Yusuf telah sampai di sebuah gedung pencakar langit. Kalau dilihat-lihat gedung ini dindingnya dilapisi cermin dari luar, jadi kalau siang hari akan terlihat mengkilat terkena pantulan cahaya matahari.
Diparkirkannya mobil cantik itu tepat di depan pintu masuk biar memudahkan si bos cantiknya keluar. Dengan secepat kilat Yusuf keluar, membukakan pintu untuk wanita itu.
Ceklek!
"Silahkan mbak," kata yusuf sesopan mungkin.
Lidya mulai menurunkan sebelah kakinya, tampak lah sepatu berwarna merah dengan ujung tumitnya yang sangat runcing seperti ujung tombak penangkap ikan. Aha, hilang sudah kesan wibawa Lidya, gara-gara pikiran
Yusuf yang salah tangkap. Masa sepatu secantik dan semahal itu disamakan dengan ujung tombak penangkap ikan? Memang ini zaman purbakala? Di mana-mana semuanya dari perunggu.
"Biar saya saja yang membawakan tasnya mbak," kata Yusuf menawarkan.
"Huh," dengan lagak songongnya Lidya memberikan tasnya kepada Yusuf.
Setelah itu Lidya berjalan memasuki kantor, di dalamnya semua karyawan sudah siap berbaris rapi memberi hormat dan mengucapkan selamat kepada wanita itu. Mereka menunduk sambil memberikan senyuman menyapa.
"Selamat pagi bu," kata mereka serempak.
Lidya hanya memberikan sekilas senyuman untuk membalas sapaan tersebut, ia terus berjalan melewati karyawan-karyawan itu sampai ke pintu lift.
Di belakangnya Yusuf memangut-mangut menyapa satu per satu karyawan yang masih berdiri menunggu kepergian Lidya.
Yusuf merasa canggung berjalan di hadapan karyawan-karyawan yang tampak memperhatikan dirinya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Membuat kaki Yusuf terasa berat untuk dilangkahkan.
Penampilannya saat ini bisa dikatakan sangat pas-pasan atau sangat sederhana. Hanya memakai baju kemeja putih polos, dan celana bahan berwana hitam yang sudah agak pudar warnanya, ditambah sepatu kulit andalannya ketika masih berkuliah di kampung.
Semuanya hanya memandang remeh pada penampilan Yusuf yang bisa disamakan mirip OB di kantor itu. Mendingan seragam OB, mereka di sana memakai pakaian seragam lengkap, bersih dan rapi.
Mereka tidak menyangka kenapa Yusuf bisa bekerja dengan Lidya yang serba perfect dalam segala bidang termasuk penampilan. Apakah nilai plus dari Yusuf? Apa mata Lidya bermasalah telah memperkerjakan lelaki itu untuknya, pikir mereka.
"Yusuuuuuf buruan! Ngapaian kamu celingak-celinguk kaya sapi bodoh gitu!" teriak Lidya mau masuk lift.
Astaga mulut Lidya ini pedas sekali seperti cabe ulekan. Harus segera diberi lem cap kambing itu mulut ya. Haha kamu kira itu sepatu? Bisa-bisa kena senggol bacok sama yang punya mulut, tau-tau bibirnya mau dilem.
"Iya mbak," Yusuf setengah berlari mengejar langkah Lidya yang akan hilang ditelan pintu lift.
"Kamu harus berlajar lagi sama Sarah. Biar gak norak dan malu-maluin!"
Yusuf hanya diam dan menunduk saja mendengar ocehan Lidya. Ia memang berasal dari kampung, makanya ia merasa aneh dengan dunia kerja yang baru ditempatinya itu. Tapi apa pun kata Lidya adalah titah ratu yang harus segera dikerjakannya, demi kelangsungan kerja.
"Kamu dengar tidak? Jangan mangut-mangut gak jelas!" bentak Lidya.
"Saya dengar mbak, dengar kok."
"Sini handphone saya," kata Lidya menengadahkan tangan.
Yusuf segera mengambil handphone wanita itu dari dalam tas. Dilihatnya isi dalam tas itu, ada suatu benda yang seperti bantalan roti berbungkus plastik berwarna merah muda. Ini apa ya, katanya dalam hati.
Sebelumnya ia pernah melihat iklan-iklan di televisi menampilkan benda itu punya sayap yang bisa terbang-terbang dari siang hingga malam. Apakah mbak Lidya akan terbang jika memakai ini ya, pikirnya lagi.
"Buruaan! Lelet banget sih kamu."
"Ini mbak," Yusuf memberikan handphone itu segera.
Setelah itu Yusuf diam menunggu lift bergerak sampai lantai 22. Dilihatnya Lidya yang tengah asik memainkan handphonenya sambil sesekali tersenyum.
"Nanti jam sebelas kamu ke ruangan saya," kata Lidya.
"Baik mbak," sahut Yusuf.
Yusuf tidak berani bertanya alasanya. Ia lebih baik diam menurut, karena pagi ini dirinya sudah banyak mendapat masalah dengan wanita cantik itu. Untuk mencari jalan aman biar lah dirinya mengalah dan menuruti semua permintaan Lidya.
Ting!
Pintu lift terbuka tepat di lantai 22. Di sini adalah lantai tempat ruangan Lidya berkerja, dengan desain yang mewah di setiap dindingnya, terpampang lukisan-lukisan klasik yang harganya mencapai puluhan juta rupiah.
Di sini hanya tersedia dua ruangan yang di khususkan untuk petinggi perusahaan seperti ruangan Lidya, dan ruangan ayahnya. Tidak sembarangan orang yang boleh memasuki ruangan ini, hanya staf khusus pengantar laporan, dan Yusuf sebagai asisten pribadi Lidya yang boleh memasuki itu.
Yusuf segera keluar mengikuti langkah Lidya sampai ke dalam ruangannya. Setelah itu ia membereskan meja wanita itu yang penuh dengan berkas-berkas laporan kerja yang akan segera diperiksanya selaku pimpinan baru perusahaan.
"Kamu pisahkan berkas-berkas itu sesuai tanggalnya, setelah itu letakkan di meja itu," Lidya memberikan insruksi untuk pekerjaan baru Yusuf.
"Baik mbak," jawab Yusuf.
Lidya segera melepas blazer yang dipakainya, lalu digantung di tempat gantungan khusus pakaian yang telah tersedia di belakang kursinya. Setelah itu ia menduduki kursi empuk berwarna hitam dan siap berkutat dengan berkas-berkas laporan yang telah dipisahkan oleh Yusuf.
"Yusuf, tolong kamu buatkan saya kopi ya."
"Baik mbak," sahut Yusuf.
Yusuf meletakkan berkas-berkas tadi di meja setelah itu ia berjalan ke luar ruangan untuk membuatkan kopi. Ketika ia hendak membuka pintu dapur khusus karyawan, terdengar suara orang dari dalam membicarakan dirinya.
"Aku heran deh sama bu Lidya. Kenapa bisa pria udik itu jadi asistennya ya? Melihat penampilannya saja sudah membuat kita gak berselera."
"Iya, aneh kan? Aku juga mikir gitu. Padahal kita-kita yang sudah lama di sini juga pengen menjadi asistennya."
"Aku aja nih ya .... selama ini, aku betah di sini karena ingin melihat bu Lidya setiap hari saja. Kalau gak, udah lama aku keluar dari kantor ini."
"Haha, kau menghayal terus sih! Mana mau bu Lidya sama kamu ini, dompet aja kempos, apalagi pantatmu yang tepos. Gak ada cakep-capkepnya, berlagak pula mendapatkan bu Lidya yang super cantik itu. Hahaha .... ada-ada saja kau ini Jon, Jon!"
"Biarin, dari pada pria udik itu. Jauhan aku lah ganteng nya," sahut orang yang bernama Jon itu.
Kreak!
Pintu dibuka dari dalam menampakkan dua orang pria dengan wajah terkejutnya melihat Yusuf yang berdiri di depan pintu. Mereka ketahuan membicarakan Yusuf di belakangnya, sekarang tertangkap basah langsung sama orang yang telah mereka bicarakan tadi.
"Eh, ada Yusuf toh hehe. Mau buat kopi juga Suf?" tanya pria yang bernama Jon, dengan wajah kikuknya.
"Iya," sahut Yusuf datar.
"Mari, silahkan. Kita sudah selesai," katanya mempersilahkan Yusuf masuk.
Yusuf segera masuk untuk membuat kopi. Saat ini hanya ada dirinya sendiri di ruangan itu, ditutupnya pintu itu rapat-rapat. Setelah itu, dipegangnya dadanya kuat. Terlihat dari raut wajanya sedih mendengar ucapan dua orang karyawan tadi membicarakan dirinya di belakang.
Walau ia berasal dari kampung dan terlihat udik, ia merasa tidak pernah menyinggung orang-orang di kantor ini. Tapi kenapa mereka tidak menyukai kehadirannya?
"Kenapa orang-orang itu tidak suka dengankuTuhan," kata Yusuf lirih.
Ia jadi teringat sebelum pergi merantau ke kota ini, orang-orang kampung selalu mencemooh dirinya yang akan pergi merantau ke kota.
"Si Yusuf, mau ke kota? Haha .... apa yang bisa dikerjakan anak itu? Tidur saja masih sama emaknya, malah lagu-laguan pergi merantau."
Itu lah kata-kata orang mengejek dirinya. Sekarang setelah ia bekerja di kantor ini dengan Lidya, ia juga mendapatkan hal yang sama dari karyawan-karyawan lain.
Apa kesahalan Yusuf, sehingga mereka tidak menyukai kehadirannya. Apakah mereka iri? Atau mereka dengki? Entahlah! Yusuf hanya berdoa kepada Tuhan, agar dirinya kuat menghadapi cemoohan orang-orang itu kepadanya.
"Ya Tuhan, berilah hamba kekuatan agar bisa berhasil dengan semua usaha hamba ini. Tabahkan lah hati hamba selalu," itu lah doa Yusuf di sela-sela kesedihannya.