Chereads / Terjebak Dendam Masa Lalu / Chapter 6 - Bab 6-Bukan Bayi Tabung

Chapter 6 - Bab 6-Bukan Bayi Tabung

-Terjebak Dendam Masa Lalu-

"Naomi please!! Jangan berpikir macam-macam."

Alfian menarik lengan istrinya. Menatapnya tegas sebelum menghela nafas pelan.

Suasana berubah kacau ketika isakan kecil sang istri terdengar. Alfian terdiam dalam beberapa saat sebelum akhirnya menuntun Naomi untuk duduk di kursi tunggu terdekat. Membiarkan wanita itu terisak beberapa saat sebelum akhirnya berhenti.

Laki-laki itu membelai rambut istrinya yang nyaris menutupi wajah. Mengusap air matanya.

"Kita tidak akan menggunakan bayi tabung. Setidaknya untuk sementara, karna-" Alfian menghentikan perkataannya mendadak. Dia menarik napas berat sambil memejamkan matanya. Aura ketegangan berubah jadi sunyi.

"Karena apa Al?"

Alfian membuka matanya dan mengeling. "Tidak, Err .... kita bicarakan nanti saja ya."

"Al!!"

"Tidak sekarang, Naomi. Kau tenang saja, kita tidak akan menggunakan bayi tabung." Alfian menyakinkan Naomi.

"Lalu kenapa kau bicara dengan dokter tadi tentang bayi tabung?"

Naomi tidak mungkin salah mendengar. Jelas-jelas ia mendengar jika dokter tadi sedang meminta maaf dan menawarkan program bayi tabung di hari berikutnya.

Naomi langsung tersadar seketika. Kedatangan Alfian tadi pagi adalah sesuatu yang mustahil dilakukan suaminya itu mengingat mereka bertengkar hebat malam sebelumnya juga hari-hari yang telah lalu.

Naomi menyipitkan matanya. "Apa ini tujuanmu?"

Degh ...

"Naomi ..." Alfian meraih lengan Naomi namun ditepis dengan kasar dan cepat oleh empunya.

Naomi bangkit dari posisinya. Berdiri menatap tajam ke arah Alfian.

"Tidak Al!! Kau harus menjawabnya terlebih dahulu. Apa ini alasanmu berbaikan lagi denganku. Karena kau ingin aku setuju melakukan program bayi tabung?"

"...."

"Jawab, Al!!" Naomi membentak kasar ketika pertanyaannya tidak dijawab sama sekali oleh sang suami.

"Iya."

Naomi terkekeh pelan, wanita itu tersentak kaget. Seharusnya ia sudah memperkirakan hal ini. Entah kapan dia menyadari jika pernikahannya selama setahun ini terlihat tidak sehat.

Kehidupan rumah tangganya sangat jauh dari kehidupan rumah tangga orang normal. Tidak ada sentuhan, tidak ada kecupan dan kehangatan lainnya. Naomi bahkan sering mendapati suaminya sama sekali tidak pulang ke rumah. Entah apa alasannya.

Naomi kembali terisak pelan. Air matanya tergenang di pelupuk, membendung sampai nyaris tidak bisa ditahan-tahan lagi.

'Apa salahnya?'

kenapa takdir begitu kejam memperlakukannya.

Naomi sudah terbuang dari keluarganya sendiri, ibu tiri yang kejam bahkan tega meninggalkannya di tepi pantai saat wanita itu mengajaknya liburan. Tidak ada yang tau bahkan ayahnya.

Naomi terlalu muda saat itu. Ia bahkan tidak tau caranya meminta tolong ketika hari sudah semakin gelap. Sendirian di dalam dinginnya malam. Beruntung nelayan yang baik menyelamatkannya, mengangkat sebagai anak dan membesarkannya. Tapi lagi-lagi ia terbuang ketika mereka meninggal dunia. Keluarga nelayan itu tidak ada yang mau mengadopsinya.

Sampai Naomi berakhir di panti asuhan sampai menyelesaikan sekolah menengah.

Saat itu Naomi sudah beranjak dewasa dan ingin mencari tau tentang keluarga kandungnya. Namun ternyata mereka sudah pindah tepat ketika setahun Naomi dinyatakan menghilang.

Wanita itu terdiam. Tenggelam dalam dukanya sendiri sampai suara Alfian kembali terdengar. Naomi mendongak, memperlihatkan mata merahnya yang nyaris menangis.

"Tidak semuanya seperti itu." Alfian berseru. "Awalnya memang seperti itu. Aku ada janji untuk konsultasi dengan doktor untuk membahas perihal bayi tabung. Tapi aku membatalkannya."

Naomi mengerutkan alisnya bingung, "Batal?"

"Hm ... tidak jadi Naomi."

"Kenapa?" tanyanya penuh curiga.

"Yah ... kita belum membicarakan itu bukan? Rasanya sedikit tidak adil untukmu."

Naomi terdiam lagi. Pikirannya bercampur aduk, beradu satu sama lain di dalam benaknya. Wanita itu tidak tau harus mengatakan hal apa. Rasanya seperti gabungan antara hal yang seharusnya dia percayai dan hal lain menyangkal untuk melakukan itu.

Naomi menyipitkan matanya, menghela nafas pelan. "Lalu kenapa kau ingin menemui dokter Aiden saat pertama kali datang. Jika kau melakukan janji dengan dokter yang tadi seharusnya kau menemuinya terlebih dahulu."

"Aiden temanku."

"Aku tau, tapi kenapa kau-"

Alfian berdalam pelan. "Kami sudah lama tidak bertemu. Aku dengar dia ditempatkan di rumah sakit ini dan aku ingin menemuinya terlebih dahulu sebelum menemui dokter kita."

"Selain itu aku tidak memiliki nomor Aiden. Kami sudah lama putus kontak," lanjut Alfian pelan.

Naomi memikirkanya sampai Alfian menyakinkan dengan sangat yakin. Pada akhirnya Naomi mengangguk percaya.

"Setelah ini kita kemana?"

"Pulang. Kita perlu bicara dari hati ke hati dulu sebelum memutuskan banyak hal." Alfian berseru.

Laki-laki itu membantu Naomi berdiri, menggenggam erat tangannya sambil menyusuri lorong panjang di rumah sakit itu.

Suasana berubah santai seketika. Wanita itu menghela pelan. "Aku pikir selain menginginkan program bayi tabung kau juga berencana mengadopsi anak di rumah sakit ini."

Alfian mengerutkan alisnya. "Kenapa kau berpikir begitu?"

"Dokter Aiden itu dokter anak bukan?"

--------

Deru mobil berhenti di sebuah minimarket di dekat tepi jalan. Seorang pria tampan dengan mengenakan kemeja putih turun dari mobilnya.

Dia berjalan cepat masuk ke dalam minimarket, menyusuri rak yang menjulang tinggi dan berisi berbagai barang dan kebutuhan.

Pria itu berhenti tepat di depan deretan minuman dingin. "Kopi, jus, soda atau ..." maniknya melirik ke samping, "Air mineral?" tanyanya pada diri sendiri.

Setelah berpikir panjang akhirnya pria itu mengambil dua botol air mineral, dan dua kaleng soda juga satu minuman penangkal penger.

Pria itu menghela pelan. Saat melewati rak makanan kotak. Dia juga mengambil beberapa mie instan serta beberapa cemilan untuk menangkal rasa laparnya nanti.

"Bagus yang ini apa yang satunya lagi?"

Langkah pria itu terhenti, ia menoleh ke samping. Tidak jauh dari tempatnya berdiri ada seorang ibu muda yang kebingungan memilih susu formula. Wanita muda itu sedang membawa dorongan bayi di sampingnya.

"Pilih yang ini saja," seru pria itu memberikan saran. "Tapi akan lebih baik lagi Asi dibandingkan susu formula," lanjutnya

Si wanita muda mendongak dan terdiam beberapa saat. Pandangannya memucat tiba-tiba. Ia juga menarik keretaan bayi di sampingnya menjadi semakin dekat.

Pria itu langsung tersentak kaget. Ia merasa canggung. "Err .... maaf Bu, bukan maksud saya ikut campur. Saya bukan orang jahat serius!" Pria itu menggeleng sambil melambaikan kedua tangannya.

Mungkin saja ibu muda di depannya mengira dia seorang penculik bayi bukan?

Si wanita muda tidak memberikan jawaban apapun atau sekedar menggeleng.

Pria itu berdehem canggung. "Perkenalkan nama saya Aiden. Saya seorang dokter anak."

Wanita itu tetap tidak bergeming.

"Sebentar!" Si pria mengambil dompetnya dan memperlihatkan kartu nama yang mengatakan jika dia benar-benar seorang dokter anak bukan penculik bayi yang sedang menyamar.

Wanita itu menghela pelan. "Maaf ..." ucapnya. Namun entah kenapa Aiden masih merasakan aura waspada yang di tampakkan wanita itu.

Bersambung ....