-Terjebak Dendam Masa Lalu-
Sore itu, angin berhembus kencang. Menerbangkan dedaunan yang berhamburan di atas tanah. Guratan langit jingga keemasan memancar di sela-sela gerimis yang mulai turun. Ranting-ranting bergetar hebat dengan ujung daun yang menari-nari.
Tidak jauh dari sana seorang pria terdiam dengan mengenakan kaos santai berwarna putih lengkap dengan topi biru malamnya.
Laki-laki itu terlihat menatap nanar sebuah rumah besar di depannya. Pandangannya dingin, tidak terbaca.
Dia Saga, laki-laki yang baru saja datang dari bandara tanpa membawa koper atau pun tas ransel.
Dia muncul hanya dengan menekan kaos polos dengan mantel tebal yang di selipkan di lengannya.
Saga sendiri juga bertanya-tanya kenapa dia ingin kembali ke sini? Padahal tidak ada satupun yang menyambutnya.
Saga sendirian .... dulu, sekarang dan mungkin saja nanti. Nasibnya akan sama saja.
Saga memejamkan matanya. Menekan dada yang mulai terasa sesak. Kembali ke tanah kelahirannya ini sama saja membuka luka lama yang bahkan tidak bisa disembuhkan.
"Bodoh!" gumamnya pada diri sendiri.
Saga mendesis. Dia terbawa suasana, entah kesambet atau kenapa sampai dia memutuskan untuk kembali ke negara ini.
Sejak tiga hari yang lalu Saga merasa ada yang aneh dengan dirinya sendiri. Nyaris setiap malam dia memimpikan hal yang tidak biasa.
Seolah ada seorang bayi yang memanggil manggil namanya. Mimpi itu tumpang tindih dengan teriakan seorang wanita yang wajahnya tidak terlihat jelas.
Saga berusaha menggapai saat keduanya akan pergi menjauh, namun jarak mereka semakin jauh dan pada akhirnya Saga selalu terbangun di tengah malam, nyaris pada waktu yang sama.
Saga menghela nafas panjang. Laki-laki itu kembali menatap rumah di depan sampai sebuah mobil tiba-tiba mendekat dan masuk ke dalam rumah itu.
Saga langsung bersembunyi di balik pohon besar. Dia cukup yakin jika posisinya tidak terlihat dari rumah di seberang jalan itu.
Seseorang turun dari dalam mobil disambut oleh para penjaga yang membukakan pagar untuk majikannya.
Saga mengerutkan alisnya ketika ia melihat sebuah keganjilan.
Itu Alfian, laki-laki yang ia benci sekaligus adik iparnya. Pria yang menikahi adik tirinya Airin Sabrina Mattew, dan sekarang sudah berganti nama belakang menjadi Airin Sabrina Adams sejak tiga tahun yang lalu.
"Selamat sore, Tuan." Pengawal yang membukakan pintu mobil memberi salam.
Alfian mengangguk. Laki-laki itu turun dengan membawa buntalan kecil yang ia dekap, kemudian masuk ke dalam rumahnya.
Saga yang melihat dari jauh memang tidak bisa memastikan dengan jelas sampai akhirnya dia menyerah.
"Shitt!! Tetap menjadi orang bodah eh? Damn it!!"
Saga tersenyum kecut. Untuk apa dia menunggu di sini seperti orang bodoh? Airin tidak akan menemuinya. Tidak akan pernah, dan Saga akan tetap jadi pengecut selamanya yang hanya bisa kabur dan kabur.
Saga menghela napas berat. Kemudian menyeret langkahnya menjauh. Membelah langit yang tengah gerimis.
------------
Saga merasa mungkin hari ini adalah hari kesialannya. Sejak tadi pagi sampai nyaris malam dia sama sekali belum memperoleh keberuntungan.
Bahkan ketika ingin menemui Aiden, sahabatnya. Saga juga sempat-sempatnya ditabrak oleh seorang wanita aneh yang tampak linglung.
"Mengganggu saja, dasar aneh." Hanya itu yang dia gumamkan sepanjang lorong rumah sakit sebelum memasuki ruangan dokter anak Aiden Pratama.
Jika Aiden bukan bukan sahabatnya. Saga mungkin akan mengirim laki-laki itu ke segitiga bermuda atau sekalian ke malaikat maut untuk dijadikan partner.
Kedatangan Saga kesini hanya untuk menenangkan pikirannya. Biasanya walaupun sering usil, Aiden cukup berguna untuk menetralkan gejolak emosi ataupun ketika Saga dalam keadaan hampa.
Tapi kali ini justru di sambut dengan kata-kata mengerikan yang mengikatkannya pada masa lalu tragis dan penuh air mata dan emosi.
Saga mengerutkan alisnya Matanya menatap datar pada sosok Aiden. Dia menghela berat.
"Aku tidak akan pulang setelah ini," ucap Saga mengakhiri ketegangan itu.
Aiden menatap bingung, "Kau kenapa lagi?"
Saga tidak menjawab. Laki-laki itu mengubah posisi duduknya menjadi normal dengan kaki yang sudah diturunkan.
Aiden bangkit dari posisinya, melangkah mendekati Saga dan duduk tidak jauh dari sahabatnya itu.
"Kau belum menjawab kenapa kau datang secepat ini terlebih lagi tidak memberitahu."
Saga menghela nafas pelan. "Aku juga tidak tau. Hanya ingin mencari kekosongan yang tiba-tiba menghampiriku."
Aiden semakin menyipit curiga. Saga sedang kesambet hantu Swiss atau hantu penunggu pesawat? Kenapa tingkahnya jadi aneh.
Sosok Saga Alexander Matthew yang dia kenal adalah pria arogan, pemarah, emosian dan juga keras kepala. Tapi walaupun begitu Saga adalah sosok laki-laki idaman semua kaum wanita.
Tampan, gagah, berwibawa. Saga juga terlahir dari pasangan keluarga konglomerat yang mana ayahnya seorang pengusaha properti nomor satu dan juga ibunya yang merupakan kerabat ratu Elizabeth. Kedudukan dan kekuasaan juga uang jelas Saga miliki.
Seolah perpaduan yang sempurna sebelum tragedi itu muncul menghancurkan keluarganya.
Saga menjadi lebih kejam dan bersembunyi dari masalahnya sendiri.
Aiden menghela nafas panjang. Kembali menatap ke arah Saga. "Kau jadi pria melow. Kau masih Saga yang ku kenal bukan?" tanyanya.
Saga mendenggus semakin kesal. "Tentu saja, jika aku bukan Saga yang kau kenal ku jamin rumah sakit ayahmu ini sudah hangus sampai ke pasien-pasiennya."
Gerrr ....
Aiden bergidik ngeri. Tidak bisa membayangkan jika Saga benar-benar akan melakukan itu.
Aiden tersenyum kaku. "Kau ini. Aku hanya bercanda. Serius sekali."
Saga tidak menyahut. Keadaan berubah sunyi dengan jarum jam yang berdetak nyaring.
"Ngomong-ngomong, kau punya baju ganti?" tanya Saga memecahkan keheningan.
"Kenapa? Kau mau pinjam, tidak boleh!" Aiden memekik pelan. Dia masih ingat kejadian tujuh bulan yang lalu ketika Saga menghilangkan jaket hitam kesayangannya serta jam tangan limited edition. "Aku masih menganggap kau berhutang padaku, Saga!"
Saga mendenggus, "Dasar pelit!"
"Kau itu duitnya bahkan tidak akan habis sampai tujuh turunan kenapa kau bertindak seperti orang miskin kekurangan baju, hah! Jangan bilang kopermu tertinggal di rumah dan kau malas ke sana karena ada ayahmu lagi." Aiden buka suara panjang lebar sebelum Saga membuat alasan yang sama setiap kali dia beraksi.
Jika dihitung-hitung mungkin jumlah baju yang dipinjam Saga sudah melebihi satu lemari dan itu tidak dikembalikan olehnya, sialan!
"Bukan begitu, aku memang tidak membawa baju ganti kok. Lihat bajuku bakan sudah basah terkena gerimis."
Saga memperlihatkan kaos yang nyaris melekat di tubuhnya. Menampakkan otot-otot kekar di dalamnya.
"Jika kau tidak mau meminjamkan baju mu, pinjamkan saja aku hoodie atau jas doktermu itu. Setidaknya aku tidak risih dengan wanita yang melirikku." Saga memberi saran.
Aiden terkekeh pelan. Inilah Saga yang dia kenal Kemanapun dia pergi berpuluh pasang mata wanita selalu menatapnya, seolah tidak jera ketika ujung-ujungnya Saga mengusirnya dengan kejam. Atau mengumpat kasar.
Bersambung ....