Di sebuah ruangan besar yang bernuansa putih gading bergaya khas modern. Pria paruh baya berambut agak memutih duduk di balik meja kerjanya yang berukuran besar. Jemarinya sedang membolak-balikan lembaran foto yang di terima dari asisten kepercayaannya. Ia melihat gambar orang yang ada di foto itu secara detail dan sesekali bibirnya melengkung membentuk senyuman bahagia.
Ia mengambil satu lembar kertas berisikan data pribadi yang bersamaan dengan foto tadi. Pria itu terlihat berusia setengah abad. Ia meneliti satu per satu keterangan di lembar kertas putih di hadapanya. Walau umurnya bisa dikatakan tidak muda lagi, tetapi wajahnya masih terlihat awet muda dan masih tampan. Ia adalah Fandi ayah Lidya, yang sekarang ini menetap di Bandung bersama isrtinya Tari.
Pria itu menghubungi seseorang melalui telepon genggamnya.
"Han, keruangan saya sekarang." Perintah Fandi kepada asisten kepercayaanya.
Tak lama ketukan pintu terdengar. Seorang pria berjas hitam rapi, sedikit menunduk saat menghadap pimpinannya.
"Dari siapa kau mendapatkan berita ini?" tanya pria itu.
"Itu langsung saya minta ke perusahaan, pak." Han menjawab dengan tegas.
Fandi melihat kembali foto itu, menafsirkan apakah pria yang ada di gambar itu cocok untuk anaknya. Selama ini ia tidak pernah mendengar kabar dari siapa pun bahwa, anaknya pernah menjalin hubungan dengan pria. Tetapi, melihat foto-foto yang berada di tangannya saat ini, ia merasa ada yang berbeda dari putrinya itu.
"Berikan informasi lainnya kepadaku. Aku ingin melihat dia secara langsung."
"Baik," Han langsung pamit dari ruangan itu.
"Sayang, apakah gerangan yang membuatmu senang kali ini?" tanya wanita paruh baya, masuk setelah asisten Han keluar. Wanita itu adalah Tari istrinya, ibu dari Lidya.
Fandi menoleh, menatap wanita yang terlihat masih muda di usianya itu. Ia tersenyum dengan wajah berseri-seri menampakan kegembiraan kepada isrtinya. Lalu memperlihatkan foto yang ada di tangannya.
"Coba lihat. Aku rasa putri kita sudah berkembang," katanya tersenyum lembut.
Tari mengambil foto yang berada di atas meja, melihat gambar putrinya bersama dengan seorang pria, duduk di sebuah mall. Ia melirik suaminya, menatap penuh tanya.
"Lidya? Ini siapa, sayang?" tanyanya heran, menunjuk gambar pria di sebelah putrinya.
"Iya. Dia adalah asisten baru di perusahaan, dan dia juga bekerja dengan putri kita."
"Yang benar? Tidak biasanya anak kita berteman dengan laki-laki."
Tari masih penasaran apa yang terjadi dengan perubahan putrinya. Selama ini putrinya itu tidak pernah mau dekat-dekat dengan laki-laki, tetapi terlihat dari foto itu mereka begitu menikmati waktu makan bersama.
Di foto itu terlihat Yusuf tengah bertanya kepada Lidya dengan tersenyum. Tari bisa melihat bahwa putrinya menyukai pria itu karena terlihat dari wajahnya menampilkan rona bahagia saat duduk di meja makan itu.
"Besok kita harus pulang untuk melihat kebenarannya," tegas Fandi.
"Aku tidak sabar mengetahui kebenaran dari berita ini, sayang. Semoga saja pria itu baik, dan mau menerima sifat anak kita yang keras."
"Iya," balas Fandi.
Di sisi lain Lidya dan Yusuf telah tiba di rumah. Mereka merasa kelelahan setelah setengah hari berkeliling di mall.
Lidya yang sedang duduk di sofa tamu, meluruskan kakinya yang terasa pegal-pegal. Ia memerintahkan Yusuf memijit kakinya.
"Yusuf, kamu pijit kaki saya." Katanya memerintah.
Yusuf terperanjat, mendengar kata pijit. Berarti ia akan bersentuhan kulit langsung dengan Lidya. Ini lah yang tidak disukai Yusuf, ia takut nantinya akan menimbulkan fitnah. Berduaan dengan wanita cantik itu membuat jantungnya tidak sehat, berdetak dengan cepat. Tetapi, melihat Lidya yang sudah terbaring kelelahan ia juga tidak tega.
"Baik, mbak."
Lidya meluruskan kakinya ke meja, memudahkan Yusuf untuk memijat. Sambil memainkan handphone ia menikmati pijatan yang telah Yusuf berikan. Jemari besar Yusuf sangat telaten menekan kakinya yang pegal membuat Lidya terasa nyaman. Deringan handphone di tangannya memecahkan kenyamanannya.
Papa is calling…..
"Halo," kata Lidya.
"Sayang, besok papa dan mama pulang."
"Pulang?" katanya heran.
"Iya. Tunggu kami di rumah."
Klik!
Panggilan berakhir. Lidya menghembuskan napasnya kasar. Ia berpikir alasan apa yang akan diberikan kepada kedua orangtuanya. Mereka tidak tahu kalau ia mengajak Yusuf tinggal di rumah. Habis lah aku, pikirnya. Ia memijat kepalanya yang terasa pusing memikirkan alasan apa yang akan diberikan setelah kedua orangtuanya bertemu Yusuf. Dilihatnya Yusuf yang masih setia memijat kakinya.
"Besok orangtua saya kesini." Lidya langsung mengatakan.
"Terus gimana mbak?" tanya Yusuf binggung.
"Kamu harus pintar-pintar menjawab semua pertanyaan mereka. Ngerti!" kata Lidya, menekankan ucapannya.
"Jawab apa mbak?" kata Yusuf, ia merasa bingung dengan ucapan Lidya yang seolah menyuruhnya ingin berbohong.
"Kamu bilang saja bahwa kamu itu pacar saya."
"Pacar?" Yusuf membeo.
"Iya." Lidya segera berdiri, pergi ke lantai atas meninggalkan Yusuf yang masih terlihat bingung dengan perintahnya.
Pacar, pikir Yusuf. Kenapa bosnya itu menyuruhnya mengakui, ia sebagai pacar, padahal ia hanya bekerja sebagai asisten pribadi. Kepala Yusuf tidak bisa menampung semua ucapan Lidya tadi, ia tidak pernah berbohong kepada siapa pun, tapi itu akan segera dilakukannya.
Tetapi, melihat Lidya yang frustasi setelah menerima telepon tadi, ia jadi bartanya-tanya sendiri apa penyebabnya. Kemungkinan terbesar Lidya mendapat tekanan dari orangtuanya atau Lidya mempunyai masalah pribadi yang tidak mau dibaginya dengan siapa pun, itu menurutnya. Yusuf tidak habis pikir, kenapa juga harus berbohong kepada orangtua sendiri jika masih bisa berkata jujur.
Lidya merutuki kebodohannya, meminta Yusuf untuk mengaku sebagai pacarnya. Kenapa tiba-tiba saja ide itu melintas di benaknya, sehingga membuatnya canggung berada di dekat pria itu. Selama ini, ia memang tidak pernah dekat dengan pria atau sekedar berteman, tetapi kenapa semenjak kenal dengan Yusuf dia merasa bersemangat dan merasa senang. Entah keunggulan apa yang telah dimiliki pria itu sehingga ia senang berdekatan dengannya.
Kehidupan sehari-harinya, sebagai wanita karier untuk pimpinan perusahaan, sering kali ialah yang membuat keputusan. Jadi berdekatan dengan seorang yang polos seperti Yusuf merupakan perubahan yang menyegarkan.
Tapi.
Sebelum ia bertemu dengan kedua orangtuanya besok, ia perlu menentukan peraturan dasar. Karena ini akan menjadi yang pertama kali baginya untuk mengakui seorang pria menjadi pasangannya.
Dengan mengingat itu, ia segera menekan nomor telepon Sarah sang pakar, berpikir bahwa dialah orang yang tepat untuk diajak bicara. Sayangnya, Sarah tidak menjawab ponselnya. Lidya meninggalkan pesan untuk Sarah, lalu duduk di meja, menatap laptopnya tanpa bisa fokus. Tatapanya menajam, berfokus sampai ia menyadari apa yang ada di hadapannya, secara harfiah ada di ujung jarinya.
Kekuatan internet.
Buru-buru Lidya melihat jam di meja dan mengetahui ia masih punya waktu sepuluh menit sebelum telepon konferensi. Banyak waktu untuk melakukan 'riset' kecil-kecilan. Ia berputar di kursi dan mengeluarkan iPadnya yang terpecaya dari tas lalu membuka browser dan dengan cepat mencari 'aturan menyatakan cinta' di Google.
Dua ribu lebih hasil keluar dalam waktu 1,8 detik.
Dapat.
Lidya menggulir tautan sampai menemukan satu yang terhubung langsung pada intinya, dari suatu majalah wanita terpopuler.
"Tujuh aturan mengungkapkan isi hatimu." Lidya mengetuk tautan dan dan mulai membaca.
Berterus-teranglah tentang niatmu dari awal. Pastikan dia tahu kau mengatakannya dengan serius.
Cukup jitu, Lidya sepakat. Bersikap jujur. Tidak masalah.
Tapi kenapa harus ia yang mengatakan. Ia jadi ingat apa yang baru saja di carinya. Oh Tuhan! Ia baru tersadar dengan apa yang telah dilakukannya, menyatakan cinta pada pasangan. Yusuf? Pria udik itu? Dia telah memprofokasi pikirannya dengan kedatangan kedua orangtuanya besok. Lidya mengusap wajahnya kasar berharap ucapannya kepada pria tadi adalah khayalannya saja. Tetapi itu sudah terucapkan, bisa jadi pria itu saat ini bingung dengan perkataannya.
Buru-buru Lidya ke bawah mencari keberadaan Yusuf untuk mengklarifikasi yang sebenarnya bahwa ia telah salah mengucapkan kata 'pacar', setelah berpikir lagi. Dilihatnya tempat duduk tadi telah kosong, mungkin Yusuf telah beranjak ke kamarnya, pikirnya.
Setelah ia melangkah menuju kamar Yusuf di bagian belakang, langkahnya terhenti melihat sedikit celah dari pintu kamar yang tidak terkunci. Terlihat Yusuf sedang sholat, mengenakan baju koko dan kain sarung. Lidya mengintip dari balik celah itu, menatap pergerakan pria itu di dalam kamar.
Hatinya tersentuh melihat ketaatan Yusuf menjalankan ibadahnya. Sedangkan ia selama ini telah lalai karena terlalu sibuk mementingkan urusan dunia.
Lima belas menit setelahnya, Yusuf telah selesai. Ia melipat alat sholatnya dan melangkah untuk menutup pintu, tetapi matanya manangkap seseorang di luar pintu yang memunggungi kamarnya. Ia keluar, dan terlihat Lidya menghapus air matanya.
"Mbak, kenapa menangis?" katanya, mencoba bertanya apa yang terjadi pada wanita itu.
"Tidak." Lidya menatap Yusuf dengan mata berkaca-kaca.
Yusuf bingung, ada apa dengan Lidya. Mengapa ia menangis? Tapi ia tidak bertanya lagi, mungkin Lidya punya alasan sendiri.
"Saya mau tidur dulu ya mbak," kata Yusuf, melangkah masuk ke kamarnya.
Ia tidak ingin mencampuri urusan bosnya itu, lebih baik membiarkan saja. Setiap orang butuh privasi, pikirnya.
Lidya mengangguk dan berlalu pergi. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya merasa bersalah telah melalaikan ibadahnya selama ini. Setelah melihat Yusuf sholat, hatinya semakin kuat untuk memilih pria itu sebagai pasangan kerja. Karena ia berpikir bahwa Yusuf bisa dipercaya untuk menjalankan pekerjaannya.