Bab 3
Masa Bodoh atau Manusia Bodoh
Jadi di sini lah aku sekarang. Dipajang selama lebih dari lima jam. Menyenangkan? Oh, lupakan saja. Seindah apa pun gaunku saat ini. Atau secantik apa pun make up ku sekarang. Pudar dan semuanya tak berguna. Aku bersumpah tak mau lagi mengulangnya.
Aku akui pernikahan ini adalah harapanku dan mungkin juga hampir seluruh kaum hawa. Aku mengenakan gaun yang indah, make up yang menawan dan semua orang datang untuk mendoakan ku dan Mas Bimo agar hidup bahagia dalam balutan pesta yang mewah dan megah.
Tapi nyatanya semua tak sempurna. Karena harapanku menikah dengan orang yang kucintai punah sudah seperti dinosaurus- jika makhluk itu memang nyata.
Akhirnya aku hanya bisa memutuskan untuk masa bodo.
Toh Mas Bimo cuek dan santai.
Dia tersenyum menyapa setiap tamu yang mendoakan kami. Senyum itu palsu. Nyata sekali. Walaupun aku juga demikian. Tapi senyuman yang dibuatnya amat kentara.
"Berhentilah berpura-pura. Bersikap wajarlah!" Tegurku saat tamu agak lengang.
"Teruskan saja sandiwara loe dan jangan banyak berkomentar!" Ucapnya lirih tepat di telinga kananku.
Sekali lagi aku hanya bisa pasrah. Aku menyerah saja. menghadapi Mas Bimo. Masa bodo. Dia terlalu jauh untuk kumengerti.
Beberapa kali aku mencoba bicara padanya. Tapi jawabannya selalu jutek dan menyakiti hati. Aku rasa Mas Yudi benar Mas Bimo bukan manusia yang mudah dihadapi.
Semua acara berjalan lancar mulai dari akad nikah sampai acara resepsi sekarang. Mas Bimo cukup kooperatif. Tidak banyak ogah-ogahannya seperti saat mempersiapkan acara ini.
Hari pernikahan ini serasa siksaan jiwa dan raga. Aku capek bukan main. Sesampainya di kamar hotel tempat kami menginap. Aku langsung mandi dengan air hangat. Seluruh tubuh aku hujani dengan air dari pancuran.
Aku mengenakan piamaku dan langsung masuk ke dalam selimut.
"Well, jadi loe sudah lelah main nikah-nikahan?" Tegur Mas Bimo melihatku meringkuk di bawah selimut.
"Biarkan aku istirahat. Dan jangan mencoba bicara padaku!" Ucapku ikut jutek.
"Sayangnya permainan gue belum selesai dan kenapa loe sudah mau tidur aja?" Katanya sarkastis.
Aku tak sudi merespons ucapannya. Yang ada akan sangat menyakitkan saat dia membuka mulutnya kembali menimpali jawabanku. Lagi pula aku terlalu lelah untuk hanya sekedar bicara.
"Bagus! Belum sehari loe sudah mulai berani!" Mas Bimo mengeluh lalu melangkah menuju kamar mandi.
Aku hampir sampai ke ambang kegelapan saat Mas Bimo mengguncangkanku dan mendudukkanku dengan tiba-tiba.
"Loe pikir loe bisa tidur nyenyak Bocah!!!" Suaranya penuh amarah.
Aku sadar dan geragapan.
"Apa yang kamu inginkan dariku. Bukankah tidak ada? Lalu kenapa aku tidak boleh tidur?" Jawabku setengah kesetanan juga.
"Haha" tawanya penuh kebencian.
"Well, jadi ini yang loe lakukan saat malam pertama. Apa mama loe enggak jelas in apa yang seharusnya loe lakukan saat malam setelah pernikahan?!" Mas Bimo menatap penuh hinaan.
"Hem. Apa yang Mas Bimo inginkan dari gadis yang sedang kelelahan!" tanyaku sambil mengancam.
"Cepat mati. Bisa?!" Dia berkata penuh amarah sambil merengut daguku dan menekannya dengan kasar. Memaksa kepalaku mendekat ke kepalanya dengan kasar.
"Aduh!" Teriakku kencang.
"Hah. Loe sendiri yang memilih jalan ini! Jadi bersiaplah menderita!" Ancamnya. Wajahnya hanya berjarak sejengkal dengan wajahku. Wajahnya menakutkan. Aku pasrah. Jika ini memang akibat yang harus kutanggung. Mas Bimo yang kasar dan arogan. Sisi ini ada. Mas Bimo yang ramah dan penyayang yang kukenal. Sisi itu sudah musnah terbang menjadi debu yang terbang terbawa angin.
Aku meneteskan air mata. Tak mengeluh dengan sikapnya.
Dia masih tersenyum menghina.
"Kenapa nangis? Loe menyesal kan main nikah-nikahan kaya begini?"
Aku menggeleng. Tidak. Sampai detik kapanku aku berjanji pada diriku sendiri aku tak akan pernah menyesal.
"Bagus!" Dia menekan kembali daguku dengan tangannya yang kuat dan melemparkan tubuhku menjauh darinya.
"Mas Bimo maafkan aku. Melibatkanmu dengan ini. Aku tahu kamu marah. Jadi apa pun yang kamu lakukan aku akan menerimanya." Ungkapku menghapus air mata yang masih tersisa.
"Itu harga yang pantas! Tidurlah sana!" Dia bangkit berdiri menjauh dari ranjang. Melewati ranjang dan pergi membanting pintu.
***
Apa yang diinginkan mas Bimo sebenarnya dengan mengamukku di malam pertama. Andai saja aku bisa bicara dengan dia dengan lebih berdamai dengan karakternya. Dia diam dan seakan bisu, menyembunyikan semua keinginannya dari dunia. Andai aku bisa mengapai isi di otak dan hatinya.
Aku bernasib malang terjebak dalam pernikahan ini. Dilain sisi mas Bimo pasti lebih malang. Setidaknya aku terbebas dari kebutuhan finansial dan itu adalah keinginanku.
Apa yang melatarbelakangi keputusan mas Bimo. Serela itukah ia menolong keluarga kami? Ditilik dari sifatnya yang angkuh dan arogan itu, aku meragukannya.
Salah satu dari kami akan menyerah dalam pernikahan ini. Dan aku bersumpah itu bukan aku. Apa yang akan dilakukan Mas Bimo padaku aku tidak akan ambil pusing. Jika dia bersikap kejam aku akan bertahan, atau dia mengacuhkanku aku akan Sebodo katak, aku bersyukur jika dia akan bersikap baik, itulah yang aku harapkan. Tapi hal itu rasanya tidak mungkin.
Malam itu berlalu dengan cepat. Mungkin karena aku lelah dan langsung jatuh tertidur dengan berbagai tekanan di dalam hatiku. Aku tidak bisa mengungkapkannya pada siapa pun. Biar ini kujalani, ini lah kemauanku.
Pagi harinya aku bangun dengan rasa pegal di seluruh tubuh. Kutelan beberapa obat dan vitamin agar aku dapat bertahan pagi ini. Aku memesan sarapan dan makan. Baru setelah itu aku mandi.
Keluar dari kamar mandi kulihat Mas Bimo sedang duduk menikmati sarapannya dengan tenang aku membuang muka. Rasa kesalku karena perlakuannya tadi malam belum menghilang.
"Bersiaplah kita akan check out! Gue mau mandi dulu!" Ucapnya singkat ketika melihatku keluar dari kamar mandi dia berdiri dari tempat duduknya mengakhiri sarapannya.
Aku tidak menyahut ucapannya karena ya aku masih kesal dengannya.
Tapi tetap saja aku bersiap-siap juga buat pulang.
Aku membereskan barang-barangku dan barang-barang Mas Bimo juga.
Tidak banyak pula barang bawaan kami. Hanya baju pengantin kemarin dan baju yang kukenakan sekarang.
"Sudah siap?" Mas Bimo keluar dari kamar mandi sambil mengacak acak rambutnya yang basah. Aku memberikan sisir padanya. Dia menyisir rambutnya sekilas kemudian melemparkan sisirnya ke atas ranjang tanpa berkata apa pun. Dia mengambil tas yang kubereskan tadi dan melangkah menuju pintu.
"Mas Bim!" panggilku lirih.
"Apa?" dia menoleh dengan enggan.
"Bisakah kita bicara?" Aku masih sedikit ragu.
"Apa yang perlu dibicarakan?" tanyanya kembali berjalan. Aku mengintilnya dari belakang.
"Keinginanmu dengan pernikahan ini." Jawabku mengeluarkan isi pikiranku.
"Gue tidak menginginkan apa pun!" Sergahnya.
"Setidaknya katakan apa yang Mas Bim harapkan dengan situasi ini?" Kataku terus memaksanya. Dia memencet tombol lift dan tidak menghiraukan ucapanku. Aku terdiam sampai di basemen tempat mobil mas Bimo terparkir.
"Katakan Mas!" aku masih belum menyerah.
"Kenapa loe terus memaksa?!" kesalnya membuka mobil dan masuk. Aku masuk dia sebelahnya.
"Bukankah semalam sudah gue tunjukkan bagaimana rasanya dipaksa dan diintimidasi." Sambungnya kesal.
Ketika dia mulai menstater mobil aku mencabut kuncinya.
"Katakan!" Ancamku.
"Kai! Shit!!" Dia membanting tangannya di atas setir. Dia diam lama kemudian mulai melotot dan siap meraih bagian tubuhku.
"Stop! Aku tidak suka Mas Bim berbuat ini! Bicara dengan mulutmu bukan dengan tanganmu!" Aku beringsut ke samping sebelum dia sempat menarik dagu atau bagian tubuhku yang lain.
Dia tampak frustrasi.
"Mati. Kematian loe atau kematian gue! Bukankah sudah gue katakan sebelumnya Hah?"
"Kematian bukan solusi!" aku mencemoohnya.
"Benar. Tapi hanya itu yang gue inginkan saat ini." Dia begitu putus asa.
"Lalu jika aku mati apa semuanya akan selesai?" Aku prihatin dengan getir dari ucapannya.
"Tidak. Baiknya memang gue aja yang mati. Lebih baik bunuh diri dari pada gue jadi pembunuh." Dia bersandar pada joknya merebahkan tubuhnya.
"Aku tak akan mengizinkanmu mati. Dan aku pun tidak mau jadi korban pembunuhan." Ucapku sarkastis.
"He he " Dia tersenyum getir.
"Baiklah, Urus saja urusan loe sendiri dan jangan campuri urusan gue!" Kecamnya.
"Baik, aku bisa mengerti."
"Carilah keluarga yang lebih kaya dari keluarga Wijaya dan pergilah." Sarannya ironis.
"Dan sebelum itu terjadi jangan pernah menceraikanku!" Ancamku kemudian.
"Gue enggak akan menceraikan loe. Silakan taruh gugatan cerai loe saat loe menemukan calon yang lebih kaya dari keluarga Wijaya!" Jelasnya memastikan.
"Itu yang Mas Bim inginkan agar aku cepat pergi darimu?" Tanyaku lebih kepada memastikan.
"Ya!" ketusnya "Sekarang kembalikan kuncinya kita harus mengambil baju- baju loe di rumah mama loe." Perintahnya. Aku segera memberikan kunci mobilnya. Mas Bimo melajukan mobilnya dengan tenang. Aku hanya melihatnya sekilas kemudian mengalihkan pandanganku ke jalanan. Sampai kapan aku akan mengerti Mas Bimo. Perjalanan hidupku diakhiri dan diawali lagi sekarang.
Inilah aku sekarang. Kaira. Kaira yang hidupnya tak diinginkan Mas Bimo.
Dan dia lah Mas Bimo yang masih belum juga kumengerti, dia juga tak menginginkan hidupnya.
Dilandasi apa pernikahan ini?