Bab 5
Kerajaan Bernama Wijaya
Aku berdiri di rumah yang tak kalah mewah dengan rumah mertuaku. Setelah Mas Bimo memarkirkan mobil yang kita gunakan ke carport dia berjalan menyejajarkan langkahku.
"Jaga sikap loe! Diam akan lebih baik!" tegasnya sambil berbisik.
"Bim, jangan berulah lagi!" mama Mia melihat Bimo sekilas dan dia hanya mengangkat acuh bahunya.
Jieh dia mau berulah dan aku disuruh jaga sikap?
"Santai saja Kai. Semua akan berjalan baik." Kata Mama Mia menyemangatiku yang tampak tegang.
Berjalan baik dengan runtutan tanya ini dan itu dari kerabat mereka? Ayolah Mama Mia.
Sambil menunggu semua anggota keluarga berkumpul kami memilih duduk di serambi sambil membuka obrolan.
Om Damar terlihat sibuk dengan sambungan teleponnya.
Dan istrinya Bulik Tari mengobrol hangat dengan mama Mia tak terlihat aroma persaingan di antara mereka yang ada hanya saling mengerti dan memberi pengertian.
"Sepuluh Bi. Tak pakai tapi atau Papa cabut semua fasilitas!" Kata Om Damar tegas di sambungan teleponnya dan segera menutupnya setengah frustrasi.
"Ingat tekanan darahmu Mar?" Ucap Papa Gigih saat memperhatikan emosi adiknya yang kini duduk satu kursi dengannya.
"Mas menghadapi Abi bikin aku jengkel! Kenapa dengan anak jaman sekarang!" keluhnya. Papa menawarkan rokok dan segera diraih Om Damar.
"Mar. Abi lebih baik daripada dia dan ditambah adiknya." Kata papa santai sambil melirik Mas Bimo yang sedang menikmati rokoknya di sudut kolam renang.
"Mas tidak merasa kesal apa?" tanya om Damar penasaran.
"Kalau aku bersikap kaya kamu, aku sudah mati dari kemarin." Jawab papa santai.
Dan percakapan adik kakak itu mengalir terus menceritakan kenakalan anak-anak mereka dengan sesekali gelak tawa. Mereka terlihat aneh dan konyol jika mengingat mereka adalah orang-orang yang harusnya terlihat serius dan konservatif.
Aku memilih bangkit dan menyusuri sudut rumah sambil menunggu Mas Yudi dan istrinya, Abi dan Sang tuan rumah yang masih belum tampak padahal malam sudah mulai beranjak.
"Sepupu ipar!" sapa Abi sambil melambaikan tangannya.
Aku dan Abi satu angkatan bahkan kami satu kampus dan satu fakultas untungnya tidak satu jurusan.
"Hai Bi! Kamu sendiri?" sapaku.
"Mau sama siapa? Gue belum mau ambil risiko macam-macam!" sergahnya.
Aku hanya tersenyum mengejek. Si playboy kampus ini punya banyak cewek di daftar antrean kencannya. Ya, bukan karena rayuan atau tingkah laku ajaibnya. Abi itu tinggi tegap dengan sorot mata yang tajam dan senyumnya pasti sukses membuat semua cewek lunglai. Tubuhnya tidak bisa dibilang kurus tapi tidak bisa dibilang berisi. Pas.
Lain halnya dengan Mas Bimo dengan tubuh kurus kering dan nyaris tinggal tulang. Abi dan mas Bimo sama tingginya memiliki garis wajah dan warna kulit yang hampir serupa, senyum dengan tekuk khas klan Wijaya. Jika Abi punya raut wajah santai Mas Bimo muram. Abi tidak berusaha menyembunyikan apa pun dari dunia, suasana hatinya terekspos jelas sedang mas Bimo punya ekspresi tertutup dan berusaha menyembunyikan kekesalan dalam hidupnya.
"Playboy cap garam!"
"Setidaknya ada rasanya!"
Kami lalu tenggelam dalam canda layaknya saudara.
"Hai Bim!" teriaknya saat menemukan sosok Bimo.
Padahal dia hendak menyapa papa dan mamanya serta Pakdhe dan Budhe nya.
Dasar Abi.
"Abimana Sapto Wijaya!" tegur Om Damar.
Abi menyengir lalu berjalan ke arah kumpulan orang tua itu dan menyapa mereka setelahnya baru mendekat ke Bimo. Aku sendiri memilih meninggalkan mereka dan menyibukkan diri dengan sosial mediaku.
Sepuluh menit kemudian sang tuan rumah datang, Kakek Wijaya dengan wajah bersalah karena seharusnya dia menyambut kami malah datang belakangan.
"Damar masih yang paling rajin!" seloroh papa Gigih.
Kami masih menunggu makanan disiapkan di atas meja makan saat akhirnya anggota keluarga yang lain datang Mas Yudi dan istrinya.
"Kebiasaan?" sindir Abi.
"Hai Bi! Masih bagus aku datang!" sahutnya cuek.
"Ya. Bagus buatmu mas. Bukan buatku!" timpalnya lagi.
"Sudahkah berdebatnya?" Kata Kakek.
Mereka lalu terdiam.
"Mar giliranmu!" dengan segera Om Damar paham dan segera berdehem.
"Alhamdulillah kita masih berkumpul. Sebelum menikmati mari sejenak mensyukuri karunia-Nya. Kita masih bisa berkumpul dan makan malam bersama. Hal sederhana yang kadang kita abaikan tapi jalan yang benar akan selalu menjadi kebaikan untuk kita. Mulai."
"Amin. Selamat makan!"
Kami lalu makan dengan tenang. Hanya denting sendok yang beradu dengan piring yang terdengar.
Sepertinya sudah jadi aturan. Dilarang bicara saat makan.
Tak beberapa lama satu persatu anggota keluarga selesai makan.
"Gimana perkembangan Juna Gih? Dia merusak sahamku!" tanya Kakek tua yang masih sangat sehat itu.
"Masih di Korea. Kata orangku dia membeli tiket ke Singapura kemarin. Bukan hanya sahammu pah." Jawab Papa Gigih sambil menyesap minumnya.
Kakek hanya mangut-mangut.
"Dan kamu Bimo?" Lanjut kakek tua itu sambil melihat aku dan mas Bimo.
"Aku kenapa Kung?" mas Bimo balik bertanya.
"Sudah bosan jadi pembangkang? Aku pernah bilang bukan, jangan nanggung-nanggung kalau sama bapakmu itu!" kata kakek meremehkan.
Mas Bimo hanya tersenyum kecut memandang Akungnya itu.
"Selesaikan pendidikanmu segera. Dan segera kerja. Apa pun! Belajar dari bapakmu atau Om kamu itu. Kalau tidak ya sama masmu. Atau terserah kamu mau berguru dengan siapa. Aku tak suka keturunanku hidup bergantung!" nasehatnya bagai perintah.
Abi melirik Bimo mengejek.
"Ya!" Jawab Bimo pelan.
"Buang saja nama belakangmu kalau kamu masih begitu." Tegasnya. "Yudi!"
"Ya Kung!" sahut Mas Yudi segera mengalihkan pandangannya dari istrinya ke Kakek.
"Bulan depan siapkan makan malam untuk kami. Tentukan sendiri harinya. Aku ingin makan di rumahmu." perintah Kakek.
"Ya Kung. Aku akan mempersiapkan semuanya!"
"Abi!" Giliran Abi yang jadi sasaran.
"Ya Kung?" patuh Abi.
"Belajar yang benar. Berita apa itu? Jangan pacaran dengan Selebriti! Hindari pemberitaan yang merepotkanku dan bapakmu! Kamu pikir saham yang stabil Cuma untuk kepentingan Keluarga kita. Beribu kepala keluarga bekerja untuk kita, Abi. Berpikirlah luas!" nasihat kakek.
"Oke Akung!"
"Semua menantu ikutlah denganku ke atas. Ada titipan dari mendiang istriku dia atas." Kakek berdiri dari singgasananya dan melangkah menaiki tangga.
Beberapa petuah diberikan kepada kami para anak menantu dan cucu menantu sebelum kakek menyerahkan beberapa kotak perhiasan yang perlu kita jaga yang adalah titipan mendiang istri kakek.
"Rawatlah dengan bijak!"
Tuturnya sebelum mengakhiri pertemuan itu untuk bergabung lagi ke serambi bersama anggota keluarga lain.
Aku duduk bersebelahan dengan kakak iparku Mbak Farah dan terlibat obrolan sementara mama dan Bulik juga asyik mengobrol tentang yayasan yang tengah mereka kelola. Mas Yudi, Bimo dan Abi tampak sedang bergurau sambil menghisap rokok mereka di gazebo.
Kakek, papa dan Om aku tak tahu mereka berada di mana, katanya ada sedikit urusan bisnis keluarga.
"Gimana kesanmu Kai. Pertama kali berkumpul. Seperti yang kamu bayangkan?" Tanya mbak Farah.
"Jauh dari ekspektasi ku mbak. Aku kira bakal dapat tatapan-tatapan mengerikan?"
Mbak Farah tersenyum samar.
"Persis kaya aku dulu."
Kami lalu bertatapan dan canda kami pecah. Meluapkan imaji yang pernah hinggap di pikiran tentang klan wijaya.
Keluarga ini demokratis tapi lugas. Aku tidak tahu bagaimana keluarga ini terbentuk dan terdidik.
Apa ini casing mereka atau inilah mereka apa adanya. Berlaku sesuai dengan kodrat dan naluri. Atau adakah hal yang aneh? Bahkan aku merasa nyaman. Kecuali tatapan Mas Bimo.
Tetap dialah yang membuatku tidak nyaman berada di kerajaan Wijaya. Sampai kapan aku juga tak tahu. Neraka atau surga tempatku sekarang.
*
"Jadi kapan kamu akan kembali ke kampus? Skripsimu harus segera kamu selesaikan." Ucap Papa dalam perjalanan pulang pada mas Bimo.
"Entah!"
"Benar kata Bapak, Buang saja nama belakangmu itu!" gerutu Papa.
"Aku siap kok!"
"Dan melempar usaha keras kami!" gusar Papa.
"Biarkan aku menyetir Pa!" geram Mas Bimo sengit.
Anak macam apa suamiku ini?