Chereads / Janji Suci / Chapter 4 - Rasa Kagum

Chapter 4 - Rasa Kagum

Setelah beberapa menit menenangkan diri ia segera beranjak kearah meja kecil khusus membuat kopi, di sana sudah ada cerek listrik untuk memanaskan air, cangkir-cangkir kecil tersusun di samping meja beserta tutupnya.

Diambilnya air dan dimasukkannya kedalam cerek untuk dipanaskan, lalu dibukanya lemari tempat penyimpanan makanan di dalamnya sudah tersedia kopi, teh, dan susu dengan berbagai merek . Setelah itu, diseduhnya kopi hitam dengan ditambah sedikit gula berkalori rendah.

Apa aku bawa saja sekalian sama gulanya, ya? ... kalau-kalau Lidya ingin menambah gulanya jadi ia tidak perlu repot bolak-balik mengambil. Kopi yang dibuat oleh Yusuf adalah kopi hitam biasa yang hanya diberi sedikit tambahan gula sebagai pemanisnya dan itu tidak menjadi alasan bila Lidya tidak menyukainya karena dibuat dengan penuh cinta ..... khayalan Yusuf sudah melampaui batas, rupanya.

Di kampung Yusuf sudah terbiasa membuatkan kopi untuk keluarganya. Dan kebetulan ibunya juga mempunyai warung kecil-kecilan yang menyediakan pesanan kopi dan minuman ringan lainnya. Yusuf juga kerap kali membantu ibunya menjaga warung, jadi bila ada yang memesan kopi ia lah yang membuatkan.

Setelah kopi itu jadi, dibawanya kembali ke ruangan Lidya. Dibukanya pintu dan terlihat wanita itu masih sibuk berkutat dengan tumpukan berkas-berkas yang telah dipisahkannya tadi.

Melihat Lidya yang terlalu fokus bekerja membuat jantung Yusuf jumpalitan karena kecantikan wanita itu bertambah dua kali lipat di saat bekerja. 

Oh, Tuhan betapa cantiknya wanita ini ..... Pikir Yusuf yang sedikit terbuai suasana indahnya, dengan memegang kopi dan juga tempat gula.

Tes …

Air liur Yusuf tidak sengaja menetes ke dalam kopi yang dipegangnya. Astaga! Sampai segitunya Yusuf mendambakan kecantikan bosnya itu. Awas saja sampai ketahuan! Bisa melayang kopi itu ke wajahnya.

Lidya tersadar merasa ada yang berdiri di pintu masuk, ia langsung menoleh. Di sana tampak Yusuf berdiri dengan memegang kopi dan satu kotak yang ia tidak tahu apa isinya.

"Yusuf? Ngapain di situ?" kata Lidya, membuat Yusuf segera tersadar dari keterkagumannya.

"Eh. Maaf mbak, ini saya bawakan kopi sesuai pesanan, mbak."

Yusuf segera berjalan kearah Lidya dan meletakkan kopi itu di atas mejanya.

"Ini kopinya mbak. Silahkan diminum dulu," kata Yusuf tersenyum dan meletakkan tempat gula di samping kopi.

Yusuf tidak sadar bahwa kopi tadi terkena tetesan air liurnya sebelum diberikan kepada wanita itu. 

"Terima kasih," kata Lidya, segera meraih kopi itu lalu menyeruputnya sedikit.

"Ah! Panas!" Lidya mengibaskan tangannya ke mulut karena kepanasan.

"Eh. Sini, sini mbak!" Yusuf spontan meniup wajah Lidya, membantu mengurangi rasa panas.

Jantung Lidya berdebar-debar karena wajahnya dan wajah Yusuf berdekatan hampir bersentuhan. Hembusan napas Yusuf menerpa kulit wajahnya, menggelitik hingga ke punggung  dan membawa rasa panas ke pipinya.

Yusuf yang tidak sadar dengan situasi yang mendebarkan itu tetap meniup wajah Lidya. Ia sangat cemas melihat bosnya itu, yang kepanasan setelah menyeruput kopi buatannya.

"Mbak, baik-baik saja kan?" tanya Yusuf cemas, memegang pundak Lidya.

Lidya segera mengalihkan pandangannya ke samping. Berdekatan dengan Yusuf membuat jatungnya tidak bisa diajak kerja sama untuk tetap berdetak dengan nomal.

"Aku tidak apa. Sana jauh-jauh. Gerah nih!" ia mengibaskan tanganya memberi tanda agar Yusuf segera menjauh.

"Iya, mbak."

Lidya segera menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Berada dekat dengan Yusuf membuatnya tergoda dengan lelaki itu. Otot tangan yang memegang pundaknya terasa sangat kokoh, wangi maskulin dari tubuh Yusuf sangat kuat membuatnya terbuai ingin memeluk dan menciumi lelaki itu. Astaga! Apa yang baru saja dipikirkannya? Dia tergoda?

Tergoda …..

Lidya menggeleng-gelengkan kepala memikirkan kata tergoda yang baru saja melintas di benaknya.

Kata itu tidak pantas untuk dirinya yang sering disematkan dengan julukan wanita tercantik dan menggoda. Harusnya pria yang tergoda kepadanya. Bukan sebaliknya. 

Entah, angin apa yang membuat seorang Lidya bisa berpikiran memuji diri sendiri. Selama ini tidak ada yang bisa membuatnya terpesona oleh lelaki mana pun tetapi, mengapa harus Yusuf yang baru tiga hari berkerja dengannya sudah membuatnya terlena-lena dengan lelaki lugu itu.

Apa kelebihan dari Yusuf? Lidya mengeleng-gelengkan kepala menormalkan kembali pikirannya melanjutkan pekerjaan. Berada di ruangan yang sama dengan Yusuf bisa membuat jantungnya berdebar-debar karena kepolosan dari sang asisten itu.

Baru kali ini ia terpengaruh oleh laki-laki tapi kenapa harus lelaki seperti Yusuf? Ini tidak bisa dibiarkan, katanya dalam hati.

Yusuf masih memperhatikan Lidya yang dari tadi melamun sambil menggeleng-gelengkan kepala. Apa wanita itu sakit kepala, pikirnya heran, karena tidak biasanya wanita cantik itu melamun apalagi dalam jam kerja.

Setelah beberapa hari ia bekerja, sedikit banyaknya Yusuf sudah hapal betul apa saja yang sering dilakukan bosnya itu. Termasuk jam mandi, jam tidur, dan waktu makan. Semuanya sudah Yusuf ingat sedikit demi sedikit karena itu adalah tugasnya.

Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas. Sesuai perintah Lidya tadi pagi, mengingatkannya untuk pergi keluar. Ia bangun dari kursi kerjanya melangkah ke meja Lidya.

"Mbak, ini sudah jam sebelas."

Yusuf memeriksa jam tangannya dan siap menunggu perintah selanjutnya.

"Ya sudah. Kamu antar saya ke mall." kata Lidya berdiri, memasang blazernya dan segera bersiap untuk pergi.

"Baik."

Lidya segera melangkah keluar dengan Yusuf mengikuti di belakangnya. Sampai di depan pintu keluar, Lidya berdiri menunggu Yusuf mengambil mobil.

"Ayo mari, mbak," Yusuf telah memarkirkan mobil tepat di depan pintu masuk, lalu bergegas keluar membukakan pintu untuk Lidya.

Setelah itu Yusuf menjalankan mobil ke jalan raya menuju mall yang dimasudkan oleh wanita itu. Dia tidak tahu ada tujuan apa bosnya itu pergi kesana tetapi ia juga tidak berani bertanya. Dilihatnya dari kaca spion, Lidya tengah sibuk memainkan handphone dengan wajah serius.

"Apa kamu lihat-lihat!" suara Lidya mengagetkan Yusuf.

"Eh ... mbak. Kita mau ngapain ke mall, mbak?" tanya Yusuf sopan.

Lidya hanya diam tidak menjawab. Dia punya kejutan untuk Yusuf setiba di mall nanti; memotong rambut Yusuf, membeli pakaian, dan juga membeli beberapa pasang sepatu. Itu lah ide Lidya untuk mengubah semua penampilan lelaki itu agar terlihat lebih maskulin dan bisa diajak kerja sama untuk menghadiri acara-acara kantor dua hari kedepan.

Lidya tersenyum simpul membayangkan perubahan yang akan terjadi setelah ini pada Yusuf, dia sudah tidak sabar membayangkan bagaimana lelaki udik berubah menjadi pria maskulin. Karena di balik wajah udik itu terlihat ketampanan sejati yang dimiliki oleh lelaki itu.

Kok mbak lidya senyum-senyum terus ya? Kata Yusuf mengamati Lidya. Sejak pagi dilihatnya wajah cantik itu sering tersenyum tidak jelas memandangi layar handphone.

Yusuf jadi meragukan kewarasan wanita itu yang awalnya otoriter berubah menjadi lebih lembut. Ada apa gerangan? Jadi tanda tanya besar di kepalanya saat ini.

Setelah dua puluh menit berkendara akhirnya mereka tiba di mall. Tempat perberlanjaan yang cukup besar yang terletak di pusat ibukota.

"Kamu ikuti saya ke lantai satu."

Yusuf mengangguk, mengikuti Lidya yang turun eskalator dari lantai dua menuju lantai satu. Lidya terus berjalan sampai ke depan sebuah salon khusus pria dan masuk kedalamnya.

Didalamnya terlihat beberapa orang pria tengah menikmati pijatan kepala dan beberapa perawatan potong rambut khusus lainnya.

"Yusuf, kamu duduk di sana," Lidya menunjuk ke salah satu kursi kosong khusus untuk memotong rambut.

"Rambut kamu itu harus segera dirapikan," kata Lidya menunjuk ke kepala Yusuf.

Memang rambut Yusuf agak panjang setelah dua bulan di kota tidak pernah dipotongnya. Yusuf menurut saja duduk di kursi yang Lidya tentukan. Ia berkaca pada cermin yang berada di depannya, terlihat rambutnya agak panjang menutupi daun telinga.

Dalam hati Yusuf sangat senang mendapat perhatian dari Lidya, apalagi masalah penampilannya yang kurang formal sebagai asisten pribadi.

Tidak lama datang seorang pria muda berperawakan tinggi di atas rata-rata, kulitnya putih, dengan potongan rambut undercut, dan memakai seragam kerja yang menampakkan bahwa dia adalah karyawan salon itu. Di tangannya sudah ada handuk kecil berwarna biru.

"Mas, ayo kita cuci rambut dulu," katanya mengajak Yusuf mengikutinya ke tempat cuci rambut di ruangan belakang.

Yusuf mengikuti karyawan itu sampai ketempat khusus cuci rambut. Di sana ada tiga tempat duduk dan dua diantaranya telah dipakai oleh orang lain yang juga dicuci rambutnya. Hanya tersisa satu tempat untuk Yusuf.

"Silahkan duduk, mas," karyawan itu menyiapkan air dan berbagai shampo untuk Yusuf pakai.

Yusuf segera duduk di kursi yang telah disediakan. Setelah itu, pria tadi mulai membasahi rambut Yusuf dengan memberi sedikit pijatan di kepalanya.

"Mau pakai shampo apa, mas? Ada ginseng, aloe vera, dan alpucado."

"Ginseng saja, mas," putus Yusuf.

Yusuf tidak pernah sekalipun mencoba potong rambut di salon dan ini adalah pengalaman pertamanya, jadi ia hanya memilih asal saja mendengar adanya ginseng dan langsung itu dipilihnya.

Ya, Tuhan …. Ini enak sekali, katanya dalam hati. Mendapat perawatan salon saja dia sudah bersyukur. Gimana kabarnya kalau dilamar oleh Lidya? Aha! Mimpi di siang bolong kali ya.