Chereads / Terjebak Dendam Masa Lalu / Chapter 8 - Bab 8-Undangan Reuni

Chapter 8 - Bab 8-Undangan Reuni

-Terjebak Dendam Masa Lalu-

Janji seorang laki-laki itu bisa terlihat seperti ranting kokoh atau juga bisa menjadi daun tua yang sudah menguning dan menunggu untuk terjatuh.

Matahari baru saja menampakkan diri ketika Naomi bangun. Ia melirik tempat tidur di sampingnya. Alfian masih ada di sana, meringkuk memunggunginya.

Naomi menghela nafas pelan. Waktu berlalu dengan cepat. Alfian berubah dengan artian lebih baik. Suaminya lebih sering menghabiskan waktu di rumah, nyaris tiga hari dalam seminggu.

Tapi tetap saja Alfian tidak pernah menyentuhnya, tidak pernah memberikan nafkah batin padanya. Hanya sikapnya yang berubah menjadi tidak kaku lagi seperti sebelumnya.

Mereka tidak lagi membicarakan tentang anak ataupun bayi tabung. Semua berjalan santai dan seperti biasa. Naomi juga tidak pernah bertanya.

Naomi memejamkan matanya. Diam beberapa saat kemudian langsung beranjak turun dari kasur, ke kamar mandi sebelum melangkah ke dapur.

Sesampainya di dapur ia tercengang ketika mendapati dapurnya bersih. Tapi bukan dalam artian yang baik.

"Habis?" Naomi bergumam. Wanita itu mendesah pelan ketika mendapati kulkasnya kosong. Benar-benar kosong melembung.

Naomi teringat jika dia jarang memasak di rumah selama ini. Dia lebih suka makan di luar karena malas.

Naomi langsung beranjak dan bergegas mengambil jaket juga dompetnya.

"Mau kemana?"

Alfian tiba-tiba muncul di belakangnya. Membuat Naomi nyaris jantungan. Wanita itu mengusap dadanya. Menetralkan detakan jantung yang tiba-tiba berdebar kencang..

"Kau mengagetkan ku, Al!" seru Naomi.

Alfian mengerutkan alisnya. Melangkah mendekat saat istrinya mencari-cari kantong belanjaan. "Ambilkan aku jaket Al," serunya.

Alfian dengan cepat kembali ke kamar untuk mengambilkan benda yang disebutkan oleh istrinya itu.

"Sekalian sama dompet!" teriak Naomi lagi ketika sang suami sudah berada di depan pintu kamar. Laki-laki itu bergumam pelan.

Setelah mengambilkan jaket Naomi. Alfian menyerahkannya. "Memang kau mau kemana?" tanyanya lagi.

"Minimarket, isi lemari es kita kosong."

"Naik apa?"

"Jalan kaki, memangnya apa lagi?" Naomi memasukkan tangannya ke dalam lengan panjang jaket itu dengan bersusah payah.

Wanita itu sempat melirik suaminya sekilas. Ada raut berbeda dibandingkan biasanya.

Naomi kebingungan. Alfian menatapnya seperti dia adalah seorang wanita malang yang perlu dikasihani juga merasa bersalah.

Naomi menghela nafas pelan. Lagi pula ini apa yang aneh. Berjalan kaki adalah kesehariannya selama ini. Lagi pula jarak antara rumah mereka dan minimarket tidak terlalu jauh.

"Aku antar," seru Alfian cepat. "Tunggu aku ambil kunci dulu."

Naomi terdiam beberapa saat. Otak kecilnya berpikir cepat. Belum sempat ia mencerna semuanya Alfian sudah berlalu, kembali ke kamar.

"Apa tadi? Al menawarkan untuk mengantar?" tanyanya pada diri sendiri.

"Mustahil ...." gumamnya.

Alfian benar-benar berubah beberapa minggu ini. Bahkan dalam mimpinya sekalipun Naomi tidak pernah menyangka jika Alfian menawarkan diri untuk mengantarnya belanja. Padahal biasanya suaminya itu sama sekali tidak peduli.

"Kita berangkat sekarang?"

Alfian muncul tidak jauh dari hadapannya dengan pakain rapi, tampak gagah dan menawan. Lamunan Naomi langsung buyar seketika. Kemudian mengangguk canggung.

"I-iya ..." cicitnya.

--------------

Setelah Naomi pergi ke minimarket terdekat untuk membeli bahan makanan bersama Alfian selesai. Naomi terlihat berada di point cafe yang ada di depan minimarket itu.

Wanita itu tengah duduk di kursi yang ada di pelataran minimarket tersebut sembari menikmati minuman coklat miliknya. Kedua mata Naomi tak henti mengedarkan pandangan ke sekitar. Ia tengah menantikan sosok suaminya yang pamit mencari barang yang tidak ada di sana sejak dua puluh menit yang lalu.

"Kenapa lama sekali?" Entah sudah beberapa kali Naomi membaca jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Hawa dingin pagi sudah berubah lebih hangat dibandingkan tadi.

Naomi mendesah pelan. Ia tidak membawa ponsel ataupun sesuatu yang bisa menghubungi Alfian.

"Naomi?"

Naomi menoleh ketika merasa seseorang memanggil namanya.

"Naomi bukan?"

Naomi mengerutkan alisnya. Seorang wanita berambut pendek terlihat berjalan cepat menghampirinya.

Naomi menyipitkan matanya penuh curiga. "Siapa?" tanyanya pelan. Wanita itu malah tertawa lebar. Dia duduk di kursi samping tanpa meminta persetujuan dari ampunya.

"Fix, kau benar-benar Naomi. Karena hanya dia yang melupakan sosok lain dengan cepat, well tidak ya. Setidaknya ada satu yang tidak kau lupakan dengan cepat." Wanita itu terkekeh.

"Mona?" tanya Naomi tidak yakin.

Naomi mulai mengingat ingat bagaimana rupa Mona saat masih sekolah menengah dulu.

Tubuh gendut dengan rambut hitam keriting yang mekar. Tapi sekarang?

Naomi merasa melihat orang lain saja. Di depannya itu adalah sosok bidadari cantik dengan tubuh langsing, rambut pirang lurus dan sedikit bergelombang dengan softlens abu-abu yang menawan.

"K-kau benar-benar Mona? Monalisa yang itu?" tanya Naomi.

"Yah ... kenapa? Tidak mirip bukan?" Wanita bernama Mona itu terkekeh seraya melambaikan tanganya.

"Kau sangat cantik sangat berbeda dengan yang dulu."

Mona tertawa lembut. "Ekspresimu lucu tau." serunya. "Ngomong-ngomong sedang apa kau di sini?"

"Belanja. Memangnya apa lagi?"

Mona menggeleng, "Rasanya aneh mendapatimu di sini. Biasanya kau lebih menyukai nongkrong di restoran cepat saji. Menikmati ayam dengan air mineral dibandingkan kopi." Mona mengatakannya lewat lirikan ke arah kopi yang di pesan Alfian, suaminya.

Naomi tersenyum kecil. Jika ia tidak mengakui, itu sama saja dengan mengatakan hubugannya dengan Alfian.

"Err .... anggap saja ingin mengubah suasana." seru Naomi canggung.

Beruntung Mona tidak membahas sesuatu hal. Wanita itu mengambil sebuah kertas dari tasnya kemudian meletakakm itu di atas meja.

"Apa ini?"

"Undangan reuni, memangnya apa lagi?" Mona berseru. "Kau datangkan. Itung-itung ketemuan sama teman lama. Siapa tau ketemu jodoh," guraunya.

Naomi terkekeh pelan temannya itu jelas tidak mengetahui jika dirinya sudah menikah dan memiliki seorang suami.

"Aku tidak yakin. Mungkin aku bicara dengan seseorang dulu."

Setelah perbincangan kecil itu selesai. Alfian datang sambil membawa beberapa belanjaan.

"Maaf lama, antrian di kasir panjang." Alfian menjelaskan. Naomi hanya tersenyum seperti sebelumnya.

"Kopiku masih ada?" Alfian tidak sengaja melirik meja sang istri. Dimana terdapat kertas undangan yang cukup unik.

"Apa ini?" tunjuknya.

"Ahh ... itu undangan reuni."

"High school?"

Naomi mengangguk pelan, mengiyakan. "Apa kau mau pergi bersamaku?"

Alfian terdiam dalam beberapa saat, berpikir keras sebelum mengerutkan pandangannya. "Aku rasa tidak bisa. Jadwalku padat. Maaf ..."

"Tidak masalah. Lagipula aku juga tidak ingin ikut."

Sejak awal Naomi memang merasa tidak mau ikut kecuali suaminya ikut. Alfian sudah memutuskan untuk tinggal di kantor, jadi tidak ada gunanya dia ikut ke acara reuni-an.

Buang-buang waktu saja. Selain itu Naomi juga tidak punya banyak teman yang bisa dia lakukan untuk dijumpai selain Mona tentunya.

"Baiklah sudah diputuskan untuk memilih tetap tinggal di tempat ini dibandingkan mengikuti acara reuni tempat lain."

Bersambung ....