Bab 4
Istana Bonekaku
Rumah keluarga Wijaya, aku harus membiasakan tinggal di tempat yang sudah lebih dari sebulan aku tinggalin ini.
Budhe, ah tidak lagi, sekarang aku menyebutnya mama Mia, sangat memanjakanku dan dia melarangku membantu pekerjaan di rumah ini. Hidupku kini nyaman dengan dilayani pegawai di rumah ini.
Apakah ini baik atau buruk tinggal di keluarga besar Gigih Wijaya dan menjadi bagian dari keluarga ini?
Wijaya yang sangat bersentuhan dengan kemewahan. Hidup mewah bukanlah menjadi tujuanku tapi kalau itu bonus yang kudapat dari pengorbananku menyelamatkan masa depan perusahaan keluargaku aku dengan senang hati akan menerimanya.
Hidupku kembali ke saat dulu sekali ketika papa masih ada dan masih sehat walafiat. Tak ada kesulitan apa pun selama bisa diselesaikan dengan uang.
Tapi apakah ini benar adalah keberuntungan atau malapetaka yang baru?
Mama Mia sungguh sangat sayang kepadaku dia menjadikanku boneka Barbienya. Mengajakku berbelanja setiap waktu memenuhi lemari pakaianku dengan berbagai macam outfit. Dari buatan butik sampai rancangan desainer terkenal. Mulai dari tas, baju, sepatu dan banyak aksesoris. Mulai dari yang bergaya klasik sampai yang benar-benar kasual.
Rasanya senang bisa dimanjakan seperti ini. Tapi kadang ini membuatku harus meninggalkan kelas di kampus.
Yah mau dikata apa?
Hidupku mewah dan sangat jauh dari kata kekurangan finansial.
Apa aku merasa senang?
Pertanyaan retoris.
Tapi bagaimana dengan pagi yang kulewati sekarang ini.
Apakah ini juga membuatku senang?
Ketika fajar menjelang dia datang dengan bau alkohol yang menguar. Masuk ke dalam kamar dan meneriakkan namaku sekuat sisa tenaganya.
Dia jatuh tepat di bawah ranjang dan membuatku muak.
Aku bangkit dari ranjang dan menanyakan keadaannya.
"Apa loe pikir gue baik-baik saja!"
Selalu itu ucapannya.
Dia lalu memukul-mukul dadanya dan berteriak ingin mati saja.
Mati saja kalau itu maumu!
Apa aku berani berucap begitu.
Aku bisa langsung mati dicekiknya kalau aku berkata begitu.
Aku sudah pernah menyuruhnya mati dan memakinya dan yang terjadi dia menjambak rambutku dengan kekuatan entah dari mana dan saat hendak menghantamku ke tepian ranjang rasa mualnya datang.
Oh itu menjijikkan tapi muntahannya menyelamatku dari kematian. Sungguh sangat ironis memang.
Cukup mengenang saat-saat ketika ajal nyaris menjemputku itu.
Yang kuhadapi sekarang adalah menghindari ajal itu datang.
Aku mendekatinya dan memapahnya menuju ranjang.
"Key... Key... yang malang!!!" seringainya sambil mengarahkan tangannya ke wajahku.
"Yah!"
Dia menangkup wajahku dan menatapku dengan rasa benci dan dendam. Dia mengelus pipiku saat aku melepaskan jaket yang dikenakannya.
Dan kemudian tangannya jatuh ke kasur dan nafas teraturnya mulai keluar.
Hah hari ini aku lega tak kena muntahannya.
Karena baunya benar-benar membuatku jijik.
Sebenarnya berapa liter alkohol yang ditenggaknya.
Belagu banget dia ini, sudah tahu tidak bisa minum masih saja mabuk-mabukan.
Aku melepas sepatu Nike yang dikenakannya setelahnya aku menarik selimut ke tubuhnya.
Tidurlah sampai matahari tinggi kalo perlu tak usah bangun lagi mas Bimoku tersayang. Harapku sambil memasang senyum sinis ke arahnya.
Aku menyalakan lampu belajarku di salah satu sudut di kamar ini. Membuka laptopku dan berusaha menekuni tugas kuliahku. Mau tidur lagi juga percuma apalagi tidur dekat dengan bau menyengat itu.
Aku malah melamun di tengah mengerjakan tugasku.Mengenang kembali kebersamaanku bersama mama dan papa.
Aku merindukan mereka.
Aku meraih Hp dan beranjak keluar menuju kamar mandi di ruang tengah.
"Pagi Mah!" sapaku pada mama setelah aku tersambung dengannya.
"Pagi Kai. Kamu pagi-pagi begini sudah bangun?" suara diujung sana tampak khawatir. Mana bisa aku cerita tentang kenapa aku terbangun begitu pagi.
"Iya. Aku mimpi mama jadi begitu terbangun aku langsung hubungi mama. Mama baik-baik saja kan?" ucapku penuh kedustaan.
"Mama baik-baik saja. Itu Cuma mimpi Kai!"
"Yah. Syukurlah kalo mama baik. Gimana Surakarta Mih?"
"Di sini Mama merasa tenang Kai. Mama sekarang ada di Karangpandan loh Kai lagi negosiasi tanah di sini." Ceritanya bahagia.
"Oh ya. Mama serius mau jadi petani?"
"Doa kan mama ya Kai."
"Tentu Ma. Kai kangen mah!" ucapku serak menahan tangis yang ingin pecah.
"Oh Kai sayang. Mama juga kangen. Kamu tidak lagi sakit kan Kai?" Cemasnya.
"Kai sehat kok Mah. Sudah ya Ma. Kai ada kuliah jam delapan jadi Kai harus siap-siap." Pamitku.
"Yah. Titip salam buat mbak Mia ya."
"Hem. Selamat pagi mah!"
Aku membekap mulutku dan menahan isak.
Seorang Kaira tidak boleh lemah.
*
Jadi keluarga macam apa ini?
Aku sekarang duduk di meja makan. Hanya ada Papa Gigih, mama Mia dan aku.
Mas Yudi dan istrinya punya rumah sendiri di daerah Kelapa Gading, Bima masih molor dampak dugem semalam, dan Juna? Aku bahkan belum melihatnya selama aku tinggal di sini.
Menurut desas-desus yang aku dengar dari bisik-bisik pegawai di rumah ini yang jumlahnya nyaris tidak bisa dihitung dengan jari, Putra bungsu tuan rumah ini kabur dari rumah setelah menyelesaikan ujian nasionalnya yang sempat gagal.
Entah apakah itu benar atau tidak.
Tapi dari berita yang kudengar dari beberapa media, Juna pergi kuliah di luar negeri.
Dan mana yang bisa dipercaya?
Isu tidak jelas atau berita dari media yang ditunggangi banyak kepentingan.
Tante Mia sendiri enggan bercerita saat aku bertanya tentang keberadaan Juna, teman masa kecilku itu.
Abaikan tentang mereka semua.
Aku menikmati sarapanku pagi ini, Sandwich isi daging asap dengan segelas jus apel yang sangat cukup untuk menganjal perut pagi ini. Aku makan dengan santai menemani kedua mertuaku sarapan yang tanpa diselingi obrolan. Sebenarnya siapa yang anak mereka.
Aku?
Aku bisa merasakan kesepian mereka.
Ya, aku anaknya juga. Mengingat statusku sebagai istri dari anaknya.
"Kamu mau bareng papa Kay. Atau mau Umar aja yang anter."
Papa berdiri dari duduknya setelah mengelap bibirnya.
"Sama pak Umar aja Pa. Nanti papa kesiangan. Sudah jam enam ini. Pasti sudah mulai macet." Tolakku halus karena sebenarnya aku hanya ingin menikmati makananku tanpa tergesa-gesa.
"Oke. Mey aku berangkat. Hari ini apa kegiatanmu, ke yayasan atau ke acara murahanmu itu..." dan bla, bla, bla obrolan mereka tak mau aku masukan ke pendengaranku.
Aku dengan santai meminum jus apel yang disiapkan juru masak. Mbak Ratih Setyani seorang lulusan D3 jurusan kulineari.
Mama Mia kembali duduk. Aku tahu apa yang hendak ditanyakannya padaku.
"Bimo pulang jam berapa semalam Kai?" tanyanya penuh kekhawatiran. Entah khawatir padaku atau pada anak laki-lakinya.
Aku sendiri jadi prihatin melihat kekhawatirannya.
"Hampir mau subuh mah." Jawabku.
"Kamu enggak diapa-apain?" ucapnya sambil mengamati sekujur tubuhku takut aku terluka seperti saat terakhir bibirku pecah gara-gara kena tampar atau saat tangan aku memar kena cengkeraman atau saat leherku lebam karena cekikan.
Hal-hal mengerikan yang bikin bulu kudukku meremang.
"Enggak mah. Semenjak teguran dari papa ke mas Bimo dia sudah enggak berani lagi sakiti aku." Tukasku.
Memang mas Bimo sedikit menjinak beberapa hari ini setelah teguran dari papa Gigih. Aku masih ingat benar apa yang diucapkan papa Gigih waktu itu.
'Bimo apa yang kamu lakukan pada menantuku! Berani kamu lukai dia lagi, bukan lagi kuseret kamu ke penjara, aku sendiri yang akan ambil tindakan.' Kata papa saat itu mencengkeram kerah Bimo yang sedang tertidur dan memaksanya tersadar saat mendapati luka lebam di sekujur tanganku akibat bantingannya.
'Papa mau bunuh aku?'
Sahut Mas Bimo dengan seringai menantangnya.
'Bahkan kematian pun terlalu baik untukmu!' tandas papa Gigih sambil melepaskan Mas Bimo.
"Syukurlah Kai. Aku berpikir Bimo akan berubah setelah menikah. Ternyata kelakuannya tak berubah." Kata mama Mia penuh sesal.
"Kenapa Mas Bimo bisa seperti ini Ma? Dulu dia lembut dan penyayang." Kataku mengenang.
Mama hanya tersenyum pahit.
"Entahlah Kai. Mama juga bingung." Mama beranjak dari tempatnya duduk dan memanggil Mbak Sunarti, menyuruhnya membereskan meja.
"Mah?" panggilku dan mama menoleh.
"Aku tak pernah liat Juna?" Tanyaku sambil lalu karena aku ikut berdiri dan mengemasi barangku ke tas selempang.
"Juna?" katanya bingung. "Terakhir kabar dari orang suruhan Papa dia di Korea. Ah entah apa maunya anak itu Kai." Desah mama Mia.
"Oh. Kai berangkat mah." Kataku pamit.
"Jangan terlalu sedih Ma. Kai akan memenuhi harapan mama Mia. Jadi anak yang baik dan tidak membuat malu keluarga. Tidak seperti mas Bimo atau si Juna!" ucapku dan aku tersenyum hangat pada mama Mia.
"Makasih sayang!"
*
"Mas masih di , tumben?" heranku sambil melihat jam ditanganku melihat mas Bimo masih asyik memainkan Hp ditangannya.
"Mama enggak kasih tahu! Hari ini makan malam keluarga Wijaya!" katanya. Mas Bimo berdiri dari tempatnya duduk dan berjalan tanpa mengalihkan perhatiannya dari Hp.
"Merepotkan!" keluhnya.
Merepotkan?
Kata yang tepat atau ada padanan kata yang lain yang lebih baik.
Suamiku ini sebenarnya bagaimana?