Bab 2
Tak Mungkin Kembali
Bukan hidup adalah pilihan yang kuyakini sekarang. Tapi hidup adalah takdir yang harus aku jalani. Bagaimana tidak jika hidup keluarga kami dipertaruhkan. Maka aku menurut saja apa pun arah hidup yang membawaku kali ini.
Om Nano benar jika aku menikah aku tak perlu lagi bekerja dan bisa fokus ke kuliah aku yang saat ini terbengkalai.
Dan lebih dari itu perusahaan akan terselamatkan. Om Nano dapat menstabilkan finansialnya yang otomatis tante Sarah, Roma dan Ronika tak perlu mengkhawatirkan tentang kelanjutan kehidupannya.
Dan lebih penting lagi mama tak perlu lagi bekerja karena uang akan mengalir dari pengembangan perusahaan dari saham yang kumiliki.
Ini solusi yang bagus dari Pakdhe Gigih. Tapi kenapa dia harus memintaku menikahi Mas Bimo?
Mas Bimo. Saat pertama Om Nano menyebut nama yang tidak asing itu aku sedikit terkejut. Kenapa Mas Bimo? Kenapa bukan Juna?
Bukannya aku tak suka dengan Mas Bimo dan aku lebih menyukai Juna. Tidak.
Mas Bimo lebih seperti kakak bagiku. Dia memperlakukanku benar-benar seperti adik perempuannya. Bahkan dia sering berharap aku kelak bisa bersama dengan Juna agar dia bisa memiliki adik perempuan sepertiku. Dia kelewat jail dan iseng saat kami kecil dia bersama Mas Yudi sering mengerjaiku dan Juna. Itu sebabnya Juna sangat jutek tiap kali keluarga kami berkunjung atau saat keluarga mereka datang ke rumah kami. Mas Bimo tiga tahun lebih tua dariku. Sedang Juna seusia denganku. Aku dan Juna bahkan bersekolah di sekolah yang sama saat SD dan SMP.
Mas Bimo orang yang periang lain dengan Juna yang pendiam. Tapi itu beberapa tahun yang lalu. Sejak aku lulus SMP, aku jarang bertemu dengan mereka. Papa semakin jarang mengajakku berkunjung. Dan untuk main ke sana sendiri aku segan, apalagi melihat gelagat Juna yang makin lama makin jutek dan Mas Bimo dan Mas Yudi yang jarang berada di rumah. Jadi apa kabar dengan keluarga mereka ya? Pakdhe Gigih, Budhe Mai istrinya, Mas Yudi dan istrinya, mas Bimo dan Juna si Jutek.
Setelah lebih dari empat tahun tidak bertemu dengan keluarga Pakdhe Gigih, hari ini mereka datang untuk melamar. Acara berjalan lancar. Aku senang bisa melihat Budhe Mai yang masih bawel dan cantik. Dia menangis saat pertama melihatku dan mama, dia turut merasa kehilangan atas kepergian papa. Dan saat itu dia berjanji akan merawatku dengan baik, kelak saat aku sudah jadi bagian dari keluarga mereka.
Aku melihat mas Yudi dan mas Bimo tapi tidak melihat kehadiran Juna.
Mas Bimo tidak mencoba berbicara apa pun padaku alih-alih menyapaku seperti beberapa tahun lalu dia bahkan tidak melihatku sama sekali. Mungkin dia tidak suka dijodohkan denganku. Dulu dia sering menggoda Juna, bahwa takdirnya menikah dengan ku. Tapi tampaknya hal itu kini berbalik. Mungkin dia merasa getir mengingat candanya dulu berbalik arah. Maafkan aku Mas Bimo.
"Kaira?" Panggil mas Yudi.
"Ya Mas." Aku segera menghampiri Mas Yudi yang berada di teras.
"Aku harap kami tidak memberimu beban yang berat dengan menjadikanmu bagian dari keluarga Gigih Wijaya!" ungkap Mas Yudi dengan senyumnya yang menawan.
"Seharusnya aku yang berterima kasih mau menolong keluarga kami dari guncangan ini." Ucapku tulus.
"Bimo bukan anak yang mudah. Semoga kamu bisa bersabar." Mas Yudi menepuk bahuku kemudian mengusap rambutku seperti dulu kemudian berjalan kembali ke ruang tamu.
Apa maksud kata-kata mas Yudi bahwa Mas Bimo bukan anak yang mudah? Bukankah dia dulu sangat periang dan suka tertawa. Kenapa Mas Yudi berkata begitu?
***
Aku bahkan tak berbicara apa pun dengan Mas Bimo. Dan Mas Bimo juga tak mencoba menyapaku saat acara lamaran kemarin.
Apa yang terjadi pada Mas Bimo? Di mana mas Bimo yang dulu periang? Bisakah orang berubah sedrastis itu dalam waktu empat tahun? Apa yang membuatnya seperti itu?
Aku sedang bergulat dengan pikiran tentang Mas Bimo saat Hp ku berdering. Aku mengangkatnya dengan enggan. Nomor tidak dikenal.
"Halo" sapaku. "Siapa di sana?"
"Gue Bimo!"
"Mas Bimo? Ada apa?"
"Kenapa gue? Kenapa loe enggak minta Juna atau Abi saja?"
"Aku tidak dalam posisi meminta Mas!"
"Benar. Tapi setidaknya jangan melibatkan gue. Jangan berharap lebih dari apa yang sudah loe punya saat ini."
"Aku harap mas Bimo mengerti keadaanku. Keluargaku dalam posisi sulit? Siapa pun yang akan menikah denganku aku menerimanya!"
"Kenapa loe jadi gadis gampangan kaya gitu!!!" Sambungan diputus.
Gadis gampangan. Itukah yang ada di pikiran mas Bimo.
Seketika itu aku menangis. Mengingat bagaimana perjuanganku enam bulan ini. Aku cuti kuliah demi mengurus asuransi papa. Mencari kerja ke sana kemari demi untuk menyambung hidup. Menjual semua barang berharga demi untuk menutupi sebagian hutang perusahaan. Dan sekarang calon suami yang dijodohkan denganku mengataiku gadis gampangan.
Jujur aku lelah menjalani semua ini. Tapi setelah apa yang terjadi apa aku bisa menyerah. Tidak. Aku sudah membuat keputusan. Aku tak mau kembali ke hidup saat di mana aku harus tersesat tanpa pegangan. Biarkan kali ini aku mengikat diriku di keluarga Gigih Wijaya.
***
Semuanya kini tak mungkin lagi kembali. Semua keperluan pernikahan sudah dipersiapkan hanya tinggal menghitung hari lagi pernikahanku dan mas Bimo akan segera berlangsung.
Aku menguatkan hatiku. Aku berhenti menangis saat itu. Sebodo katak Mas Bimo mau menganggap aku apa. Aku hanya ingin hidup lebih mudah.
Persiapan pernikahan berjalan lancar, mama dan Budhe Mai mengurus segala keperluannya. Aku tidak terlibat secara langsung hanya saat fiting baju, memilih kartu undangan dan mengicip katering aku dipanggil itu pun hanya sekedar formalitas semata.
Tidak banyak hal yang bisa kukerjakan menjelang acara itu. Aku sendiri sibuk mempersiapkan kuliahku kembali. Banyak yang harus ku kejar, maklumlah aku sudah satu semester vakum.
Mas Bimo juga tidak banyak terlibat. Bahkan jika tidak diseret Budhe Mai dia tidak mau fiting baju.
Dia hanya datang saat fiting baju terakhir. Itu lah saat aku melihatnya. Dia tampak cuek dan keengganan jelas sekali terlihat dari sikapnya.
Saat itu lah aku mencari kesempatan berbicara padanya. Aku memintanya menemaniku makan malam. Awalnya dia menolak tapi aku berdalih bahwa mag ku akan kambuh. Dengan enggan dia mengantarku kesalah satu restoran di dekat butik tempat kami fiting.
"Kenapa Mas Bimo mau menikahiku?" Tanyaku saat kami sedang menunggu pesanan datang.
"Apa hal itu perlu gue jelaskan?!" Ucapnya ketus. mana gerangan perginya keramahannya?
"Tidak. Lupakan saja! Aku berterima kasih Mas Bim mau menolong keluargaku." Ungkapku tulus.
"Anggap saja kita mengambil keuntungan dari situasi ini."
Aku tak berkomentar dengan ucapannya. Aku bingung kenapa Mas Bimo berkata seperti itu. Sebelum aku sempat melontarkan pertanyaan lagi pelayan datang sambil membawa pesanan kami.
"Makanlah. Katanya mag loe bisa kambuh kalo telat makan!" Suruhnya. Aku menikmati makananku dan mas Bimo hanya menikmati minumannya saja. Dia memang tidak memesan makan. Selesai makan mas Bimo langsung mengajakku pulang. Katanya dia jengah berlama-lama di tempat umum. Aku menurut saja.
Dia menghentikan taksi dan menyuruhku cepat pulang. Itukah calon suamiku?