diri segera bergabung dengan yang lainnya di meja makan. Ia menatap Yusuf sekilas, ada sesuatu yang aneh dari raut wajah pria itu.
Yusuf merasa jantungnya tidak sehat karena berdetak secara cepat dan tak beraturan. Ia sangat gugup berada di sebelah Lidya. Apalagi setelah percakapan intens dari kedua orangtua Lidya tadi yang membuat dirinya masih bingung berada di posisi sekarang. Bagaimana jika Lidya memaki dirinya yang telah lancang menerima perjodohan yang telah diutarakan oleh pak Fandi dan bu Tari.
"Apa yang kamu lihat!" bentak Lidya, melihat Yusuf yang dari awal tidak lepas memandanginya.
"Eh- maaf mbak," kata Yusuf, menundukkan kepalanya gugup.
"Sana pindah. Aku gak mau dekat-dekat kamu," kata Lidya, mendorong lengan Yusuf untuk segera beranjak.
"I-iya, mbak."
Yusuf segera bergerak, pindah ke kursi sebelahnya. Ia tidak ingin membuat Lidya tidak nyaman berada dekat dengannya. Apakah segitu tidak sukanya Lidya berdekatan dengannya, padahal baru saja pak Fandi menginginkannya untuk menjadi suami wanita itu. tetapi, ia menjadi ragu untuk memutuskan menerima permintaan dari kedua orangtua itu, melihat Lidya yang memandang rendah dirinya.
Lidya merasa risih berdekatan dengan Yusuf, bukannya kenapa. tetapi ia mencoba untuk menjaga jarak aman dari pria itu agar tidak terlibat perasaan suka lebih jauh lagi. Sebenarnya berada di dekat Yusuf, ia merasakan kenyamanan yang belum pernah didapatkannya dari siapapun, tetapi ia tidak ingin memperjelas rasa itu.
Mereka semua menikmati semua hidangan makanan dengan nikmat. Pak Fandi memberi kode kedipan mata kepada bu Tari. Ia akan membuka suara terkait hal yang telah dibicarakannya di ruang tamu bersama Yusuf. Karena tidak ingin menunda dan menunggu terlalu lama, ia memulai obrolan singkat dengan putri kesayangannya itu.
"Sayang, bagaimana perasaanmu bekerja di kantor?" kata pak Fandi, membuka suara.
Lidya menoleh, "Lumayan menyenangkan, pa."
Pak Fandi mencolek pinggang istrinya untuk memberi kode selanjutnya.
"Ehem. Nak, mama mau minta sesuatu sama kamu, boleh?" kata bu Tari, menatap serius kepada Lidya.
"Apa itu, ma?" katanya bingung.
"Jadi begini, mama telah mencari tahu tentang latar belakang Yusuf…"
"Terus?" potong Lidya, ia tahu kemana arah pembicaraan mamanya itu.
"Bagaimana kalau kamu menerima Yusuf sebagai calon suamimu, nak. Mama berharap kamu secepatnya memantapkan pilihan untuk menikah, karena mama sama papa sudah tua untuk terus mengawasimu. Kami ingin kamu mempunyai pendamping hidup dan berbahagia dengan pasanganmu, sayang."
"M-menikah? Sama Yusuf?" kata Lidya tidak percaya.
Ia menatap tajam ke arah Yusuf yang masih betah duduk mendengarkan ucapan orangtuanya. Jadi itu lah yang membuat Yusuf aneh sedari tadi. Ia sama sekali tidak menyangka kalau mamanya akan menjodohkan dirinya dengan lelaki di hadapannya itu. Lelaki yang selalu menjadi kacungnya kemana pun pergi, akan dijadikan suami masa depannya? Mimpikah ini, pikirnya menepuk pipinya, mencoba untuk tersadar jika ini hanya halusinasinya.
"Ini benaran, nak. Kami tidak bercanda," kata pak Fandi, mencoba meyakinkan anaknya bahwa yang baru saja dikatakan istrinya adalah kenyataan.
Lidya terdiam cukup lama. Pernyataan orangtuanya membuat ia melayang untuk sesaat. Bukannya ia tidak mau menerima tawaran menikah. Masalahnya mungkin condong pada hati dan perasaannya. Di usianya yang akan memasuki dua puluh tujuh tahun, perasaannya tidak pernah sekalipun tergerak untuk lawan jenis. Tidak ada getaran-getaran asing. Tidak ada percikan-percikan tertentu, dan tidak ada rasa yang ambigu.
Bayangan pernikahan hampir dikatakan tidak pernah muncul di benaknya. Dia belum pernah menemukan cinta, bagaimana mungkin ia mulai membayangkan pernikahan. Mengabdi dengan satu lelaki sepanjang kehidupannya, melalui hari demi hari bersama. Suka dan duka bersama, menua bersama, tinggal dan tidur di tempat yang sama. Membayangkannya saja, membuat ia canggung.
Dua tahun terakhir ini, mamanya selalu merecoki tentang calon suami. Pembicaraan ini semakin intensif semejak dirinya mulai memimpin perusahaan. Hampir kerap kali kedua orangtua itu menjodohkannya dengan anak-anak kolega bisnis mereka, tetapi ia tidak pernah meladeni untuk pembicaraan lebih jauh.
Menikah dengan Yusuf…..
Lelaki itu sama sekali tidak mempunyai jiwa ketegasan dalam memimpin. Apakah ia yang akan mengendalikan tugas menjadi kepala rumah tangga nantinya. Lelaki sepolos itu, pikirnya lagi.
Menolak pun ia juga enggan, karena setelah sebulan terakhir selalu bersama, ia bisa merasakan ada sedikit rasa nyaman untuk Yusuf. Tetapi tidak mungkin menikah dilandasi dengan satu rasa saja, bisa-bisa rumah tangga yang akan dibangun nanti tidak akan bertahan.
"Aku rasa ini terlalu mendadak, ma, pa. Aku harus memikirkan ini dulu," kata Lidya, menatap kedua orangtuanya bergantian.
"Baiklah, kami beri waktu seminggu untuk segera menentukan jawabanmu, nak. Dan yang kami harapkan adalah jawaban, iya."
Lidya mengangguk paham. Seminggu adalah waktu yang pas untuk memikirkan kemantapan hatinya. Ia akan berusaha melihat seberapa jauh rasa sukanya kepada Yusuf sebelum mengatakan, iya.
Mungkin menikah dengan lelaki polos itu akan sedikit menyegarkannya daripada menerima lelaki yang tidak dikenalnya sama sekali.
Yusuf deg-degan mendengarkan ucapan Lidya. Ia tidak menyangka Lidya akan memikirkan tawaran orangtua itu. kalau Lidya mencoba menerima perjodohan itu, berarti ia akan bersiap menjadi suami bagi wanita cantik itu.
Pikirannya telah mengembang kemana-mana, membayangkan masa depan bersama, mempunyai keluarga yang harmonis. Jika Lidya berusaha memikirkan itu, mau tak mau ia juga melakukan demikian.