"Mas, mau potong rambut model apa?" tanya karyawan, menunjukkan majalah khusus model potongan rambut.
Yusuf menerima majalah itu dan membolak-balikan halamannya hingga pilihannya jatuh pada model potongan undercut.
"Yang ini saja, mas."
Karyawan itu segera menyiapkan alat-alat yang diperlukan. Yusuf sudah dipakaikan penutup kain di sekeliling pundaknya.
Lidya yang dari tadi menunggu hanya duduk memperhatikan Yusuf dari jarak tiga meter. Dalam pikirannya muncul ide untuk membuat sesuatu yang menyenangkan. Dipanggilnya pegawai itu untuk diberitahukan apa yang harus pria itu lakukan pada Yusuf. Pria itu mengangguk mengerti setelah Lidya memberi penjelasan untuk pekerjaannya.
Setelah menunggu kurang lebih satu jam, potongan rambut Yusuf telah selesai. Yusuf sedikit tercengang menilai penampilan rambut barunya yang terlihat lebih rapi dan tampan. Dia berbalik ke arah Lidya, mengisyaratkan bagaimana penampilannya melalui gerakan. Bagaimana?
"Kamu udah ganteng. Ayo kita pergi," Lidya segera melangkah duluan keluar.
"Mbak tunggu!"
Yusuf segera mengejar Lidya, melebarkan langkahnya untuk menyamakan dengan kecepatan Lidya.
"Kamu ikut saya, kita akan belanja baju dan semua keperluan buat kerja," Lidya segera memasuki toko khusus pakaian pria.
Lidya mulai berkeliling memilihkan pakaian yang cocok Yusuf pakai ke kantor sebagai asistennya. Yusuf harus terlihat rapi dan bersih apalagi nanti dia akan menghadiri undangan kerja dengan kliennya.
"Coba pakai ini," Lidya menyerahkan sepasang kemeja dan celana bahan khusus kerja.
"Baik, mbak." Yusuf langsung membuka bajunya.
"Hei! Jangan di sini gantinya. Sana ke ruang ganti," perintah Lidya menujuk kamar khusus ganti.
Yusuf hanya cengengesan karena biasanya di kampung kalau ia membeli baju langsung dicoba di toko itu. Kalau di mall itu ada kamar yang di khususkan untuk berganti, ia segera beranjak menuju kamar ganti yang ditujuk Lidya. Setelah itu dicobanya semua pakaian yang telah dipilihkan Lidya tadi untuknya. Ia menatap ke arah cermin di depannya sambil memutar badannya ke riri dan ke kanan menilai bagus tidaknya baju itu.
"Wah, pilihan mbak Lidya tidak pernah salah. Bangus semua!" serunya riang mematut ke cermin.
"Mbak, gimana? Bagus tidak bajunya?" kata Yusuf, berdiri di depan kamar ganti dengan senyuman lebar.
"Bagus."
Lidya hampir tidak percaya melihat penampilan Yusuf yang boleh dikatakan mirip ceo-ceo tampan yang sering menjadi kliennya. Ia tidak menyangka bisa merubah penampilan Yusuf yang kampungan menjadi lelaki berwibawa tapi ada satu lagi kekurangan dari Yusuf, dia terlalu polos dan lugu. Dan itu harus segera dirubahnya supaya lebih profesional lagi dalam bekerja. Sebagai asisten, pekerjaan Yusuf banyak mendampingi Lidya dalam bekerja seperti; undangan kerja, jamuan makan malam, menghadiri acara peresmian, dan masih banyak lagi yang akan dilakukan jadi Yusuf harus professional dan pintar dalam berbicara.
Tidak lama setelah itu, Lidya memilihkan sepasang sepatu kulit berwarna hitam untuk Yusuf, ia telah melihat kualitasnya melalui internet sebelum berangkat ke mall. Semuanya sudah Lidya pikirkan dari awal, ia tidak ingin kliennya merendahkan penampilan asistennya sementara ia sendiri sangat sempurna dalam berpakaian.
"Yusuf, coba sepatu ini," Lidya memberikan sepasang sepatu kepada Yusuf.
Yusuf menerima sepatu itu dan segera mencobanya. Dibukanya sepatu dan terlihat lah kaus kaki yang dipakainya sudah berlubang di bagian tumit dan jempolnya.
Lidya yang melihat itu hanya menggelengkan kepala ia tidak menyangka punya asisten pribadi yang super duper udik dan kampungan. Masa ia pergi bekerja ke kantor besar masih memakai kaus kaki bolong dan bau itu? Entah sudah berapa hari kaus kaki itu tidak dicuci hingga baunya semerbak seperti bau terasi goreng. Lidya ingin muntah mencium aroma tak sedap itu.
"Kamu kok jorok banget sih! Itu sepatu gak pernah dicuci, ya? Gila, parah banget baunya." Lidya menutup hidungnya kesal.
"Hehehe, maaf mbak saya hanya punya satu ini, gak ada yang lain lagi." Yusuf cengengesan melihat wajah Lidya yang sudah berubah masam.
Selama ini yusuf harus menghemat uangnya ia tidak pernah membeli keperluannya yang sudah rusak karena uangnya terbatas. Sudah dua bulan ia merantau di Jakarta tapi tidak satu pun lowongan kerja yang menerimanya untuk interview. Hingga ia terpaksa untuk tidak mencuci kain karena tidak punya uang meloundry, kalau ia mencuci sendiri susah mau menjemur karena ia tidak punya gantungan kain makanya sepatu dan kaus itu tidak pernah dicucinya.
"Udah cepetan, habis ini kita beli kaus kaki dan semua pakaian kamu."
"Baik, mbak."
Setelah berkeliling beberapa menit mereka tiba di toko khusus pakaian dalam pria di sana banyak patung-patung memakai dalaman yang berbeda modelnya. Yusuf setengah malu melihat sebuah patung memakai celana dalam yang ada benjolan di depannya ia melihat ke arah Lidya yang terlihat biasa saja dengan semua itu. Yusuf jadi berpikir kenapa Lidya tidak malu sedikit pun belanja dalaman pria padahal mereka belum menikah. Menikah? Kenapa Yusuf berpikiran untuk menikah apalagi dengan bosnya sendiri.
Ini sudah gak benar nih, ujarnya pelan.
"Mbak aku tidak biasa belanja dalaman ditemani oleh wanita," katanya malu.
"Kenapa? Kita kan cuma belanja." Lidya heran melihat tingkah Yusuf yang malu-malu tapi mau itu.
"Ya, sudah. Kamu saja yang pilih, saya tunggu di depan."
"Baik, mbak."
Yusuf akhirnya merasa lega melihat Lidya yang sudah pergi ke luar. Ia segera berjalan mengelilingi tempat celana dalam yang cocok untuknya. Melihat banyak model-model dalaman ia jadi bingung sendiri untuk memilih mana yang pas untuknya. Setelah kelamaan melihat-lihat akhirnya diambilnya satu kotak model biasa yang mereknya Calvin Klein terlihat gambar pria berpose dengan otot perutnya seperti roti sobek kesukaan wanita kalau ada tamu bulanan. Haha, jadi ngeres deh otak Yusuf.
"Gimana, sudah selesai?" tanya Lidya.
"Udah mbak. Tapi belum dibayar," kata Yusuf malu.
Masa bayar celana dalam saja harus minta sama bosnya? Ampun deh Yusuf, dikira Lidya itu emaknya, seenaknya saja minta dibayarin celana dalam.
"Sudah saya bayar," kata Lidya melongos pergi.
Lidya merasa lapar karena sudah dua jam berkeliling mencari pakaian untuk Yusuf, sekarang perutnya minta diisi dengan makanan bernutrisi. Kenapa harus bernutrisi? Karena Lidya orangnya gila kerja jadi harus memakan-makanan yang sehat agar tubuhnya tetap fit.
"Kita makan dulu. Setelah itu baru pulang," putus Lidya.
Yusuf hanya menurut mengikuti langkah Lidya. Setelah berjalan beberapa blok Lidya berhenti di depan restoran Chinese food ia segera masuk ke dalam. Restoran yang memiliki desain yang unik karena banyak kaligrafi bertuliskan hurus china di dindingnya. Orang-orang terlihat ramai mungkin waktunya saat itu jam makan siang. Lidya segera melangkah ke tempat duduk yang berada di pojok ruangan karena hanya itu yang tersisa sementara yang lainnya sudah terisi penuh.
Tempat duduk yang dikhususkan untuk dua orang tamu meja makan. Kalau dilihat-lihat mereka seperti pasangan kencan lainnya yang sedang menikmati waktu makan siang bersama tapi Lidya tidak banyak berpikir, perutnya yang harus dipikirkan saat ini karena telah kelaparan sedari tadi.
Yusuf pun menarik kursi untuk duduk di hadapan Lidya. Dia merasa canggung duduk berhadap-hadapan dengan bos cantiknya apalagi dari jarak tempat duduknya ia bisa melihat dengan jelas wajah cantik Lidya yang terlalu dekat untuknya.
"Kamu mau makan apa?" tanya Lidya, membolak-balikan daftar menu di meja.
"Saya tidak tahu mbak. Saya belum pernah makan ini sebelumnya," kata Yusuf jujur.
Ia memang tidak pernah makan-makanan seperti itu sebelumnya karena tidak ada tempat yang menjual makanan itu di kampungnya. Ia hanya memperhatikan Lidya yang tengah asik memilih menu yang akan dipesannya.
"Ya sudah, kamu samakan saja dengan menu yang saya pesankan," putus Lidya, memanggil pelayan untuk memberitahukan pesananya.
"Ya, mbak."
Dua puluh menit kemudian makanan itu tiba. Lidya sudah tidak sabar ingin memakan semua menu yang telah dipesannya.
Yusuf memperhatiakan bentuk makanan yang berada di hadapannya itu seperti nasi yang dibalut kertas berwarna hijau. Ini apa ya? Tanya Yusuf heran. Bentuknya lucu-lucu dengan banyak hiasan seperti boneka yang sering digambar anak sekolah TK. Yusuf hanya memperhatikan ia tidak berniat untuk memakannya karena menurutnya makanan itu terlalu cantik untuk dimakan lebih cocok dipajang saja jadi benda hiasan.
"Ayo makan! Ngapain bengong aja," Lidya menangkap keraguan di wajah Yusuf.
"Ini namanya sushi." Lidya menjawab keraguan Yusuf terhadap makanan itu.
"Susi?" ulang Yusuf.
"Sushi. Bukan Susi. Kamu kira ini nama orang, udah makan saja,"
Akhirnya Yusuf mencoba mengambil satu potong sushi itu. Setelah dikunyahnya perlahan sambil merasakan apa rasa yang terasa di makanan itu ia jadi ketagihan.
"Enak ya, mbak! Aku suka ini," serunya riang, saking riangnya suara Yusuf terdengar ke yang lain mereka menoleh ke arah Yusuf.
"Eh," Yusuf segera menutup mulutnya karena malu dengan orang-orang yang mendengar suaranya kencang.
"Norak, amat sih!" Lidya merasa kesal dengan tingkah Yusuf yang membuat malunya.
Yusuf hanya menunduk malu dan terus menghabiskan makanannya ia tidak berani menatap ke arah lain. Sampai beberapa menit kemudian mereka berdua selesai menghabiskan makanan masing-masing.