Bab 13
Jalan Sesa(a)t Kita
'Apakah kita dapat mengatur kapan hati ini boleh bergetar dan tubuh ini bergelayar karena pesona seseorang?'
Kaira POV
Sabtu pagi. Pintu kamarku sudah digedor sama Juna. Aku mengucek mataku dan mencoba kembali ke dunia nyata.
Mas Bim yang tertidur di sofa pun terbangun dengan kesal.
"Juna jangan ganggu!" teriaknya. Tapi Juna tetap bersikukuh mengedor pintu.
Aku dengan malas membuka pintu.
"Ya Jun!" kataku malas.
"Siap-siap Kay! Bim loe benaran enggak mau ikut?" kata Juna bersemangat.
"Enggak! Sudah kalian bertiga sana!" kata mas Bim bangun dari sofa dan berpindah berbaring ke ranjang.
"Loe enggak asyik!" kata Juna setengah berteriak.
"Berisik Loe!" cerca Mas Bimo menutup dirinya dengan selimut.
"Key tutup pintunya dan turuti saja apa maunya biar tak berkoar itu anak!" keluh mas Bim.
Aku mengangkat bahu ke arah Juna.
"Ayo Ipar!" katanya sambil memasang wajah memelasnya.
"Iya. Setengah jam lagi aku keluar." Kataku lalu menutup pintu sesuai kehendak mas Bim.
**
Aku dan Juna sudah berada di lokasi.
Sudah membeli tiket untuk bertiga malah. Tapi si Abi batang hidungnya tidak tampak dari tadi.
Hampir satu jam kami berdua hanya berdiri di depan pintu masuk.
Sampai Hp Juna berdering.
"Ya Bi. Loe di mana? Lama banget!"
"Apa! Jangan gila loe!"
"Sorry. Sorry!"
"Ok. Ya sudahlah. Tapi aku sudah beli tiket."
"Ya cepat beresin!"
Juna menutup teleponnya.
"Abi?" tanyaku.
"Hem!" jawabnya.
"Kenapa?" tuntutku.
"Enggak bisa datang. Katanya ada temannya yang dapat musibah." Jelasnya.
"Jadi gimana tiket sudah dibeli!" kataku sambil mengacung-acungkan tiket.
"Kita masuk aja. Sayangkan sudah dibeli?" usulnya. "Enggak masalahkan kalau kita Cuma berdua?" tanyanya.
Aku tersenyum dan mengangkat bahu.
"Let's play Ipar!" ucap Juna semangat sambil menyeretku masuk.
Berdua dengan Juna di Dunia Fantasi. Bukan seperti rencana awal kami.
Tapi kalau harus buang tiket mahal-mahal juga sayang.
Apa kami seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan?
Kuharap tidak.
Tapi nyatanya apa yang kau lihat bukanlah seperti penilaian kalian!
Benarkah?
*
Aku masih saja tertawa mengejek. Walaupun semua isi perutnya sudah tidak ada dan hanya cairan aneh yang keluar dari mulutnya dia masih saja mencoba menguras isi dalam perutnya saja.
"Cowok kok cemen!" hinaku saat melihatnya mulai membersihkan mulutnya dengan air mineral yang barusan aku sodorkan.
"Berisik Ah!" sewotnya.
"Mau main yang itu?" Tunjukku ke arah wahana halilintar.
Mukanya langsung pucat pasi. Aku hanya tersenyum mengejek sambil menyenggol bahunya.
"Takut?"
"Enggak!" protesnya.
Lalu kami menuju pintu eksklusif dan menyodorkan kartu anual Pass kami.
Memotong antrean sungguh menyenangkan. Aku tidak harus ikut berdesak-desakan dan berpanas-panas. Dan yang terpenting adalah selama tiga jam di sini kami sudah hampir menikmati semua wahana. Mengasyikkan bukan!
Kami berteriak kaya orang gila. Melepas beban dan memacu kerja jantung. Setelahnya aku akan menertawakan Juna karena rasa mualnya mengalahkan keberaniannya. Dia sempat menyerah tapi karena ejekan dariku egonya tak pernah terima dan dia terus saja menaiki wahana-wahana denganku. Laki-laki.
"Ontang-anting!" tunjuknya menyeretku setelah selesai muntah dan membersihkan mulutnya kembali.
"Enggak kapok! Nanti muntah lagi!" tegurku.
"Yah ontang-anting aja kecil!" katanya meremehkan.
Aku tersenyum kecut.
"Jangan-jangan?" godanya.
"Enggak!" aku langsung menyeretnya ke pintu Pass.
Sensasi yang ditimbulkan wahana ini membuatku berputar-putar spiral. Rasa pusing mendera saat makin kencang putaran. Aku tak sanggup dan berteriak histeris. Lebih histeris daripada teriakanku diwahana lain.
Turun dari wahana itu aku langsung linglung. Hampir saja aku jatuh jika Juna tidak menopangku.
Dia menuntunku ke bangku di bawah pohon rindang dan menanyakan keadaanku dengan cemas.
"Aku baik!" kataku sambil mengatur kembali pandanganku ke sekeliling.
Di detik berikutnya Juna tertawa menghinaku.
"Kay loe main yang ekstrem enggak takut eh giliran main ayunan kaya gitu aja loe tepar!" tawanya lepas.
Aku meliriknya dengan geram.
"Siapa yang tepar gue Cuma pusing kok!" kataku membela diri.
Juna memandangku dan berhenti tertawa mungkin karena melihat gelagatku yang siap membunuhnya.
"Makan dulu yuk. Habis itu kita main air!" katanya menepuk pahaku dan berdiri.
Aku berdiri dan Juna membantuku bangkit.
Dia menggandengku menuju gerai fastfood yang ada di kawasan Dufan.
Apa ini? Kenapa aneh begini?
Juna hanya menggandeng tanganku dan reaksi jantungku.
Jangan gila Kaira!
Efek ontang-anting!
Aku memandangnya yang tengah menggandengku. Rasa pusingku hilang dan berubah jadi rasa penasaran.
"Kenapa?" tanyanya.
Aku hanya tersenyum sekilas.
"Enggak!"
Kemudian aku mengenyahkan pikiran-pikiran gila yang sempat datang dan kembali berceloteh mengejeknya.
Setelah menelan sepotong Big Burger dan meneguk segelas besar soda kami kembali menikmati wahana-wahana Dufan. Giliran main air. Arum jeram dan niagara-gara sukses membuat kami basah.
Juna sudah tak lagi muntah dan aku juga tidak lagi merasa pusing seperti saat main ontang-anting.
Kami tertawa dan teriak bersama. Mengenyahkan segala pikiran tantang beban yang ada di luar sana.
Kami basah kuyup, jam masih menunjuk pukul empat. Kami sudah menyambangi semua wahana.
"Puas?" tanyanya padaku.
"Haha banget!" kataku sambil memeras sudut kaosku yang basah.
"Kita cari baju ganti dulu yuk." Katanya kembali menyeretku ke outlet oleh-oleh. Aku mengambil satu kaos dan celana trening sederhana berlogo Dufan. Konyol si Juna saat aku mencari logo yang paling tak terlihat dia justru mengambil kaos dengan gambar Dufi, maskot Dufan paling gede.
Aku hanya geleng-geleng kepala. Kami juga mengambil sepasang sendal karena sepatu yang kami kenakan sudah tak layak pakai karena basah kuyup.
Hampir jam lima sore saat kami sudah selesai dengan berbilas.
"Mau langsung pulang?" tanyaku.
"Ke pantai dulu yuk tunggu sunset! Aku mau ambil beberapa foto!" ajaknya.
"Ok!" aku mengacungkan jempolku setuju.
Kami keluar dari Dufan dan menuju pantai, kami memutuskan menaiki Bus gratis yang disediakan pihak Ancol. Busnya penuh sesak hingga aku harus rela berdesakan dengan penumpang lain.
Juna tersenyum senang saat mendapati kami tergencet bersama orang-orang.
Kami turun di pantai festival dengan sisa tawa dan gurauan tidak jelas menertawakan bagaimana wajah kami saat harus tergencet di dalam bus.
Kami berangkulan sambil tertawa di sepanjang perjalanan menyusuri pantai. Sadar apa yang kulakukan tidak sepantasnya kulepaskan rangkulan Juna di pinggangku.
"Kenapa?" tanyanya.
Aku tersenyum sekilas.
"Jangan main-main denganku Jun. Loe tahu siapa gue!" kataku enggan.
"Siapa?" katanya sambil mengeluarkan SLR Canon dari dalam tasnya.
Aku kembali tersenyum kali ini miris dan berjalan mendahuluinya. Tak kulihat Juna yang berada di belakangku dan terus berjalan menyusuri pantai, memandang jauh ke hamparan air yang luas dan tak terbatas ini.
Matahari mulai turun dan menyajikan warna jingga yang menawan. Senja menghadang kami. Pantulan sinar matahari yang berpendar di atas permukaan air laut menambah sajian indah yang nyata. Aku hanya termangu menatapnya tak kuhiraukan ke mana angin membawa rambutku yang mulai liar tak jelas.
Aku menyadari ada yang salah dengan semuanya. Aku memandang Juna yang tengah sibuk mengabadikan senja. Matahari yang mulai surut dan tenggelam di barat di ujung cakrawala garis horizon yang dapat tertangkap mataku membuat siluetnya semakin nyata dan masuk ke dalam memoriku dan aku merasa ini akan terpatri lama di ingatanku.
Tuhan jangan izinkan ini.
Aku akan tersesat tanpa pegangan.
Mantraku memohon pada Tuhan.
Aku merapal lagi dan lagi.
Dan matahari yang telah sepenuhnya terbenam menjadi saksi bahwa aku telah jatuh pada senyumnya yang menyambutku ramah.
"Indah bukan." Kata Juna membuatku melelehkan air mata.
Aku tersenyum sekilas dan menghapus air yang sempat mengalir di pipiku.
"Ada apa Kay?" Juna tampak cemas dan mengamatiku dengan saksama.
"Ampun Jun. Ini konyol kenapa hanya dengan melihat matahari gue terharu begini. Racun apa yang loe masukkan ke otak gue Jun!" kataku sambil menyenggol bahunya mencoba bercanda, mencairkan suasana.
Juna menyengir seketika. Dan merengkuhku dalam bahunya.
Siapa yang bisa melihat kami sebagai saudara ipar?