Chereads / Ilalang Merah / Chapter 6 - 6. Niat tak Tulus

Chapter 6 - 6. Niat tak Tulus

Bab 6

Niat tak Tulus

Aku hendak masuk dalam mobil ketika dengan serta merta mas Bimo ikut mendahului masuk dan menyuruhku duduk di belakang.

"Apa-apaan sih?" keluhku.

"Diam!" Bimo mematikan rokoknya dan bersandar nyaman di jog depan.

"Jalan pak!" perintahnya pada pak Umar.

"Aden mau ke kampus juga?" tanyanya memberanikan diri karena melihat lirikan tak terima dari ku.

"Ya, dan jangan berisik aku mau tidur! Kalau sudah sampai bangunkan aja!" Ucapnya apatis lalu memejamkan matanya.

Aku hanya bisa pasrah. Manusia satu ini benar-benar gila.

*

Pak Umar menepikan mobil di dekat pintu gerbang kampus.

"Nanti aku telepon Bapak kalau aku mau pulang. Bapak boleh balik dulu!" kataku sebelum keluar.

"Ya Non!" katanya patuh. Lalu menyenggol bahu Mas Bimo sekilas.

"Bangun Den!"

"Kenapa mesti di bangunkan!" kataku.

"Kalau tidak dibangunkan nanti marah Non, ini kan sudah sampai!" Katanya sopan.

Mas Bimo mulai menggeliat.

"Apaan sih! Siapa yang berani marah dengan kamu?" kata Mas Bim sambil mengusap wajahnya.

"Enggak kok Den."

"Pak. Nanti tolong bawa motorku ke bengkel." Mas Bim mengeluarkan mastercard dari dalam dompetnya dan menyerahkan ke Pak Umar.

"Ya Den." Jawabnya patuh.

Kenapa aku tak keluar dari mobil? Dan asyik mendengar obrolan mereka. Ampun. Saat tersadar aku segera keluar dan menutup pintu tanpa menghiraukan mereka.

Aku berjalan melewati koridor kampus. Berjalan sendiri sampai teriakan itu membahana.

"Sepupu Ipar!" siapa lagi kalau bukan si Abi yang demen banget menjahiliku dengan sapaannya itu.

"Sret! Tutup mulutmu apa Abimana Sapto Wijaya!" Tukasku. Gosip cepat sekali menyebar di kampus apalagi di fakultas ekonomi ini. Gara-gara dia ini, aku jadi bahan gunjingan seisi kampus. Menantu klan Wijaya, mahasiswi bangkrut yang mendadak mendapat durian runtuh.

"Biar mereka tahu siapa loe Kaira!" ucapnya cuek sambil merangkul pundak ku.

"Jieh, dan semua gadis seisi kampus tahu kalau yang sedang bersama loe tak lain dan tak bukan adalah saudara loe! Modus!" geram ku tapi membiarkan saja dia menggelayuti ku.

"Ya! Sepupu Ipar Ku sungguh cerdas!" pujinya penuh kemenangan.

Lalu kami terlibat obrolan santai sambil berjalan menuju kelas masing-masing.

Semenjak aku menjadi menantu keluarga Wijaya, aku dan Abi menjadi semakin akrab bahkan dia menjadi sedikit over padaku.

Katanya harapannya untuk punya saudara perempuan sedikit terwujud dengan kehadiranku. Saat aku berseloroh tentang mbak Farah yang juga adalah sepupu iparnya dia hanya menjawab dengan cuek 'mas Yudi pelit berbagi!'

Apa coba maksudnya memang kita barang yang bisa dibagi-bagi apa.

**

Aku mendekati salah satu kursi di auditorium dan bersiap mendengarkan kuliah umum yang akan diberikan oleh Chairil Tanjung. Aku harusnya datang lebih awal dan bisa dapat kursi di dekat teman-temanku atau jika aku bisa menemukan Abi si biang keributan itu di riuh auditorium ini tentu aku tidak berdesakan meraih tempat duduk. Sial.

Aku berhasil duduk di antara lautan manusia. Aku bernafas lega, setidaknya acara inti belum dimulai.

Aku melihat sekeliling dan kudapati Abi jauh di depan ku nyaris beberapa blok kursi dari tempatku sekarang, sedang merangkul cewek manis dan terlihat berakrab-akrab ria. Awas loh Abimana! Geramku.

Aku mengeluarkan Hp dari sakuku bersiap menerornya saat pembawa acara menyuruh kami membunuh perangkat seluler kami dan bersiap menyimak kuliah umum.

Kali ini aja loe selamat Abimana! Geramku lagi.

Aku memandang sekitar aku terdampar di mana ini. Dan sekarang aku sadar aku ada di deretan mahasiswa senior tingkat akhir. Mampus! Dan lebih parahnya baris yang kutempati berisikan para cowok. Astaga! Aku menepuk jidat dan menundukkan kepalaku ke bawah kursi.

"Santai aja!" kata seseorang di samping kananku dengan senyum mengembang.

"Iya kak!" kataku memperhatikan wajah tampannya yang dihiasi kaca mata.

Apa aku berkata dia tampan. Oh Kaira sadarlah!

Aku berkonsentrasi mendengarkan Chairil Tanjung memberikan kuliah pada kami.

Sembilan puluh menit acara itu berlangsung, empat puluh lima menit berkoar dan empat puluh menit berikutnya Chairil Tanjung menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh para mahasiswa.

Akhirnya ini selesai juga.

Ratusan mahasiswa mulai berdesak-desakan keluar auditorium, dan aku masih duduk dengan damai sambil memainkan Hp. Meneror Abi yang sempat tertunda tepatnya.

"Loe enggak keluar?" suara itu mengagetkanku. Ternyata cowok di samping kananku ini juga masih duduk di tempatnya.

"Tunggu sepi kak!" jawabku.

"Oh. Loe dari jurusan apa?" Tanyanya membuka obrolan.

"Manajemen kak! Kakak?" ucapku.

"EP semester akhir. Oya gue Restu! Boleh tahu nama loe?" Tanyanya minta berkenalan sambil mengulurkan tangan.

"Kaira!" kataku menyambut uluran tangannya.

"Loe enggak mau pulang apa mau menginap Kaira." katanya setelah kami melepaskan jabat tangan dan dia mulai mengemasi tasnya.

Aku segera beranjak dan mengikutinya berjalan menuju pintu keluar yang mulai sepi.

Aku dan kak Restu terlibat obrolan ringan seputar kehidupan kampus.

"Kai!" sapa temanku dari jauh, Renata. Dia tampak sedang berbincang dengan seseorang sebelum menyapaku. Aku melangkah mendekatinya.

"Gue duluan ya kak!" pamitku pada kak Restu.

"Yah. Sampai jumpa Kaira!" Ucapnya dengan senyum mengembang. Cewek mana yang tahan dengan senyuman itu.

Ampun, sadar Kaira!

"Itu Restu Malik Samanhudi!" ucap Renata memicing ke arah kak Restu yang sosoknya kian menjauh.

Aku hanya mengangkat bahu.

"Kai! Jangan bilang kamu tidak tahu siapa dia!" geram Renata yang melihat tampang datarku.

"Siapa? Kak Restu! Aku baru kenalan dengan dia tadi!" kataku acuh.

"Hem. Dasar makanya bersosialisasi dikit dung. Restu Malik Samanhudi, pewaris tunggal Grup Sam-H yang bergerak dibidang industri pertanian sebagai fondasi dasar usahanya, retail dan waralaba, dan sekarang mulai merambah pasar telekomunikasi. Kamu tahu eSai?" jelasnya.

"Esai? So easy so esai! Provider dengan sosial media gratis?" aku mulai antusias.

"Itu loe tahu!" katanya. "Sam-H lah pemiliknya. Ya walaupun bukan pemain lama tapi nama Sam-H mulai diperhitungkan di dunia Bisnis di negeri ini." Jelas Renata antusias.

"Benarkan. Indeks saham gabungan mereka?" Tanyaku mulai ingin tahu lebih.

"Selalu direspons positif! Bahkan kakek mertuamu itu kudengar ingin bermitra. Jadi kamu bisa lihat kan!" Jelasnya.

Aku hanya mangut-mangut setuju.

"Oh. Betapa hidup terlalu tidak adil, sudah tampan, pintar ditambah lagi kaya. Dan dia tipe cowok idaman semua wanita. Tanpa kekayaan yang dimilikinya pun aku rela jadi pacarnya!" kagum Renata setengah berkhayal.

"Loe mau dia yang ogah punya pacar gila!" kataku menyenggol bahunya.

"Ih apaan! Gue memang gila tapi gue enggak jelek-jelek amat kan. Malah bisa dibilang gue cantik dan juga papa gue mapan!" Kata Renata membela diri.

Renata temanku yang satu ini. Dia masuk bareng denganku. Di angkatan yang sama pula. Renata juga dua semester cuti. Dia mulai menata kariernya di dunia politik mengikuti jejak Papanya. Kemarin dia ikut serta dalam tim sukses papanya, berkampanye ikut pemilihan anggota legislatif. Papanya terpilih menjadi anggota legislatif di tingkat pusat. Mamanya seorang pengacara andal, selain berdiri melindungi karier suaminya mamanya juga memiliki firma hukum yang cukup ternama.

"Katanya loe menghindari gosip murahan kaya gitu?" ucapku.

"Ini bukan murahan Kai!"

Lalu kami terlibat obrolan seru tentang gosip yang beredar di sekeliling kampus dan tentunya didunia selebritas juga.

Renata Daisy Sekar. Bisa dibilang dialah satu-satunya teman yang tidak menjauh dariku saat perusahaan papa bangkrut. 'Relasi dibangun atas dasar solidaritas, Kai!' katanya waktu itu.

Dia orang yang supel yang gemar sekali berorasi. Dia bahkan ikut dalam seleksi ketua senat. Setelah dia berhasil mewakili fakultas kami. Mengalahkan anak hukum? Aku mulai sangsi.

Dulu aku pernah bertanya padanya jika ambisinya di bidang politik kenapa dia tidak mengambil jurusan di fakultas hukum atau di ilmu politik?

Tapi katanya untuk tahu siapa yang kelak siap jadi pendukungnya dia harus mulai dari yang terkuat, Pemegang kepentingan siapa lagi kalau bukan orang-orang bisnis. Katanya politik bisa dia pelajari dari ayahnya tapi membangun relasi dia tidak bisa mengandalkan ayahnya.

Dia terlalu jeli, seperti kancil dalam dongeng.

Saat gosip yang dia dengar tentang pernikahanku dengan klan Wijaya dan mendapat fakta dariku langsung dia berujar 'aku memang tidak pernah salah menilai orang. Lihat kan kamu itu tidak ditakdirkan untuk terpuruk Kai! Kenalkan aku pada mereka jika mereka butuh bantuan tentang kebijakan negara ini. Aku siap selama dana mengalir deras.'

'Ternyata kamu sama tidak tulusnya dengan mereka semua!" responsku kala itu.

"Tulus apa tidak itu kamu yang nilai Kai. Aku sih enggak masalah dibilang tak tulus. Latihan mental!"

Memang setelah gosip tentang pernikahanku tersebar luas banyak yang berakrab-akrab ria denganku dan mengajakku jalan bersama mereka. Mereka para penjilat.

Dan walaupun Renata bahkan berniat lebih jauh dari menjilat aku tetap menjadikannya sahabatku. Setidaknya dulu dia tetap mau berteman denganku walau ada atau tidak ada harta.

Dia apa adanya. Ambisinya.

"Kamu tahu Kai. Sebelum kamu menikah dengan keluarga Wijaya aku berniat mengumpankanmu ke salah satu keluarga kaya di negeri ini!" Katanya jujur sambil tersenyum culas tanpa rasa dosa.

Lalu apakah aku bisa menilai tulus tidaknya niat seseorang?

Termasuk Renata?

***