Chereads / Bukan Salah Istri Kedua / Chapter 4 - Bab 4 Saya Akan Melakukannya

Chapter 4 - Bab 4 Saya Akan Melakukannya

Tidur Asha tidak nyenyak. Hari sudah hampir tengah malam dan dirinya masih terjaga di ruang istirahat dokter yang ada di lantai tiga. Bersama beberapa rekannya yang sedang bergantian istirahat ketika bertugas jaga malam, Asha memilih untuk tidur di sana. Mengistirahatkan tubuhnya yang sudah bekerja seharian tanpa henti sambil menyiapkan dirinya untuk memeriksa kondisi Andra yang terbaring di ICU.

Asha menelentangkan tubuhnya. Menarik selimut sebatas dada dan memandangi langit-langit yang tertangkap inderanya. Tempat tidur susun itu cukup nyaman untuknya menyendiri. Merasakan ketenangan dalam keheningan malam itu.

Bagaimana mungkin kamu bisa mengalami keadaan ini? Kamu dulu sangat sehat. Kamu rajin berolahraga bahkan kamu yang paling cerewet mengingatkan aku tentang pentingnya berolahraga. Mustahil rasanya mendapati kamu menjadi pasien dengan kondisi gagal jantung seperti ini, batin Asha sambil sesekali berusaha memejamkan matanya.

Sulit untuk berdiam diri saat ini. Ketika semua rekanku pulang beristirahat, aku malah berakhir di sini. Seharusnya aku tidak perlu melakukan hal ini. Tapi setelah tahu bahwa kamu adalah salah satu pasien yang memerlukan pengawasan khusus, aku pun tak bisa menahan diri. Meskipun secara teknis kamu bukan pasienku, aku tetap bertahan berharap kamu dalam kondisi stabil sampai mendapatkan donor ginjal yang sesuai. Aku akan tetap mengawasi keadaanmu. Baik sebagai dokter maupun teman lamamu, monolog Asha dalam batinnya.

"Pasien ICU 4 baru saja mendapatkan tambahan dosis," ucap salah seorang dokter magang yang sepertinya baru kembali usai memeriksa pasien. Asha masih bisa mendengar percakapan dua dokter perempuan yang usianya lebih muda dari Asha itu. Terlebih ketika membahas mengenai pasien ICU 4 yang tidak lain adalah Andra. Asha rasa dokter magang itulah yang diminta dokter Panca untuk mengawasi kondisi Andra mala mini sebab dokter Faisal yang seharusnya bertugas kini sedang ada seminar di tempat lain.

"Ada apa? Kondisinya menurun?" tanya temannya sambil terdengar melenguh meregangkan tubuhnya.

"Iya. Beberapa waktu yang lalu sempat drop sebentar. Kemudian dokter Kafa berkata untuk memberikan dosis lebih. Jadi aku menambahkan dosisnya dan keadaannya kembali normal."

"Dokter Kafa? Memangnya dia masih di rumah sakit?"

"Iya. Dia tadi pulang karena jam kerjanya sudah usai. Tapi dia bilang ia perlu kembali lagi sebab besok ada operasi pagi dan ia bertugas mendampingi dokter Asha."

"Begitu rupanya. Ya sudah, kita istirahat saja dulu," ucap dokter magang itu kemudian beristirahat di kasurnya masing-masing.

Asha yang tadinya sudah memejamkan mata, kini malah kembali terjaga. Ia duduk kemudian mengikat rambutnya dan meraih jaket yang tergeletak di dekat bantal. Perempuan itu turun dari tempat tidur susun dan keluar dari ruang istirahat.

Pikirannya tentang Andra benar-benar tidak dapat tenang malam itu. Ia harus memastikan sesuatu supaya ia menjadi lebih tenang. Setidaknya itu bisa menjadi pilihan alternative saat kemungkinan terburuk terjadi.

Asha pergi ke ruang pemeriksaan. Berbicara dengan dokter yang bertugas yang sudah ia kenal sejak lama.

"Tolong periksa saya," pinta Asha dengan sungguh-sungguh.

Dokter itu mengerutkan dahinya bingung dengan permintaan Asha. "Maksud dokter Asha, dokter ingin saya memeriksa keadaan dokter? Apakah ada keluhan?" tanya dokter itu yang mengisyaratkan Asha untuk duduk lebih dahulu.

"Bukan, tolong periksa apakah ginjal saya dalam kondisi baik dan tubuh saya siap untuk hidup dengan satu ginjal saja. Saya ingin mendonorkan ginjal saya pada seseorang," ujar Asha menjelaskan.

Dokter itu menoleh dengan tatapan keberatan. "Kamu yakin, Sha?" tanyanya kini tanpa embel-embel dokter secara formal. Dokter yang usianya lebih tua dari Asha itu nampak tidak setuju dengan keinginan Asha mengingat usia Asha yang masih muda dan ia masih produktif. Hidup dengan satu ginjal saja mungkin akan berdampak terhadap kinerjanya ke depan. Terutama karena dia adalah salah satu dokter bedah andalan di rumah sakit itu.

"Dok, saya bersungguh-sungguh. Tolong periksa saya. Ada satu pasien yang benar-benar membutuhkan donor ginjal segera. Saya tidak bisa menutup mata dengan hal ini karena—"

"Karena dia adalah teman baik Asha," potong dokter Kafa melanjutkan perkataan Asha.

Dokter Kafa yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangan Asha pun menunjukan dirinya. Tersenyum pada Asha dan dokter yang sedang berbicara dengan perempuan itu.

"Dia teman baik Asha, jadi wajar jika Asha ingin menyelamatkan nyawanya," lanjut dokter Kafa sambil duduk di kursi yang ada di sebelah Asha.

Dokter yang ada di hadapan keduanya pun tampak menghela napas. Prosedur donor tidak sesederhana itu. Perlu pemeriksaan yang mendalam untuk memastikan bahwa pendonor dan penerima dapat segera melakukan operasi. Dilihat dari kondisi Asha, dokter bisa melihat Asha kelelahan dan itu sudah menjadi alasan bahwa Asha tidak bisa melakukan pemeriksaan malam ini.

"Datanglah lagi besok sebelum operasi. Malam ini istirahatlah lebih dulu. Saya tahu kamu berniat baik. Dan rumah sakit pun sudah melakukan yang terbaik untuk mencari donor ginjal segera. Kabar baiknya adalah ada penodonor organ yang sudah kami periksa dan cocok dengan pasien yang kamu ingin beri donor dengan organmu. Tapi dia masih hidup sekarang. Lebih tepatnya dia sedang berusaha bertahan hidup. Jika sampai akhir bulan ini dia masih dalam keadaan koma, maka keluarganya sudah pasrah dan berniat untuk melepas alat bantu hidupnya. Dan setelah itu baru kita bisa mengambil organ di tubuhnya untuk disumbangkan," ujar dokter itu. "Semasa hidup, ia sudah menandatangani surat donor organ dengan rumah sakit kita. Keluarganya pun mengetahui hal itu dan kedepannya tidak akan jadi masalah."

"Jadi sudah ada pendonor?" tanya Asha dengan wajah berharap.

"Iya. Tapi harus menunggu sampai akhir bulan," jawab dokter.

"Tapi dia tidak akan bisa bertahan selama itu, Dok. Kondisi ginjalnya benar-benar buruk."

"Untuk itulah kita sedang berusaha mencari donor dari keluarganya. Kamu harus bersabar," ucap dokter Kafa kali ini bersuara. "Kamu boleh melakukan pemeriksaan. Tapi kamu adalah pilihan terakhir. Rumah sakit tidak ingin mengambil resiko dengan kehilangan dokter berbakat seperti kamu. Mengerti?"

"Aku tahu. Dan aku rasa dokter Kafa sudah mengantisipasi hal ini, kan?"

"Tentu saja," balas dokter Kafa. "Saya tahu kamu orang yang keras kepala. Dan saya yakin kamu akan rela mengorbankan segalanya demi orang yang kamu kenal itu."

Asha tidak menyangkalnya. Ucapan dokter Kafa benar sebab Asha pun merasakan hal itu. Ia merasa ia rela mengorbankan apapun asal Andra bisa selamat. Sekalipun Asha tidak yakin apakah Andra mengingatnya atau tidak. Dan apakah Andra peduli dengan bantuannya atau tidak. Asha hanya ingin membantu. Itu saja.

"Saya pun tahu kamu pasti bersikeras. Oleh karena itu, mala mini beristirhatlah. Besok pagi kamu datang lagi untuk menjalani pemeriksaan. Mengerti?" ujar dokter itu.

Asha pun mengangguk setuju. Ia dan dokter Kafa lantas pamit keluar ruangan.

"Siapa dia?" tanya dokter Kafa ketika mengantar Asha kembali ke ruang istirahat.

"Dia? Siapa maksud dokter?"

"Pasien bernama Andra itu. Dia bukan orang biasa, kan? Saya yakin ada sesuatu di antara kalian," ucapnya.

"Bukan ada sesuatu. Lebih tepatnya, saya yang memiliki sesuatu terhadapnya," aku Asha dengan jujur. Percuma menyembunyikan hal itu dari dokter Kafa. Dari semua dokter di sana, dokter Kafa yang paling dekat dengannya dan paling peduli dengannya. Dan Asha tidak ingin menyembunyikan apapun dari dokter Kafa.

"Jadi, dia adalah…"

"Dia adalah cinta pertama saya. Orang yang selama ini sulit saya lupakan keberadaannya selama ini," kata Asha melangkapi ucapan dokter Kafa yang menggantung.

[]