-Terjebak Dendam Masa Lalu-
"Naomi! Naomi! Dengar." Alfian melepaskan pelukannya, mengguncang pundak Naomi dengan lembut, seraya menatapnya.
"Semua akan baik-baik saja. Tidak ada yang akan memisahkan kalian, kau masih bisa melihatnya di beberapa waktu. Airin tidak akan keberatan dengan itu."
Naomi menggeleng. Itu artinya bayinya akan tetap diambil bukan.
"Jangan Al, please. Hanya Angle yang aku punya," pinta Naomi. "Dia putriku, hanya putriku. Kau tidak berhak mengambilnya, kau bukan siapa-siapa untuk Angel."
'Dia akan dipisahkan ... putrinya little angel-nya.'
Naomi bergumam tidak jelas dalam hatinya. Ketakutan langsung membuat reaksi aneh yang memicu untuk melawan.
"Kalian tidak bisa melakukan itu!! Anggel tidak bisa kalian rebut!!"
"NAOMI !!" teriak Alfian, laki-laki itu mencekram kuat-kuat tangan Naomi yang mengamuk kesetanan. Naomi menendang kakinya kuat-kuat, bantal-bantal dan selimut berjatuhan di lantai. Jarum infus yang awalnya tertancap di tangan Naomi kini terlepas dengan paksa, meninggalkan bekas dengan darahnya mulai mengalir keluar.
"Naomi dengar!" Alfian menggoyangkan tubuh sang istri pelan, "Semua baik-baik saja, Angel akan diasuh oleh Airin, dan kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan. Bagaimana dengan melanjutkan lagi kuliahmu yang tertunda, semua biaya aku yang menanggungnya. Kau akan tetap menjadi istriku, aku tidak akan menceraikanmu, tapi status Angela akan berubah menjadi anakku dan Airin, " ucap Alfian tenang.
Dia sudah menduganya jika Naomi akan bereaksi seperti ini, Ibu mana yang mau dipisahkan dengan Putri kandungnya sendiri. Tapi Alfian tidak punya pilihan lain, baginya Airin jauh lebih penting.
Alfian menghela pelan saat Naomi mulai tenang, "Pikirkanlah! Aku dan Airin masih bisa menawarkan beberapa hal untukmu. Semua akan baik-baik saja. Aku tidak memisahkanmu dengan Angel. Hanya hak asuh dan statusnya saja." Alfian memberitahu.
Naomi melepas kasar cengkeraman suaminya, napasnya memburu, darahnya berdesir kuat, "Kau pikir aku mau menjual anakku sendiri," ucap Naomi tertahan.
"Anak kita," ralat Alfian.
Naomi mengeling. "Kita tau betul Al, bahwa Anggel bukan putrimu. Bahkan aku sendiri tidak tau siapa ayah biologisnya."
"Justru itu. Apa kau mau menanggung malu ketika orang lain menanyakan dimana ayahnya? Tidak bukan. Jalan terbaik adalah dengan memberikan Angela ke Airin."
Alfian menghentikan ucapannya. Menarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan. "Ingat Naomi, Airin bukan orang penyabar. Tiga hari sudah lebih dari cukup untuknya."
Naomi berusaha sangat keras menahan air matanya agar tidak tumpah ketika menatap Alfian.
"Kalau begitu ceraikan aku. Jangan harap kalian bisa mengambil bayiku begitu saja! Kau pikir dengan bersikap baik selama ini membuatmu berhak atas bayiku?" Naomi menggeleng, "Kau sama sekali tidak ada hak untuk itu, tuan Alfian Adams! Sekarang pergi dari kamarku. Aku ingin istirahat."
Setelah mengatakan itu Naomi langsung berbaring dan memunggungi sang suami begitu saja.
Alfian menghela pelan. "Aku harap kau memikirkannya lagi Naomi. Atau Airin akan bertindak jauh lebih kejam dari ini."
Air matanya mengalir membasahi pipinya, setelah Alfian pergi dari ruang perawatannya. Suara tangisan Naomi memenuhi seluruh sudut ruangan itu, hidupnya tidak pernah mengalami kemajuan. Cintanya selalu saja bertepuk sebelah tangan.
Naomi menggenggam erat selimut yang hampir terjatuh ke lantai. Nyaris dua jam dia terdiam dalam keadaan dan posisi yang sama.
Naomi tidak bisa memikirkan hal logis untuk beberapa saat. Pikirannya dipenuhi oleh perkataan Alfian tadi. Apa yang akan terjadi setelah ini.
Apa mereka benar-benar akan membawa putrinya?
Naomi mengerling pelan, dia tidak rela jika harus dipisahkan dengan putrinya. Naomi mengusap pelan wajahnya dengan sigap dia turun dari ranjang, langkahnya terhuyung-huyung, jalannya tidak stabil.
Wanita itu berpegangan di ujung ranjang, lalu berjalan sambil menyusuri dinding.
Naomi membuka pintu ruangannya, menyusuri lorong panjang yang dipenuhi oleh pasien-pasien. Mereka membawa tiang infusnya dan beberapa dari mereka juga menggunakan kursi roda yang didorong oleh suster. Naomi berhenti pada sebuah ruangan yang dia cari-cari dari tadi.
'Ruang NICU.'
Naomi tersenyum kecil saat netranya menangkap puluhan bayi yang berada dalam Inkubator. Mereka begitu kecil dan lemah, dengan mata terpejam seakan menikmati tidurnya.
Perasaan Naomi langsung menghangat, dia yakin jika Putri kecilnya juga berada dalam ruangan ini, ruangan khusus, karena putrinya terlahir dalam kondisi prematur.
Netra Naomi menyusuri satu persatu bayi yang berada dalam box khusus itu. Perasaannya mulai was-was Naomi rasakan ketika ia tidak menemukan Putrinya.
'Mana Angela-Nya?' gumam Naomi.
Naomi langsung gusar. Ia mencari-cari suster yang berjaga dan menanyakannya dengan cepat.
"Maaf Nyonya. Kami tidak mengerti apa yang anda katakan tapi saya akan menanyakannya pada para rekan yang bertugas di NiCu." si perawat memberitahu.
"Tolong cari tau dengan cepat." Naomi mendesak. Wanita itu sudah merasakan firasat buruk ketika tidak melihat bayinya di ruangan tadi.
Waktu terus berjalan cepat. Si perawat yang tadi berjanji untuk menanyakan perihal bayinya belum kembali, padahal ini sudah lebih dari dua puluh menit.
Naomi merasa semakin tidak nyaman. Pikiran buruk memenuhi benaknya. Wanita itu menggigit ujung jarinya dengan tidak sadar.
Pandangannya menyipit penuh curiga. Sampai dua orang perawat mendorong troly yang berisi bayi untuk masuk kembali ke dalam ruangan.
Naomi refleks mendekap. Wanita itu berlari seolah sedang mengejar sesuatu. Tingkah Naomi tidak luput dari pandangan dua perawat yang justru menatapnya curiga.
"Kembalikan bayiku!" Naomi berseru. Wanita itu nyaris mengeluarkan bayinya dari dalam tabung sebelum sang perawat menghentikannya.
"Apa yang anda lakukan, Nyonya!"
"Kembalikan anakku! Kembalikan putriku." Naomi berteriak histeris. Bayangan bayinya yang akan diserahkan pada orang lain membuat Naomi bertindak aneh.
Kedua perawat berusaha menenangkan walaupun tidak ada hasilnya sama sekali. Naomi masih bersikeras sedangkan kedua perawat sudah kewalahan.
Mereka tidak mungkin membiarkan Naomi yang berusaha mengeluarkan bayinya dari inkubator. Itu bisa berbahaya.
"Nyonya, tolong bekerjasamalah."
"Tidak!! Kalian ingin mengambil bayiku bukan, mengaku saja!" teriak Naomi kasar. Salah satu perawat mengeling, "Nyonya kami ini perawat bukan penculik bayi."
Naomi Masih bersikeras, "Kebalikan putriku!!"
"Nyonya, tenangkan diri anda. Coba lihat baik-baik. Ini bukan bayi Nyonya."
Naomi terdiam. Wanita itu menoleh sekali lagi, kembali menatap ke arah bayi yang ternyata bukan bayinya.
Naomi masih ingat jelas rupa bayinya yang cantik. Surai pirang yang tipis dan kulit pucat membuatnya semakin menawan.
Naomi mundur beberapa langkah. Bayi yang berada di inkubator itu bukan bayinya.
"Ini bayi laki-laki Nyonya, dia bukan putri anda, maaf." Si perawat merasa bersalah ketika raut Naomi berubah memucat.
Naomi mengeling, "Lalu kemana bayiku?" tanyanya.
Kedua perawat saling berpandangan satu-sama lain kemudian menoleh. "Siapa nama bayi Nyonya? Mungkin kami bisa mencarkannya di dalam."
Naomi menggeleng, "Bayiku tidak ada di dalam."
"Apa-"
"Ada apa ini? Kenapa ada keributan di depan ruangan bayi!"
Bersambung ...