Bab 12
Saat Kita (Jatuh) Cinta
'Yang kulakukan sekarang adalah memastikanmu baik-baik saja.'
Kaira POV
Aku melihatnya sekilas dari balik kacamata bacaku dan kutelusuri sosoknya yang dengan santai memasuki kamar. Kenapa dia begitu kurus dan tirus? Apa yang dimasukkan ke tubuhnya? Aku rasa bukan asupan nutrisi tapi racun yang merusak tubuh dan jiwanya.
"Jadi?" Tanyaku perlahan sambil mengesampingkan notebook di depanku dan menghadapi Mas Bimo.
"Apa?" sahutnya santai.
"Nona Rosemary." Ucapku santai mengemasi tugasku yang berserakan di meja.
"Kenapa dengan Mey?" tanyanya acuh dan mulai melempar ranselnya ke sofa. Sejak kapan Mas Bim membawa-bawa ransel.
"Reaksinya?" kataku melepas kacamata bacaku dan melemparkannya di samping notebook. Kenapa komunikasi kami seperti ini? Tidak adakah kalimat yang lebih panjang.
"Seperti yang loe liat!" jawabnya santai sambil mengambil kaos oblongnya, dan segera menukar bajunya.
"Kadang yang terlihat bukanlah seperti yang terlihat!" kataku.
"Ngomong apa sih loe?" katanya sedikit agak bingung dengan ucapanku.
"Nona Rosemary!" ketusku.
"Loe tanya sendiri aja! Mey yang mengusulkan untuk bertemu sama loe." Jelas Mas Bimo pada akhirnya.
Aku beralih menuju sofa ikut duduk dengan mas Bim yang sekarang tengah mencoba menghidupkan notebook.
"Benarkah? Apa maunya?" kejarku.
"Maunya?" Mas Bimo tampak berpikir sejenak.
"Enggak tahu. Bukan urusan loe juga kan?" kata Mas Bimo sepertinya mendadak kesal. "Dan jangan mendekat. Jauh-jauh!" usirnya mendorong badanku menjauhinya.
Aku duduk menjauh dan mendapati mas Bim tengah asyik menekuni notebook nya.
"Kerjai apa?" tanyaku iseng.
"Skripsi!"
"Apa karena nona Rosemary Mas jadi bersemangat?" tanyaku sambil memandang wajahnya yang tampak begitu serius.
"Bisa jadi." Sahutnya tanpa mengalihkan perhatian dari macbooknya.
"Hah... Cinta memang membutakan." Kataku lebih pada diriku sendiri dan aku bangun dari dudukku dan beralih ke meja belajar untuk memasukkan keperluan kuliahku.
Aku tersenyum getir. Menertawakan diriku sendiri yang sangat ironis.
Sebelum merebahkan tubuh ke ranjang, kualihkan pandanganku sekilas ke mas Bimo.
Serta merta pandangan kami bertemu karena dia juga tengah melihatku.
"Kenapa?" tanyanya terlebih dahulu.
"Tidak! Selamat malam!" kataku menghindari sorot matanya yang kelam. Aku tidak mau bila berurusan lebih jauh dengannya. Aku merebahkan tubuhku.
Apa aku juga sedang jatuh cinta pada kak Restu?
Aku mengingat dan mencoba membayangkan kak Restu sambil memegangi dadaku.
Kenapa denganku?
Aku tak mau bermain-main seperti ini?
Benarkah ini yang kuinginkan?
*
Bimo POV
Dia itu bodoh atau masa bodoh sebenarnya?
Aku memang pernah kecanduan hebat dan berat tapi kenapa dia seolah lebih gila dari dugaanku.
Aku melihatnya tengah membereskan meja belajarnya lalu tiba-tiba saja bayanganku tentang si bodoh itu datang begitu saja. Kata-kata ajaibnya itulah yang membuatku mengalihkan perhatian dari tugas skripsi yang mulai kusentuh lagi setelah lebih dari setahun terbengkalai.
'Hah.. Cinta memang membutakan!' katanya segan.
Apa? Cinta buta?
Tidak lagi! Pertama kali dan terakhir kali aku jatuh cinta aku berakhir di tempat rehabilitasi.
Tak mungkin aku bisa jatuh cinta sampai segila itu sekarang, cinta yang membutakan.
Aku terus mengamatinya setelah dia berujar.
Lalu ketika tanpa aku sadari si bodoh itu sudah memandangiku.
Dia pikir aku lagi kasmaran atau gimana?
Kutanyakan langsung saja padanya.
Dia malah mengucapkan selamat malam.
Apa dia tak bisa membedakan cinta?
Aku pikir dia benar-benar bodoh.
Cinta yang kukenal dulu adalah cinta yang benar-benar bar-bar. Cinta yang membuatku benar-benar bisa mengorbankan segalanya termasuk kewarasanku. Ah..
Sementara Mey?
Apa yang kurasakan padanya?
Cinta?
Mungkin juga tapi tidak seekstrem dulu.
Mungkin karna beberapa season terapi psikis yang kujalani saat rehabilitasi dulu hingga membuatku belajar membuat pagar yang tinggi untuk melindungi jiwaku.
Mey yang notabenenya adalah teman satu geng dulu saat masih SMA dan berlanjut ke masa kuliah, membuatku dan Mey saling mengenal luar dalam. Tapi aku tak pernah tahu sampai sebulan lalu bahwa dia selama ini menyimpan rasa cinta padaku.
Ah Mey!
Ampun ternyata menciumnya adalah hal yang menyenangkan dan membuatku membuka pagar tinggiku. Ingin mengecap lagi manisnya rasa itu. Berbagi cerita dan bebanku padanya.
Dan diselingi ciuman lembut atau gurauan menyenangkan.
Apakah aku jatuh cinta pada Mey?
Aku tidak mau tahu apakah yang kujalani saat ini cinta atau hanya kesenangan sesaat.
Dan si bodoh itu, kuharap dia mengerti dengan keadaanku.
Tapi adikku yang sekarang berstatus istriku yang bodoh itu mana mengerti! Dia kan bodoh! Atau hanya masa bodoh!
*
Kaira POV
Tidak.
Harusnya aku tolak saja ajakannya. Pasalnya besuk aku ada janji dengan Kak Restu. Lalu kenapa aku tidak menolak dan malah mengiyakan ajakan mereka. Bodoh!
Masa iya aku harus bohong sama Kak Restu hanya demi Juna dan Abi. Ah aku terlibat masalah.
Di sepanjang perjalanan ke kampus jadilah aku memikirkan. Alasan apa yang hendak aku pakai untuk membatalkan janji kencan dengan Kak Restu.
Memang ini bukan kencan pertama kami tapi membatalkan janji dengannya rasanya aku jadi merasa bersalah.
Pikirkan alasan yang tepat Kaira!
Sudah lebih dari sebulan sejak pertemuanku dengan nona Rosemary dan setelahnya aku tidak bisa menemuinya. Pasalnya dia tidak lagi mewakili pak Jarot sebagai dosen pengganti.
Pak Jarot sekarang rajin menyambangi kelas kami.
Jadilah nona Rosemary tidak lagi perlu menggantikannya. Menurut sumber gosip yang kudapat Nona Rosemary sedang berkonsentrasi mengerjakan tesisnya.
Hebat! Nona Rosemary sudah mengerjakan Tesis sedang pacarnya Mas Bimo lagi getol-getolnya mengerjakan Skripsi. Ironis.
Kenapa jadi aku memikirkan nona Rosemary? Aku kan sedang mencari alasan untuk membatalkan kencan dengan kak Restu?
Panjang umur kak Restu, baru aku memikirkannya dia sudah menelepon.
"Ya Kak!"
"Hari ini kamu ke kampus?"
"Ya. Ada kelasnya pak Jarot. Kenapa? Kak Restu enggak ke kampus?"
"Enggak. Aku lagi riset ke Surabaya."
"Oh lalu gimana dengan besuk kak?"
"Kenapa dengan besuk Kay? Nanti sore juga aku balik kok!"
"Eh... begini kak, kemarin mama mertuaku bilang ingin mengajak aku ke pertemuan keluarga. Apa bisa rencana ke Anyer nya kita cancel kak?"
"Penting banget acaranya?"
"Sepertinya."
"Ya sudah, lain kali saja enggak papa."
"Maaf ya kak!"
"Hem. Kay?"
"Yah."
"Miss you!"
"Me too!"
Aku kemudian cekikikan dengan kak Restu.
Dan Pak Umar berdehem.
"Sudah dulu kak!" aku langsung mematikan sambungan telepon.
"Ya pak!"
"Sudah sampai non." Katanya menepikan mobil.
Aku tersenyum sekilas pada pak Umar sebelum keluar dari mobil.
Aku berjalan dengan santai karena kelas pak Jarot masih sekitar setengah jam lagi.
"Kay!" Suara Renata. Aku menoleh dan dia dengan langkah cepat menyejajarkan langkahnya denganku.
Aku sudah menceritakan semuanya pada Renata. Mungkin akan terlihat tidak masuk akal kalau aku mempercayainya, tapi begitulah aku sudah tak bisa menaruh curiga padanya. Renata memegang semua kartuku dan aku memegang salah satu kartu matinya juga.
Kami mengobrol banyak soal apa saja termasuk tentang kebijakan presiden yang memojokkan kaum elite politik termasuk papanya.
Aku mengimbangi setiap obrolan dan pendapat yang diutarakannya. Kadang kami bisa sangat pro tapi kadang hal sebaliknya. Aku mendiskusikan apa saja dengannya. Kami sering berbeda pendapat juga tapi itu tidak menjadikan kami bertengkar justru setelah berdebat kami akan tertawa bersama seperti sekarang saat akan memasuki kelas. Kami berbeda pendapat tentang kebijakan presiden yang lebih membela elite ekonomi dari pada elite politik.
Setelah duduk kami menjadi tenang.
Karena kurang dari lima menit kelas akan dimulai.
"Pagi!" suara perempuan bukan suara Pak Jarot. Dengan sengaja Renata menyenggol bahuku.
"Pagi!" kami menjawab serempak.
Nona Rosemary.
Dia melihat wajah-wajah kami menelusuri semua bangku dan pandangannya berhenti padaku. Aku tersenyum sekilas dan dia kemudian beralih dengan kuliahnya dengan segera setelah mendapat senyum dariku bersikap wajar dan tidak berusaha membalas keramahan ku, justru malah seperti menghindar.
Nona Rosemary memberi kuliah dengan lantang dan tegas. Menuturkan teori-teori manajemen yang begitu dikuasainya.
Aku berkonsentrasi dengan materi yang diberikannya.
Di akhir sesi dia memberikan kami tugas membuat makalah. Katanya itu tugas dari Pak Jarot.
Menyebalkan.
Dia tersenyum dengan mempesona saat keluhan kami keluar.
"Ini memang sangat menyebalkan. Aku pernah mengalaminya juga!"
Cowok mana yang tidak tersihir dengan senyum dan keramahannya?
Dia kemudian menutup kuliahnya dan bergegas meninggalkan kelas sebelum dikejar para cowok kelas kami.
Aku buru-buru membereskan peralatan ku dan berlari mengejar Nona Rosemary.
"Nona Rosemary!" teriakku mencoba menghentikan langkahnya.
Dia menoleh dan mendapati ku menyusulnya.
"Ya!" katanya menatapku dengan ragu.
"Bisa kita bicara Nona Rosemary?" tanyaku sopan.
"Tentang?" tanyanya sambil membenarkan letak tas selempangnya.
"Hem. Saya cuma ingin kita tidak merasa canggung nona Rosemary!" ucapku sambil menyunggingkan senyuman.
"Jangan panggil saya Nona saat di luar kelas, Panggil saja aku Ros!" katanya mencoba bersikap santai.
"Bagaimana kalo kak Ros. Mas Bim pasti enggak suka aku memanggilmu asal?" saranku.
"Kalau kamu suka silakan." Katanya. "Kita bicara sambil jalan!"
Aku menyejajarkan langkahku dengan Kak Ros. Kami kemudian mengobrol singkat.
Ketika kulihat kak Ros berhenti tiba-tiba aku mengikuti arah pandangannya.
Di tangga menuju koridor bangunan fakultas ekonomi, aku juga melihatnya.
Mas Bim sedang duduk sendiri dengan setelan Jeans dan kemeja warna hijau pastel, menikmati sebatang rokok. Aku beralih memandang kak Ros, dia sedang tersenyum konyol.
"Apa dia sedang menunggu Kak Ros?" Tanyaku.
"Hah sudah kubilang ini berbahaya. Dasar Bimo!" katanya sambil mengeluarkan Hp dan tampak mengetik sesuatu.
"Aku duluan ya Kaira!" katanya setelah memasukkan Hp ke dalam tasnya. Dia berjalan berlawanan arah dengan tempat mas Bim berada.
"Kak? Mas Bim kan di sana!" Kataku sambil menunjuk mas Bim.
"Biarin aja!" katanya dan aku hanya bisa memandangnya berlalu.
Aku kemudian menghampiri mas Bim dan ternyata si Renata sudah berada di belakangku.
"Mas ada perlu?" tanyaku pada mas Bim yang telah berdiri dan bersiap pergi.
"Mau tahu aja!" juteknya.
Aku hanya mengangkat bahu dan mengajak Renata ke kantin.
Setelah cukup jauh dari mas Bim Renata buka suara.
"Akrab benar sama madu!" sindirnya.
"Hus. Apa-apaan sih Ren!" tegurku.
"Habisnya liat kalian, aku jadi gemas ingin godai gitu!" katanya dengan jail.
" Ha.. Ha.. Berani! Ini!" aku menimpuknya dengan makalah yang telah dijilid. Tugas untuk mata kuliah selanjutnya.
Selanjutnya aku bercanda dan terseret dengan obrolan kami yang mulai tak tentu arah.
Di kantin Abi sudah menunggu dengan memasang senyum palsunya.
"Hai Bi!" sapa Renata lebih dulu dan memilih duduk di depannya.
"Hai Renata! Makin cantik aja loe!" gombalnya.
Kami langsung pura-pura muntah.
"Ayolah. Kalian memang enggak bisa diajak bercanda!" sewot Abi.
"Memang sudah berapa lama loe enggak gombal Bi?" tanyaku.
"Seorang Abimana menggombal sorry ya!" ungkapnya sombong.
"Jieh... Yang barusan!" timpal Renata.
"Kalau buat loe, pengecualian." katanya sambil menatap Renata dengan senyum mautnya.
Dan Renata tidak bergeming sedikit pun.
"Yah!" Abi manyun tak mendapat respons yang seharusnya dari Renata.
"Latar belakang loe bukan tipe gue Bi. Jadi sorry ya!" kata Renata sambil tersenyum sengit.
"Hah cinta itu enggak kenal kasta neng!" sewot Abi.
"Cowok kaya loe punya cinta!" tantang Renata.
Aku menikmati pertengkaran mereka yang sejak awal bertemu memang sudah jadi Tom & Jerry.
Hal-hal kecil seperti inilah yang membuatku bahagia. Tidak perlu memikirkan bagaimana hidup yang selanjutnya hanya bersama mereka dan menikmati kebersamaan. Bisakah seperti ini saja hidup?
***