-Terjebak Dendam Masa Lalu-
Setiba di rumah sakit, Alfian menyuruh Naomi untuk turun terlebih dahulu. Sedangkan laki-laki itu memarkirkan mobilnya di parkiran rumah sakit.
Naomi mengangguk paham. Dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang beraroma etanol dan sedikit obat-obatan. Dinding kusam dan menonton terpampang jelas bersama dengan deretan kursi tunggu yang merapat ke dinding.
Tidak terhitung banyaknya pasien yang berlalu lalang di sana. Sesekali Naomi merapatkan tubuh ke dinding saat sebuah bangkar rumah sakit melewatinya. Aroma cairan pekat berwarna merah langsung tercium olehnya.
"Naomi."
Naomi menoleh, Alfian mendekatinya, merapat kemudian menarik menjauh dari lorong tersebut.
"Kita mau kemana?" tanya Naomi. Alfian tidak membawanya ke dokter kandungan melainkan ke sebuah lorong yang Naomi ketahui deretan ruangan bertulisan dokter anak.
Alfian menghentikan langkahnya tepat di depan ruangan itu memandangnya sekilas sebelum berniat mengetuknya.
Disaat bersamaan seorang perawat menghampiri mereka dan menanyakan keperluan apa sampai berdiri di depan ruangan dokter anak itu.
"Kami mengenal dokter Aiden." Alfian memberitahu.
"Apa sudah ada janji?" tanya si perawat dengan tatapan menilai.
Alfian terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng. "Tapi jika dia tau aku yang datang, dokter Aiden akan menerima kami," bujuk Alfian pelan.
Naomi menyikut pelan Suaminya. "Kenapa kita ke dokter anak? Bukannya kita ada janji dengan dokter kandungan?"
"Tunggu sebentar. Aku ada perlu dengan dokter Aiden," bisiknya.
Setelah mengatakan itu Alfian kembali menatap perawat yang menghalanginya masuk.
"Bisa tolong panggilkan dokter Aiden?"
Perawat itu terdiam beberapa saat kemudian menghela napas berat. "Bukan maksud untuk menghalangi, Pa. Tapi dokter Aiden sedang cuti hari ini."
"Cuti?" ulang Alfian.
Laki-laki itu mengerutkan alisnya. Bibirnya tertutup rapat. Aiden menyukai pekerjaannya sebagai dokter anak. Rasanya aneh jika laki-laki itu mengambil cuti. Padahal Alfian ingin menanyakan beberapa hal pada laki-laki itu.
Alfian menghela pelan, "Kapan dia mengajukan cuti?"
"Err ... tadi pagi." Ia berhenti sekilas, "Sepertinya dokter Aiden buru-buru mengajukan cuti setelah mendapatkan panggilan dari seseorang."
Alfian terdiam beberapa saat. Ia tersenyum berterima kasih dan kembali menatap Naomi yang kebingungan sendari tadi.
"Ay," ucapnya.
"Ada perlu apa dengan dokter anak yang tadi kau tanyakan?" Naomi bertanya.
Alfian mengeling. "Hanya masalah pribadi." Laki-laki itu terdiam beberapa saat, kemudian menghela pelan. "Kau tidak mengenalnya? Aiden dia satu angkatan dengan kita di sekolah menengah."
Naomi mengerutkan alisnya. Wanita itu mulai bertanya-tanya di dalam hati, siapa kira-kira laki-laki yang satu angkatan dengan mereka yang dikenali Alfian.
"Siapa?"
"Aiden. Err ... maksudku Aiden Pratama. Siswa paling pandai seangkatan. Kau tidak tau?" tanya Alfian.
Naomi menggeleng. Sambil mengingat-ingat lagi. Rasanya nyaris mengingat tapi ada kabut pelan yang menghalangi pandangannya.
"Kalian berteman?" tanya Naomi.
"Hm ... Aiden jarang bersama denganku kecuali di markas kami. Dia lebih sering bersama Ethan atau paling tidak mojok ke perpustakaan."
Naomi melototkan matanya. "Ahhh ... dia yang?"
Alfian mengangguk membenarkan. "Yang sering satu kelompok dengan Ethan tapi mengerjakan soal milikmu dengan alasan ingin memperkaya latihan mengerjakan soal lain dan pada akhirnya diseret oleh Ethan.
Naomi mengangguk-angguk. Wanita itu seolah sudah mengingat sosok Aiden yang mereka perdebatkan.
Cowok tampan yang usil, suka bicara tapi hanya dengan teman-teman yang dia kenali dan unik. Aneh menurut Naomi. Di satu sisi kadang Aiden menjadi sosok pangeran es yang tidak ada hangat-hangatnya. Si jenius berjalan. Tapi di satu sisi kadang-kadang laki-laki itu sedikit aneh dengan sikapnya yang tiba-tiba peduli walaupun cenderung canggung.
"Kau benar-benar tidak mengenalnya sekarang? Apa kalian pernah bertemu mungkin di jalan?" Alfian menatapnya penuh curiga.
'Katakan sesuatu.' pintanya dalam hati.
Naomi kembali menggeleng. Jangankan mengingat wajahnya. Naomi cenderung melupakan seseorang yang tidak terlalu penting untuknya. "Jangankan mengingat wajahnya. Bertemu saja tidak pernah. Seingatku pertemuan terakhir mungkin saat acara kelulusan. Dia juara umum dengan nilai tertinggi bukan, aku ingat dia naik ke panggung."
Alfian berdehem pelan. Mengangguk mengiyakan.
"Dia jadi dokter sekarang?" tanya Naomi.
"Ya ... Dokter anak tepatnya."
'Tentu saja. Aiden pintar dan keluarganya mapan.' Pikir Naomi.
"Tunggu di sini. Aku bicara dengan dokternya dulu." Alfian menyuruh istrinya duduk menunggu antrian sementara dia sendiri menganti untuk mengatakan keperluan nya ke resepsionis.
-----------
Waktu berjalan cepat. Antrian demi antrian sudah berkurang banyak. Naomi mengerutkan alisnya beberapa kali saat tidak menemukan sosok suaminya yang sudah lama mengantri.
Naomi menghela pelan. Ia bangkit, kantung kemihnya nyaris penuh. wanita itu menyukai wanita tua di sampingnya karena baru saja datang dari toilet.
Naomi langsung bergegas menyusuri lorong panjang sampai sebuah papan nama yang menunjukkan jika itu sebuah toilet tidak jauh, mungkin satu belokan lagi.
Langkahnya terhenti ketika mendengar suara Alfian tidak jauh dari tempatnya berdiri.
Naomi mengerutkan alisnya. Mulai mengikuti sumber suara itu dengan menyusuri pelan lorongnya.
Langkahnya terhenti ketika menatap punggung Afian yang sedang bicara dengan seseorang yang mengenakan jas putih, Dokter.
"Mungkin nanti, Dok. Saya lihat-lihat dulu kalau begitu." Alfian berseru.
"Kami mohon maaf tentang hal tadi malam tuan. Kami tidak menyangka jika dia bisa kabur."
Alfian tampak mengeling pelan. Membuat Naomi yang mengintip semakin penasaran tentang sesuatu yang mereka bicarakan.
"Kami bisa menundanya, Tuan."
"Tidak! Err ... maksudnya, kami akan memikirkannya lagi. Bayi tabung bukan satu-satunya cara aku rasa."
Degh ....
Naomi terdiam. Apa yang dibicarakan suaminya? Bayi tabung?
Naomi mengeling cepat. Jangan bilang Alfian mengajaknya ke sini hanya untuk program bayi tabung? Sebegitu tidak inginkah Alfian menyentuhnya?
Naomi mengepalkan tangannya. Padahal baru saja ia merasa bahagia ketika Alfian mengajaknya untuk memiliki anak bersama.
'Keterlaluan!! Apa sebegitu rendahnya status sebagai istri?' pikir Nomi kesal. Gemuruh langsung mengguncang hatinya. Menggetarkan perasaan yang nyaris serapuh lapisan atas es yang menggenang di permukaan sungai.
"Terima kasih, Dok. Mungkin nanti saja. Ada yang perlu kami pastikan dulu." Alfian menolak lembut. Sang doktor mengangguk paham, "Maaf untuk kejadian yang tidak mengenangkan ini, Tuan," seru si dokter sebelum pergi meninggalkan Alfian sendiri.
Laki-laki itu menghela napas berat. Menekan hidungnya sampai berbalik. Langkahnya terhenti saat menemukan sosok Naomi di depan, menghalanginya.
"Na-naomi?" bisik Alfian pelan.
Naomi terdiam dalam posisi yang sama. Pandangannya tajam. "Ini yang kau rencanakan? Bayi tabung Alfian? Yang benar saja!!" Naomi membentak keras.
"Na-naomi please! Dengar dulu," pinta Alfian lembut. Tangannya meraih lengan sang istri ketika empunya ingin kabur menjauh.
"Lepasin!!" Naomi bersusah payah melepaskan cengkraman Alfian.
Pandangannya mengabur ketika air mata menggenang di pelupuk.
"Kau keterlaluan Al! Kenapa harus bayi tabung jika kita bisa melakukannya dengan cara normal." Naomi menghentikan ucapannya. Mendongak, menatap ekspresi sang suami kemudian mendesah pelan. "Apa status istri sangat tidak berharga untukmu?"
"Naomi please!! Jangan berpikir macam-macam."
Bersambung ....