-Terjebak Dendam Masa Lalu-
Naomi bergegas menarik ujung gaun sederhana yang ia kenakan ketika taksi yang membawanya sudah berhenti tepat di depan pintu gerbang sekolah.
Naomi merutuki kebodohannya yang harus berubah pikiran ketika Mona menghubunginya. Membujuk agar dia ikut ke acara yang diadakan hari ini.
Alfian sudah berangkat ke kantornya sejak pagi-pagi sekali. Menyisakan Naomi yang bimbang sambil menatap layar ponsel.
Pada akhirnya wanita itu memutuskan untuk pergi ke acara reuni. 'Seharusnya aku mengatakan ini pada Alfian," pikir Naomi.
Naomi menghela nafas panjang. Langkahnya pelan menyusuri kerumunan di depan. Dia sama sekali tidak mengenali orang-orang yang berpapasan tadi, berusaha tersenyum dan menyingkir secepatnya.
Suasana ramai pesta yang diadakan tepat di halaman sekolah nyaris tidak pernah terbayang di dalam pikiran Naomi. Ini pesta reuni pertama yang diadakan teman angkatannya.
Naomi berhenti tepat di depan stan makanan dan minuman yang tertata rapi, beberapa cookies, makanan kecil dan juga gelas minuman yang menjulang cantik.
Aroma manis menguar memasuki penciumannya. Naomi menatapnya sekilas, dahinya mengerut saat tidak berselera ketika menatapnya. Justru merasa eneg tiba-tiba.
'Benar-benar tidak nyaman,' pikirnya. Wanita itu menyingkir beberapa meter sambil menekan dadanya, mengurangi rasa mual.
Naomi menarik napas panjang, menahannya beberapa saat kemudian menghembuskannya perlahan.
Dia mengedarkan pandangannya ke segala arah. Sampai manik gelap itu menangkap sosok Mona yang tengah berbincang dengan beberapa teman lama.
Naomi menyipit. Benar-benar tidak terlalu mengenali teman-teman seangkatannya. Bukan berarti dia sombong. Tapi memang pada dasarnya Naomi itu pendiam.
Plukk ...
"Err ... Naomi?" Suara lembut seseorang menghentikan langkahnya yang nyaris akan menyusul Mona.
Naomi berbalik ketika seseorang menepuk bahunya. Wanita itu mengerutkan alisnya bingung.
Naomi mulai memandangi seorang laki-laki yang berdiri di depannya. Dia tampan. Rahangnya tegas, hidung mancung dengan matanya yang terlihat fokus sampai tidak memperhatikan hal lain disekitarnya.
Dia tidak tau jika setiap wanita yang berpapasan dengannya selalu menampakkan raut kagum yang luar biasa. Paling tidak melirik ke arah mereka dalam beberapa detik, berbisik pada temannya dan melanjutkan langkah dengan tersenyum kecil.
"Err ... siapa?" tanya Naomi, merasa tidak yakin.
Laki-laki itu terkekeh pelan. Senyumannya benar-benar menawan. Naomi jadi teringat sedikit bayangan itu tapi di mana? Ingatannya tumpang tindih tidak teratur.
"Kau tidak mengenaliku? Aku Aiden. Kita teman satu angkatan."
Naomi membeku seketika, dia menelan ludahnya kasar. 'Ahh ... Aiden Pratama, si dokter anak,' pikir Naomi cepat.
Dia tidak tau kenapa, tubuhnya bergetar dengan sendirinya padahal Aiden tidak ada kaitannya dengan Naomi. Mereka tidak akrab sama sekali.
Laki-laki tampan itu dulunya persis seperti Prince Charming. Usil namun cuek. Dia hanya bicara sesekali dengan orang luar. Dengan kata lain Aiden hanya bicara bebas dengan teman-temanya.
Naomi masih terdiam, otaknya berpikir jernih. Dengan sedikit keberanian ia tersenyum kecil. Mungkin kegugupannya berasal dari pemikiran kecil beberapa minggu yang lalu. Tentang Alfian yang ingin menemui si dokter anak itu untuk konsultasi.
Naomi menghela pelan, "Maaf Aiden. Ehm ... itu aku tidak mengenalimu tadi." serunya.
"Tidak masalah." serunya. "Err ... aku tidak menyangka jika kau tidak mengenaliku. Soalnya aku dulu populer bukan?"
Ahh .... ini bukan salah Naomi. Dia tidak menyangka jika sosok Aiden ternyata narsis juga.
"Maaf untuk itu."
Aiden mengeling pelan. "Ngomong-ngomong bagaimana kabarmu?"
Naomi mengamati Aiden dari ujung ke ujung. Laki-laki itu tidak berubah terlalu pesat. Hanya tubuhnya yang tampak gagah dengan potongan rahangnya yang tegas.
Hanya saja dikarenakan Naomi memang tidak mengenal baik Aiden. Dia merasa sikap laki-laki itu sedikit berubah, nyaris terlalu ramah untuk seukuran orang asing.
Naomi orang asing bukan? Jelas dia tidak berteman dengan sosok Aiden.
Naomi memejamkan matanya sekilas, kemudian kembali menatap Aiden lagi dengan jiwa yang sudah terkontrol.
"Hm ... baik, kurasa." serunya. "Kau tampak sedikit berbeda."
Laki-laki itu langsung mendongak, tersenyum kecil. "Benarkan? Padahal aku tidak banyak berubah lo."
Yah mungkin ....
Entah kenapa Naomi merasa suasananya semakin canggung. Wanita itu beberapa kali melirik ke samping, ke depan menghindari bertatapan terlalu lama dengan Aiden. Dia merasa tidak nyaman. Apalagi ketika hampir semua orang menatap ke arah mereka.
"Kau kau datang sendirian?" tanya Aiden membuka suara.
Naomi tersentak, dengan cepat dia mengatur ekspresi wajahnya yang pucat karena takut entah untuk hal apa.
Naomi mengangguk pelan, matanya langsung menunduk sambil menatap rumput di bawah kakinya. Pembicaraan ini benar-benar canggung.
Aiden merasakan hal yang sama. Laki-laki tampan itu beberapa kali kesusahan mengambil napas normal dan membuka suara.
Aiden mengusap ujung gelas minumannya pelan. Laki-laki itu melirik Naomi sambil berpikir kenapa dia berani menyapa wanita itu lebih dahulu.
Aiden mengumpat pelan di dalam hati. Tapi bukan berarti dia mengenal sosok Naomi dengan baik. Wanita itu dia ketahui sebagai salah satu fansnya Alfian, sahabatnya. Tapi dia tipe orang yang bersembunyi di balik layar. Naomi sangat pendiam. Dia sering diam-diam mengamati Alfian dari jauh dan itu disadari oleh Aiden.
Manis..
Aiden pernah berpikir begitu, saat dia sering bertemu dengan Naomi di Perpustakan.
Naomi juga salah satu murid yang berprestasi meskipun tidak sepintar dia.
"Oh.. ya." Aiden kembali tersenyum kecil, memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"Semua manusia pasti akan berubah, benar bukan?" lanjutnya tenang. Dia berdehem pelan, "Kau sekarang dimana?"
"Mengikuti suami."
Aiden menaikkan alisnya bingung, "Suami?Kau sudah menikah?" tanyanya sedikit syok.
Naomi mengangguk lagi.
Bodoh, Aiden sedikit meradang saat mendengar kata-kata . Wanita polos itu ternyata sudah menjadi milik orang lain. Dia terkekeh sambil menertawakan kekalahan nya bahkan sebelum sempat berperang.
"Siapa suamimu?" Aiden menekan emosinya dan mengalihkan pandangannya kembali ke kerumunan orang-orang.
"Kau tidak mengenalnya" Naomi tersenyum kecut. Menyembunyikan status suaminya bukan hal baru bagi Naomi.
Naomi bergegas mengambil minuman di dekatnya secara acak. Tidak baik baginya berlama-lama berinteraksi dengan Aiden. Dia merasa risih.
Naomi menatap ke samping. Netranya mendapati Mona yang melotot ke arahnya.
Temannya itu pasti berpikir macam-macam saat mendapati Naomi bicara berdua dengan Aiden.
Naomi bergumam pelan, ia mengusap lengannya canggung. Berbalik menatap ke arah Aiden lagi.
"Aku sudah selesai, duluan ya Aiden. Temanku sepertinya sedang menunggu." Ia menunjuk ke arah Mona dan teman-teman wanita lain yang berdiri tidak jauh dari mereka.
Naomi tersenyum kecil dalam hati dia berdoa semoga laki-laki itu tidak tersinggung dengan sikapnya.
Aiden menoleh dan mengangguk pelan, "Oh, okay." serunya. "Dah .... Naomi, senang bertemu denganmu," ucapnya tulus.
Aiden menatap punggung Naomi yang semakin menjauh darinya. Perasaannya langsung hampa. Naomi yang sekarang persis seperti bunga mawar yang terkurung dalam kaca. Indah tapi tidak bisa dimiliki.
Bersambung .....