Bab 8
Genggam Duniamu
"Juna!" kata Mas Bimo tampak terkejut.
"Juna?" aku ikut heran sambil melihat sosoknya yang sedang mengusap matanya.
"Biasa aja kali Bim. Kaya liat setan aja loe!" ucap Juna lalu mereka saling berpelukan.
Juna memicingkan mata saat melihatku dan perlahan melepas pelukan Mas Bim.
"Kaira?" herannya sambil menatapku.
"Hai Juna!" sapaku sambil memeluknya sekilas.
"Aku masuk duluan!" kataku sambil memasuki rumah.
Juna melihatku dengan heran.
"Kaira? Anak itu ada apa dengannya?" katanya balik menatap Mas Bimo.
"Ah. Abaikan dia. Gimana dengan loe!" kata Mas Bim mengalihkan perhatian.
Lalu hanya sayup yang dapat kudengar dari percakapan mereka. Kukira pasti dia akan bertanya tentangku lebih jauh ke Mas Bimo.
***
"Masih ingat pulang kamu!" tegur papa sebelum makan malam dimulai.
Jika Minggu lalu adalah makan malam bersama keluarga Wijaya sekarang adalah makan malam keluarga Gigih Wijaya.
Dan kebetulan anggota keluarga ini lengkap dengan kehadiran Juna. Jadilah dia menjadi pusat perhatian.
"Yah. Sejauh-jauh burung terbang akhirnya pulang ke sarang juga kan Pa!" sahut Juna cuek.
"Jadi ke mana saja kamu?" kali ini mas Yudi angkat bicara.
"Kalian juga pasti tahu aku ada di mana setahun ini!" katanya sambil melirik ke arah Papa.
"Baiklah. Sekarang giliranmu Bimo memimpin doa!" perintah papa melihat pegawainya yang telah memberi kode bahwa makanan telah tersaji semua.
Bimo berdecak tapi patuh dan mulai menunduk.
"Syukur kepada Allah karena berkat dan karunia-Nya kita berkumpul dan menikmati rezeki yang berlimpah. Semoga Allah selalu bersama kita. Amin" rapal mas Bimo singkat, dia bisa berdoa juga?
"Amin"
"Selamat makan semua!" Lanjutnya. Aku melirik Mas Bim sekilas.
"Jangan melihat gue seperti itu?"
Bisik mas Bimo pelan sambil menghadap padaku.
"Bimo!" mama melotot ke arahnya seolah mas Bim baru saja melakukan kesalahan besar.
Dan mas Bimo kembali menikmati makanannya dengan tenang.
Seperti makan malam di keluarga Wijaya kemarin tak ada suara keluar dari kami. Hanya denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring.
Satu persatu kami selesai makan.
"Sebenarnya apa yang loe lakukan di negara-negara itu setahun ini?" tanya Mas Bim pada Juna yang duduk persis di sebelahnya.
"Bikin album foto!" jelasnya sambil tersenyum manis.
"Bukan melarikan diri dari kami?" cerca Mas Yudi sambil menyesap kopi yang dipesannya dari Bu Harti.
"Bukan!" jawab Juna segera.
"Bukan karena merasa gagal!" sahut Papa segera.
"Pah! Aku sudah menebusnya. Ingat!" Juna lalu cemberut.
Papa hanya mengangkat bahu.
"Lalu kenapa kamu tidak pamit dan kasih kabar?" kata Mama kali ini ikut angkat bicara.
"Kalian juga tidak coba kasih kabar! Bahkan pernikahan Bimo pun aku tak tahu." Kelit Juna.
"Kami tahu kamu berada di negara mana. Tapi kamu sendiri yang selalu menghindari orangku jadi mau gimana!" ujar papa.
"Aku hanya ingin bebas Pah!" bela Juna.
"Apa kebebasan yang kami berikan belum cukup membuatmu merasa bahagia?" kata mama tampak murung.
"Ayolah mah. Tidak begitu kok! Kebebasan yang berbeda! Di sini yang menginginkan kebebasan!" Juna menunjuk dadanya.
"Loe berhutang maaf ke kami. Terutama mama!" ujar Yudi.
"Maafkan aku pah mah!" Kata Juna. Mama yang duduk persis di depan Juna hanya tersenyum dan papa hanya mengangguk dan mengusap kepala Juna.
"Sama kami?" kata mas Yudi lagi menunjuk dirinya dan mas Bimo.
"Perlu?" sengit Juna.
"Banget!" kata Mas Bimo.
"Oke maaf ya Bro!" kata Juna enggan.
Suasana cair di meja ini terlihat sekali kebahagiaan. Komunikasi yang mereka bangun sangat nyaman dan lugas. Jika aku mencari keluarga tempat pulang maka aku menginginkan hal yang seperti ini. Yang tidak saling menyalahkan tapi saling memperingatkan saat kita melakukan kesalahan.
Aku ikut menikmati obrolan selepas makan malam ini walaupun hanya menjadi pendengar. Ini cukup menghiburku.
"Farah ingin mengatakan sesuatu!" ucap Mas Yudi menyenggol Mbak Farah.
Kami langsung menoleh ke arah mbak Farah yang tampak ragu.
"Mas?" katanya melirik ke suaminya seperti terlihat berkompromi.
"Ayolah Fai!" dukung Yudi.
"Hem" papa berdehem. "Katakan Farah tak usah sungkan!" perintah papa.
"Saya Cuma mau menyampaikan kalau sekarang...." Mbak Farah tampak merangkai kalimatnya. "Saya sedang mengandung."
Yudi tersenyum bahagia dan senyumnya menular ke kami.
"Selamat Mbak Farah mas Yudi." Kataku.
Dan kemudian semua mengucapkan selamat.
Kebahagiaan keluarga ini nyaris sempurna.
**
"Tok-tok!"
Tak biasanya seseorang mengetuk pintu kamar selepas makan malam begini.
Aku menghampiri pintu dengan enggan dan membukakan pintu.
"Hai Kai. Eh salah Ipar!" katanya tersenyum.
"Ya Juna ada perlu apa?" tanyaku santai.
"Bimo ada?" tanyanya.
"Enggak ada! Sudah berangkat mabuk kali." Sahutku cuek.
"Begitu! Selamat malam Kai!"
Juna menatapku sambil tersenyum lembut padaku sebelum aku menutup pintu.
Dan apa-apaan dia. Atau aku yang salah menilai kepeduliannya.
Ah. Aku memegang dadaku yang mulai sesak. Sadar Kaira!
Aku merebahkan badanku dan menerawang jauh. Memikirkan kembali masa depanku. Kurang dari dua tahun lagi, usiaku dua satu dan aku yakin ketika saat itu tiba aku tidak lagi perlu bergantung pada keluarga Wijaya.
Aku bahagia terlepas dengan sifat dan tingkah laku mas Bimo. Tapi aku tak bisa terus bergantung beginikan. Perusahaan papa pasti membutuhkanku, aku sekarang tengah mempersiapkan diri untuk itu. Jika suatu saat mas Bimo memutuskan untuk menceraikanku. Aku harus mempersiapkan mental ku untuk hal terburuk.
Aku tak bisa berbuat apa-apa terlepas janjinya dulu padaku untuk tidak akan menceraikanku.
Apa aku bisa memegang janjinya?
Dan jika aku ingin menggugat cerai mas Bimo maka aku harus menyiapkan pria dengan kekayaan yang melebihi kekayaan klan Wijaya.
Ini gila sebenarnya, karena harta kekayaan klan Wijaya semakin kesini semakin melejit dengan perlahan. Dan keluarga mana yang kira-kira bisa disejajarkan dengan mereka.
Bachtiar Grup, D&K Grup, Sinar Grup, Win Group.
Yah, ternyata pengamatan Renata tentang peta bisnis di negeri ini sangat mendetail. Bahkan Sam-H milik keluarga Restu pun berbeda level. Ini menjadikanku sulit untuk lepas dari Mas Bimo.
Kenapa duniaku tidak berada di genggamanku? Sehingga aku bisa mengontrol semua hidupku.
Ya, dunia itu memang kepunyaan Tuhan.
Entah jam berapa pintu kamar dibuka. Aku terbangun segera, melihat jam di meja lampu jam 2.30
Hebat, jam segini sudah teler?
Tapi Mas Bim tampak masih sadar sepenuhnya dan tidak mabuk. Dia berjalan dengan perlahan.
"Kenapa Kai. Tidurlah lagi. Tenang saja gue enggak minum hari ini." Ucapnya sambil merebahkan tubuhnya di sisi ranjang yang kosong.
"Syukurlah!" aku membanting tubuhku ke kasur lagi dan membalik tubuhku membelakangi mas Bimo.
"Belakangan sikap mas Bim berubah?" kataku masih membelakanginya.
"Loe suka?" katanya.
Aku membalik tubuhku menghadapinya yang sedang menerawang menatap langit-langit.
"Biasa aja."
"He. Baguslah. Gue cuma ingin bujuk papa agar gue bisa balik ke apartemen!" ungkapnya lalu membalik tubuhku agar membelakanginya.
"Selamat malam!" ucapku perlahan sambil memejamkan mataku.
*