-Terjebak Dendam Masa Lalu-
Seperti perasaan umum seorang wanita apalagi seorang ibu yang dipaksa untuk melepaskan bayi yang baru ia lahirkan jelas bukan perkara mudah.
Naomi merasakan itu. Tidak ada satu ibu pun yang akan rela begitu saja bayinya di klaim oleh orang lain. Terlebih lagi suaminya yang sudah menipunya mentah-mentah saat ini.
Jika ingin mengamuk, Naomi sudah mengamuk sedari tadi. Tapi wanita wanita itu hanya orang biasa yang tidak bisa mengalahkan orang-orang berkuasa dengan setumpuk uang yang menaunginya.
Naomi merasakan air mata turun, mengalir bercampur dengan air hujan. Tangannya mengepal. Tidak akan rela jika orang lain mengakui bayi yang sudah dia lahirkan dengan susah payah.
Alfian mendecih kasar. "Kau bukan ibunya. Airin adalah ibu terbaik untuk Anggel, dia wanita cerdas, berpendidikan, dan paling penting dia berasal dari keluarga terhormat!"
"Kau juga bukan ayah biologisnya Angela. Laki-laki yang meniduriku malam itulah ayahnya Angela. Kau sangat tidak berhak mengklaim bayiku sebagai putrimu bersama Airin, aku tidak akan sudi menerimanya!"
Bukk ....
Alfian mendorong Naomi hingga wanita itu terjerembab ke ubin dingin yang bercampur dengan tetesan air hujan yang merembes.
Naomi tercengang tiba-tiba. Apa ini sosok Alfian yang dia kenal selama ini? Kenapa laki-laki itu menjadi sangat kasar. Alfian yang dia kagumi selama ini bukanlah seperti itu.
Dia pendiam, namun suka membantu siswa lain yang kebetulan sedang kesusahan. Alfian akan memberikan kursi kantin kosong yang tersisa pada para wanita. Sedangkan dia sendiri berdiri.
"Jangan datang ke sini lagi. Jangan usik kehidupan rumah tanggaku. Besok akan kukirim surat cerai dan tabungan yang cukup untuk membiayai hidupmu," ucap Alfian dingin.
Laki-laki itu sama sekali tidak bersimpati dengan keadaan Naomi yang jauh dari kata baik.
"Dan satu lagi. Akta kelahiran Angela juga tertulis jika bayi itu terlahir di dalam pernikahan antara aku dan Airin. Jadi kau hanya orang luar yang sama sekali tidak berhak atas Angela. Lupakan untuk menuntut hak asuh karena itu tidak akan berhasil."
Degh ....
Naomi mematung, rasanya ada retakan besar di hatinya. Tidak terhitung berapa banyak air mata yang ia keluarkan, semuanya seperti ilusi.
Naomi mengeling tidak percaya. Netra sembabnya menatap wajah Alfian dengan sendu. Sebelum pria itu menghilang di balik pintu besar. Meninggalkan Naomi yang masih terdiam memandangi pintu utama yang sudah tertutup rapat.
Naomi bergeming menatap kepergian Alfian. Tangannya gemetaran. Tubuhnya luruh di atas lantai ubin yang dingin. Air matanya turun semakin deras. Tidak ada harapan untuknya. Putri yang paling ditunggu-tunggu kehadirannya selama tujuh bulan, nyatanya berada jauh dari jangkauannya.
Naomi bangkit, dia melangkah meninggalkan tempat itu dengan pandangan kosong. Netranya menatap lurus ke depan. Tubuhnya diam tanpa bisa merasakan dingin walaupun Wanita itu menerobos hujan lebat yang menguar tempat itu.
"Tunggu!! Hey wanita!!"
Naomi berbalik, alisnya mengerut pelan ketika seseorang memanggil namanya. Naomi mengedip kedipkan matanya beberapa kali.
Seseorang telah berlari ke arahnya tanpa mengenakan payung. Tubuhnya juga sama basahnya dengan Naomi.
"Siapa namamu?"
Degh ...
Naomi menyipitkan matanya. Pandangannya terlalu kabur untuk bisa melihat siapa yang sedang bicara dengannya.
------------
Airin tidak bisa mengedipkan matanya saat menatap sosok bayi cantik yang sedang menangis di dalam dekapannya.
Walaupun wanita itu sedikit risih dengan suara tangisannya yang juga tidak berhenti tapi Airin masih bisa menyunggingkan seringai tipis atas kemenangannya.
Airin yakin jika Alfian, suaminya tidak akan pernah membiarkan Angela jatuh ke tangan wanita itu.
Angela adalah bayinya, miliknya.
Airin bersyukur karena Angela tidak mirip sama sekali dengan wanita sudah melahirkannya.
Angela lebih cenderung mirip dengannya. Dengan kulit pucat nan bersih, dan rambut sedikit pirang. Walaupun Angela memiliki manik kelabu yang masih polos, tapi itu tidak masalah. Orang-orang tidak akan terlalu menggubrisnya mengingat gennya juga ada sedikit keturunan blasteran.
Brak ....
Airin mendengar pintu utama di tutup dengan kasar. Ia langsung bangkit sambil mendekap lebih erat bayi Angela.
Nafasnya tidak teratur ketika membayangkan itu bisa saja Naomi yang menerobos masuk. Tapi kekhawatirannya itu langsung terhenti ketika sosok Alfian lah yang muncul.
Airin menghela nafas lega.
"Kak Nathan belum datang?" Airin bertanya pada suaminya, Alfian.
Laki-laki itu baru saja muncul dari balik pintu kamar. Alfian melirik arlojinya kemudian menghela nafas pelan.
Nathan Sebastian Matthew, kaka iparnya itu seharusnya juga sudah datang di jam begini.
"Tumben telat."
Alfian mengangkat bahunya, "Mungkin masih di jalan. Hujan semakin lebat saja." Alfian berseru sambil menunjuk ke arah jendela kaca yang menghadap langsung ke halaman belakang.
Airin mengangguk paham. Wanita itu kembali menimang Angela yang tidak berhenti menangis sejak mendengar bentakan Alfian di depan tadi.
Airin menghela napas panjang beberapa kali sampai ia menyerah dan menatap Alfian.
"Apa tidak ada pelayan di rumah ini. Dia terus menangis, aku bingung, Al!"
"Kau taukan kalau ini masih libur panjang. Para pelayan sedang pulang kampung. Kau sendiri yang menyetujuinya bukan?"
Airin bergumam pelan. Itu dia lakukan agar para pelayan tidak mengetahui tentang kehadiran bayi ini sebelum saatnya tiba.
Airin berencana memberi libur panjang sekitar tiga bulan sampai Maret. Tapi jika seperti ini keadaannya dia menyerah.
Airin belum pernah berurusan dengan bayi, dan Angela cukup merepotkan.
"Apa perlu kita panggil pengasuh malam ini?" saran Airin.
Alfian mengeling dengan cepat. "Kita tidak bisa mendapatkannya di malam-malam begini."
Selain masih suasana tahun baru. Mereka juga tidak bisa menemukan seseorang di malam berbadai ini.
Alfian menghela pelan. Tangisan Angela masih terdengar di dalam ruangan ini. Memecah keheningan dan juga membuat suara tetesan hujan yang bergemuruh semakin mencekam.
'Apa mungkin dia menangisi ibunya di luar sana?'
Alfian langsung mengeling seketika ketika pemikiran itu mulai terlintas di kepalanya. Si bayi masih kecil, tidak mungkin dia mengerti jika ibu kandungnya telah menderita.
Alfian mendekat. Laki-laki itu berencana untuk mengambil alih bayi Angela dari gendongan Airin.
Saat menyentuh tubuhnya, Alfian tersedak kaget. Matanya melotot sempurna, "Bayinya demam!"
Airin berubah pucat, "Ba-bagaimana ini, aku tidak ingin kehilangannya. Alfian lakukan sesuatu!!"
"Tenang Ai!! Tenang, dia hanya demam. Itu sudah biasa untuk bayi."
Airin menggeleng, "Bagaimana jika dia meninggal. Aku tidak mau kehilangan bayinya seperti aku kehilangan dia."
Airin langsung menepis tangan suaminya ketika laki-laki itu ingin mengambil alih Angela. "Jangan ambil dia!"
Degh ....
Alfian terdiam. Dia menyuruh sang istri untuk duduk di atas kasur, menenangkan diri terlebih dahulu.
Laki-laki itu membujuk Airin untuk memberikan bayinya. "Tenang Ai! Kita sudah melewati ini bukan?"
Airin mengangguk.
"Kita akan baik-baik saja setelahnya." Alfian berseru lembut. "Sekarang panggilkan dokter, biar Angela segera ditangani."
Bersambung ....