Chereads / Ilalang Merah / Chapter 7 - 7. Bertemu dengannya Lagi

Chapter 7 - 7. Bertemu dengannya Lagi

Bab 7

Bertemu dengannya Lagi

Aku mengusap mata perlahan. Kulihat mas Bimo tak ada di tempat seharusnya dia berada, aku mencoba bangun siapa tahu dia terdampar di salah satu sudut di kamar ini.

Tapi nihil.

Dan ketika pintu kamar mandi terbuka kutemukan sosoknya keluar dan hanya berbalut handuk di pinggangnya.

Perutnya rata. Mas Bim terlalu kurus. Tapi herannya kenapa dia mampu membantingku waktu itu. Aku memicing mengamati badannya yang kerempeng.

"Apa?" tegurnya.

"Mas terlalu kurus! Apa Wijaya mulai bangkrut kalau mas menggemukkan badan!" sindirku.

"Loe ingin gue gemuk agar bisa loe perah? Gue bukan sapi Non!" sahutnya enteng.

"Siapa yang bilang begitu. Kalau mas sehat itu juga buat mas sendiri!" kecamku.

"Kalau gue sehat loe sudah gue makan dari dulu!" Katanya ambigu sambil memilih pakaian di lemari kebesarannya.

"Tumben sudah mandi jam segini. Biasa juga masih teler." ucapku sambil lalu dan melihat jam di Hp. Pagi baru beranjak bahkan masih pukul enam.

"Bukan urusan loe!" sahutnya.

Ampun. Suamiku ini!

*

Pemandangan langka. Mas Bimo duduk di meja makan bersebelahan denganku menikmati sepotong roti dengan selai nanas dan meminum jus jeruk.

Aku hanya meliriknya sekilas.

Ada angin apa ini?

"Bu Harti!" Mas Bim memanggil salah satu pegawai di rumah ini.

"Ya Den Bimo?" sahutnya saat sudah mendekat.

"Tolong panggilkan pak Umar Bu!" perintahnya.

Tak lama Pak Umar datang.

"Sudah sarapan Pak?" tanya mas Bimo saat Pak Umar telah berada di sampingnya.

"Sudah Den. Ini kartu Aden. Motornya sudah ada di garasi. Aden mau pakai biar bapak panaskan?" kata Pak Umar.

"Boleh kalo Bapak sudah selesai dengan urusan yang lain. Mobil buat antar dia sudah siap?"

Kata Mas Bim sambil menoleh ke arahku sekilas. Aku masih sibuk dengan rotiku.

"Sudah. Ada yang lain?" tanya pak Umar.

"Cukup Pak."

Lalu Pak Umar pergi meninggalkan kami. Mas Bimo meneguk sisa jusnya dan tanpa berkata apa pun pergi meninggalkanku sendiri.

Aku melirik sekilas sosoknya, dasar aneh.

Aku keluar menghampiri mobil yang telah siap untuk mengantarku ke kampus. Tapi aku tak menemukan Pak Umar. Di mana dia? Biasanya dia sudah di dekat mobil.

Aku celingukan mencarinya ketika kulihat dia sedang bersama Mas Bim sedang bercakap di depan garasi sambil menunjuk-nunjuk beberapa bagian motor dan Mas Bimo hanya mangut-mangut.

"Pak Umar!" panggilku cukup membuatnya menoleh.

"Ya Non!" sahutnya dan tak lama dia mendekat dan segera membukakan pintu mobil untukku.

Ketika aku dan Pak Umar sudah sama-sama berada dalam mobil aku mencoba mencari tahu.

"Yang tadi motornya Mas Bimo?" tanyaku memancing.

"Ya Non!"

"Mobilnya dia kenapa Pak?" tanyaku.

"Lah Non tidak tahu dua hari lalu, mobilnya ditabrak orang." jelasnya.

"Oh. Tapi Mas Bim enggak cedera gitu?"

"Saya juga tidak begitu tahu Non. Katanya sih mobilnya ditabrak pas masih diparkir. Orang dendam mungkin!"

"Banyak musuh dia rupanya!" kataku sambil mencibir.

Lalu aku menatap jalanan.

Dan penasaranku tentang suamiku bertambah parah. Aku melirik Pak Umar sekilas. Seingatku saat aku terakhir berkunjung ke rumah ini beberapa tahun lalu Pak Umar sudah bekerja untuk Papa mertua.

"Pak Umar boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku memulai.

"Kalau Bapak bisa membantu?" Jawabnya sopan sambil menekuni jalanan.

Lalu aku memancingnya dengan berbagai pertanyaan. Tidak banyak rupanya yang dia tahu tentang mas Bimo. Karena Mas Bim tinggal di apartemen semenjak masuk kuliah. Setahun lalu mas Bimo masuk rehabilitasi karena kecanduan narkoba.

Dan setelah enam bulan dia keluar dan mulai tinggal di rumah ini dan tidak lagi tinggal di apartemen.

Mobil Toyota Camry yang aku naiki menepi dan aku keluar.

Menapaki jalanan menuju kampus. Saat kulihat Mas Bim dengan motornya melewatiku dengan santainya menuju tempat parkir.

Dari tempat parkir kulihat Abi menghampiri Mas Bim dan tampak mengobrol sekilas sebelum Mas Bim meninggalkan Abi.

Abi terlihat masam dan aku mengikik melihat ekspresinya.

Dia menoleh ke arahku. Gawat aku ketahuan menertawakannya.

"Hai Sepupu Ipar!" sapanya mendekat. Aku masih mencoba meredam rasa geliku.

"Hai! Kenapa sih Mas Bim kesini?" tanyaku.

"Kalau orang ke kampus ya buat Kuliahlah Non!" katanya santai.

"Hah. Dia kuliah? Di sini?" heranku.

Abi mencoba menahan tawa tapi hanya bertahan beberapa detik lalu dia meledakkan tawanya.

"Enggak ada yang lucu kali!" kesalku.

"Lagian loe tanya gitu?" Abi mulai mengatur kembali nadanya. "Sepupu Ipar, sepupu Ipar!"

Lalu dia mencoba menghentikan kekesalanku dengan bercerita tentang beberapa hal tentang kegilaan yang dia lakukan belakangan ini.

Aku tak bisa lama-lama kesal dengan Abi dan aku pun mulai larut dengan obrolan kami.

"Teman loe mana?" tanyanya saat kami sampai di depan ruang kelasku.

"Siapa?"

"Renata! Siapa lagi teman loe sih! Memang cuma diakan." katanya.

"Kenapa loe cari dia? Jangan bilang loe naksir! Gue gorok loe!"

Kataku mencoba melindungi Renata dengan Playboy Garam ini.

"Sadis banget sih! Lagian bukan tipeku." ucapnya menyengir.

"Loe mah semua diembat enggak perlu tipe-tipe!" ucapku datar.

"He he. Gue cuma ingin punya banyak adik cewek, Sepupu ipar!" katanya lalu berjalan begitu saja meninggalkanku.

Ingin punya adik cewek tapi mempermainkan mereka, Abimana!

*

Aku berjalan menyusuri lorong setelah menyerahkan tugas makalah ke dosen diruang kerjanya.

Dari arah berseberangan kudengar seseorang memanggilku.

"Kaira!" aku menoleh. Senyuman terpasang manis di wajahnya. Kak Restu.

"Hai Kak!" kataku setelah dia mendekat.

"Kamu sudah makan siang?" tanyanya.

"Belum!"

"Bagus. Gue boleh traktir!" tawarnya.

Aku berpikir sejenak. Apa Kak Restu tertarik padaku? Kalau iya aku bisa menjadikannya tangkapan yang bagus untuk lolos dari Mas Bimo. Dia dari keluarga kaya bukan?

Hai. Bagaimanapun aku sudah berteman dengan Renata lama, wajar kalo aku mulai licik seperti dia. Jangan salahkan aku.

Dan Kak Restu juga lebih tampan dari Mas Bimo kan?

" Kaira!"

"Ya kak. Ayo!" kataku sambil menyunggingkan senyum.

Kami duduk sambil mengobrol setelah selesai makan di salah satu sudut kafetaria kampus.

Banyak hal yang kami bicarakan.

Aku terlonjak saat seseorang menarik tanganku paksa.

Mas Bimo.

"Pulang!" perintahnya sinis. Mas Bim, seperti orang tak punya tata krama saja.

Aku diseret keluar dari kafetaria ke jalanan dia menyetop taksi dan melemparkanku ke dalam taksi. Menyebutkan alamat rumah kami ke sopir taksi dan menyuruh jalan.

"Jangan ijin kan dia turun sebelum sampai tujuan!" Perintahnya tegas pada sopir taksi.

Aku kesal setengah mati untungnya dia tidak ikut naik bersamaku.

Apa haknya mengaturku.

"Pak aku berhenti di sini saja." Kataku pada sopir taksi setelah sepuluh menit berjalan.

"Tapi mbak. Mas nya mengikuti kita dari belakang loh. Mbak enggak takut?" Katanya sambil melihat spion.

Sial. Dia mengikutiku dari belakang.

Aku berdehem pasrah dan menyandarkan tubuhku ke belakang.

Sampai di depan gerbang aku keluar dari taksi.

"Suruh dia bayar ongkos taksi. Tunggu saja!" kataku kesal.

Aku menunggunya di depan pintu utama sambil berdecak pinggang. Dia pikir bisa mempermalukanku seperti tadi.

Dia hanya melirikku sekilas sebelum membuka pintu dengan tenangnya, mengabaikan amarahku.

"Apa maksudmu tadi!" tantangku setengah berteriak. Dia melepas gagang pintu yang nyaris dibukanya dan menghadapiku.

"Restu bukan orang yang tepat!" katanya datar.

"Kenapa? Karena dia lebih menarik darimu?" lantangku.

"Dia memang lebih menarik. Sayang, tapi Keluarganya tidak lebih kaya dari klan Wijaya." katanya santai. Jadi tentang kekayaan bukan karena yang lain?

"Klannya akan lebih kaya saat dia berkuasa!" balasku.

"Benarkah? Maka tunggulah sampai itu terjadi!" mas Bimo dengan santai melangkah masuk rumah.

Saat itu lah suara dari dalam rumah terdengar.

"Berisik banget sih!"

Mas Bimo yang sudah membuka pintu tercengang sesaat.

Orang itu mengusap mata dan melihat kami satu per satu.

"Juna?"

***