Bab 14
Jalan Sesa(a)t Kita (2)
Kaira POV
Kami akhirnya duduk di tepian pantai di atas berbatuan. Lama dan kami hanya sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
"Kita pulang Jun!" ajakku.
Aku mengeluarkan Hp dan menghubungi pak Umar minta dijemput. Tapi dia sedang mengantar Mama Mia ke Bandara.
"Gimana?" tanya Juna yang masih asyik memandang lautan.
"Pak Umar lagi anter mama!" Jawabku lesu. "Kita naik taksi aja!" kataku.
"Tidak! Gue enggak suka naik taksi. Gue akan hubungi Bimo!" ucap Juna.
Lalu dia menghubungi Bimo.
Kami menunggu lama satu jam lebih. Duduk di bangku sepanjang pantai.
Hp Juna berdering Juna mengangkatnya dan tampak memberi instruksi.
"Ayuk Kay. Bimo sudah sampai!" katanya dan membantuku berdiri.
Aku melihat mas Bimo bersandar di depan mobilnya dan menikmati sebatang rokok.
"Bim!" kata Juna setelah dekat.
"Kalian merepotkan!" sengitnya lalu mematikan rokoknya dan masuk ke dalam mobil dan duduk dibalik kemudi.
"Depan Kai. Gue capek mau tidur!" ucap Juna membuka pintu mobil belakang dan langsung masuk. Aku terpaksa masuk ke depan dan duduk di samping mas Bim.
Mas Bim segera menggas mobilnya melajukannya keluar Ancol.
"Menyenangkan?" tanyanya menoleh padaku.
"Begitulah!" kataku sambil tersenyum.
"Jun. Loe puas sekarang!" ucap mas Bimo menengok ke belakang dan aku juga refleks menoleh juga. Juna tak menjawab. Juna sudah terbaring menghadapkan ke belakang kemudi.
"Hah. Gitu aja tepar! Payah!" kataku mengejek lalu beralih ke depan kembali.
Mas Bimo telah berkonsentrasi kembali mengemudi.
"Kenapa dia Key?"
Tanya mas Bim setelah memasuki Tol. Aku hanya mengangkat bahu.
"Loe enggak ngomong yang bikin sakit hatinya kan. Loe tahu dia sensitifnya melebihi cewek." Jelasnya menuduhku.
"Sempat sedikit meledeknya sih!" isengku.
"Ampun.. Kalian memang masih pada bocah! Kerjanya merepotkan orang saja." Keluhnya.
"Enak aja!" aku merenggut kesal.
Mas Bim tersenyum sekilas dan mengacak rambutku. Kejadian langka!
"Loe senang hari ini?" tanyanya mengulangi pertanyaan yang pertama.
"Tentu! Tak ada yang lebih menyenangkan dari hari ini." Kataku sambil menguap.
"Tidurlah. Perjalanan masih lama." Katanya dan aku menuruti perkataannya karena memang rasanya badanku remuk dan capek.
***
Aku terbangun keesokan paginya dan mendapati tubuhku terbaring di tempat tidur seingatku aku tertidur di mobil. Aku mengusap kepalaku dan mencoba mengingat apa yang mungkin kulupakan tapi yang datang malah siluet itu.
Aku berdesah resah.
Aku tak mendapati mas Bim di sampingku. Aku bangun dan mencari sosoknya, kutemukan dia tertidur di sofa. Kenapa sejak kemarin dia tidur di sofa?
Aku masih mengenakan kaos Dufan yang konyol, aku tersenyum dan masuk kamar mandi.
Aku keluar kamar mandi dan mendapati mas Bim yang sudah bangun dengan muka kusutnya.
"Pagi Mas. Aku mau bikin teh kamu mau dibuatkan sesuatu?" kataku sambil melempar handuk di bak cuci dan membawa keranjang cucinya.
"Kopi please! Jangan yang instan ya!"
"Sip!" kataku.
Aku keluar sambil membawa keranjang cucian.
Menuju tempat cuci dan meletakkannya.
Kemudian beralih ke dapur dan menjerang air.
"Non mau bikin apa? Biar saya saja?" suara Bu Narti mengagetkanku.
"Tidak usah Bu. Cuma mau bikin teh dan kopi saja." Tolakku sambil mengambil mug di rak atas.
"Buat Den Bimo?" tanyanya sopan. Aku mengangguk.
Bu Narti lalu mengambil stoples berisi kopi dan gula. Dan memberitahuku racikan kopi kesukaan mas Bimo.
Aku menurut dan mengulangi apa yang dikatakannya.
"Kok baru sekarang belajar non?" tanyanya.
Aku sibuk memasukkan madu ke dalam mug ku sendiri setelah selesai membuat kopi.
Aku tersenyum sekilas.
"Mas Bimo tidak pernah minta!" jawabku asal sambil membawa dua mug ditanganku.
"Perlu saya bawakan?" Bu Narti menawarkan bantuan.
"Enggak Bu. Makasih sudah diajari bikin kopi." Kataku lalu meninggalkannya.
Aku menyerahkan mug kopi pada Mas Bimo yang sedang menghadapi macbooknya.
"Rajin banget sih!" aku duduk di sofa bersamanya.
"Jangan berisik!" katanya sambil menyesap kopi.
Dia tertegun sejenak.
"Loe yang bikin kopi?" tanyanya.
Aku mengangguk sambil menikmati teh maduku.
"Bohong banget!" dia kembali menyesap kopinya.
"Tanya Bu Narti aja." Kataku sambil berdiri membawa mug tehku.
"Ambekan!" katanya sambil tersenyum.
Aku malah mencibir.
"Makasih buat kopinya." Ucapnya.
"Silakan berterima kasih sama Bu Narti!" sinisku dan keluar kamar.
Baru beberapa langkah dari pintu kamar, mas Bimo memanggilku.
"HP-mu. Restu Sam!" katanya menyusulku dan menyerahkan Hp ke tanganku dan kembali masuk kamar sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana pendeknya.
Aku segera mendekatkan Hp ke telingaku dan diujung sana Kak Restu mulai menyapaku.
"Kay!"
"Ya kak!"
"Gimana acaranya?"
"Lancar."
"Baguslah. Kay?"
"Yah."
"Kok Bimo yang jawab teleponmu?"
"Iya HP-nya di kamar aku lagi keluar jadi dia yang angkat. Kenapa?"
"Kalian sekamar?"
"Kami kan suami istri kak. Wajar kalo kita sekamar. Mas Bimo tidak tertarik padaku, kakak tidak usah khawatir! Dia tidak akan macam-macam."
"Tapi tetap aja dia laki-laki Kay!"
"Kak. Sudahlah tidak usah dibahas lagian dia tidur di sofa kok!"
"Iya.. Makan siang bareng yuk Kay?"
"Aduh kak! Kay lagi tak enak badan."
"Kamu sakit? Mau dibelikan obat?"
"Enggak usah kak. Besuk aja ya kak kita jalannya ya. Gimana kalo menonton."
"Ya sudah. Kamu istirahat enggak usah pikirkan jalan lagi."
"Hem!"
"Miss you Kay!"
"Me Too kak!"
Aku menutup telepon dari kak Restu. Dan berjalan menuju serambi rumah dan duduk di kursi rotan panjang dekat kolam.
Meneguk teh dari mug ku dan memandang langit yang mulai cerah karena matahari yang mulai meninggi.
Aku tertegun mencoba menata hati dan kewarasanku. Menilai dan menimbang norma yang kumiliki. Aku tak ingin berjalan dalam kesesatan. Tapi hatiku selalu membimbingku ke sana.
Jika cinta bukanlah kesalahan, lalu apa yang kurasakan kini juga bukan merupakan kesalahan?
Aku tak mau ambil pusing tapi setiap kali aku mencoba melupa justru yang terjadi sebaliknya.
"Non. Ada seorang wanita di luar katanya teman non." Kata Satpam rumah yang datang menemuiku.
"Siapa?" tanyaku.
"Katanya namanya Renata." Jelasnya.
"Persilahkan masuk pak!" kataku sambil berdiri dan mengikutinya dari belakang.
Satpam yang namanya pak Dedi langsung membukakan pintu gerbang dan mempersilahkan Renata masuk.
"Ren! Katanya loe ada acara keluarga mau ke Tidung kan?" tanyaku heran mendapati dia berada di sini.
"Jangan bahas itu! Gara-gara pak presiden itu papa membatalkan semuanya!" kesalnya.
"Hasil pleno yang loe cerita kemarin?" tanyaku justru antusias.
"Sudahlah Kai jangan bikin aku naik pitam! Dasar politikus bisanya Cuma bikin janji, sampai sama anak sendiri aja ingkar!" gerutunya.
"Bukannya kamu juga berambisi jadi politikus juga?" sindirku sambil membimbingnya masuk rumah.
"Kecuali aku!" dia membela diri.
"Iya." Kataku sambil menepuk bahunya.
"Sudah sarapan belum? Sarapan yuk!" kataku mengajaknya ke meja makan.
"Asyik. Kenalkan aku sama mertuamu ya!" lagaknya mulai beraksi.
"Mertuaku lagi ke luar kota." Kataku memberi informasi.
"Yah. Dua-duanya?" katanya lesu.
"Ya!" aku mempersilakan dia duduk sementara aku memanggil mas Bimo dan Juna.
Aku mengetok pintu dan memanggil mas Bimo yang hanya di iyakan.
Kemudian beralih ke arah kamar Juna dan mengetok pintunya.
"Yah Kay!" katanya lesu setelah pintu terbuka. Dia mengusap matanya dan membuka matanya yang masih mengantuk.
Kulihat wajahnya yang terlihat pucat.
"Loe sakit Jun!" kataku memegang dahinya. Dia langsung menampik tanganku.
"Cuma capek aja!" ketusnya. "ada apa!"
"Sarapan bareng !" kataku ikut ketus lalu melenggang pergi. Sebegitunya dia memperlakukanku. Cukup mas Bimo saja yang bisa begitu padaku tidak dengan Juna.
Aku duduk dengan setengah kesal di meja makan.
Bu Narti menyiapkan kami sarapan berupa nasi goreng dengan telur omelet ke atas meja makan. Dan sesaat kemudian Yuyun datang dengan membawa jus apel.
Mas Bimo mulai mengambil nasi. "Jangan sungkan-sungkan? Siapa namanya?" katanya pada Renata.
"Renata kak!" kata Renata manis.
Aku mencibir pada Renata yang kelakuannya dibuat semanis mungkin di depan Mas Bimo.
Belum juga aku mengambil nasi, teriakan Abi menggelegar ke seluruh penjuru rumah.
"Sepupu! Aku boleh sarapan di sini ya!" katanya pada mas Bimo dan langsung duduk dan minum jus dari meja Mas Bimo.
"Hem!" Mas Bimo hanya berdehem sambil kembali menyendok nasi gorengnya.
"Eh ada Ayang Renata!" kata Abi dan mendapat pandangan sinis dari Renata. "Mau dapat asupan gizi juga ya!" godanya.
"Hem!" mas Bimo berdehem.
Abi langsung diam dan mengambil piring yang disediakan untuknya dari Yuyun.
Menuang nasi ke piring dan menyendoknya dengan mantap, seperti sebulan tak makan saja. Aku cuma menggeleng-gelengkan kepala.
"Pagi semua!" sapa Juna dan duduk di samping Abi. Mengambil piring dan menuang nasi dan menikmati sarapan dengan enggan. Kulirik Juna sekilas wajahnya sudah tidak sepucat tadi.
Aneh. Apa jangan-jangan dia vampir?