Chereads / Bukan Salah Istri Kedua / Chapter 1 - Bab 1 Pasien

Bukan Salah Istri Kedua

Romansa_Universe
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 62.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 1 Pasien

Rumah Sakit Universitas Cakrawala, pukul 21.00 waktu setempat.

Beberapa perawat dan petugas ambulan mendorong sebuah tempat tidur di mana seorang korban kecelakaan terbaring dengan keadaan penuh darah. Si korban tak sadarkan diri sementara dokter yang bertugas di Unit Gawat Darurat memberinya pertolongan pertama.

"Korban kecelakaan atas nama Andra," kata si perawat yang memberikan map berisi riwayat pemeriksaan dan kondisi pasien setelah diberikan pertolongan pertama selama diperjalanan. Dokter lain memeriksa keadaan si korban yang bernama Andra itu sementara dokter senior yang bertugas melihat dengan teliti laporan yang diberikan perawat.

"Ada beberapa memar dan luka di dada dan perutnya. Kemungkinan akibat benturan dan luka yang sebelumnya sudah dimiliki pasien," lapor dokter yang lebih junior pada dokter senior.

Si dokter senior yang terlihat curiga dengan catatan pemeriksaan pasien pun memeriksa luka memar dan beberapa bagian di dada serta perut pasien. Ia menggunakan beberapa alat penunjang lainnya.

"Segera siapkan ruang operasi. Ada pendarahan di bagian luka memar dan periksa pembengkakan di perutnya segera," perintah si dokter senior yang langsung disetujui oleh dokter junior.

***

Lampu penanda di depan ruang operasi berubah warna dari merah menjadi hijau. Sepasang suami istri yang menunggu sejak tadi di depan ruangan nampak lega sekaligus khawatir. Sudah hampir dua jam mereka menunggu operasi selesai, dan akhirnya saat-saat yang menegangkan itupun usai.

Pintu ruangan operasi terbuka. Tiga orang perawat berpakaian steril keluar lebih dulu sambil mendorong tempat tidur di mana pasien itu berbaring. Mereka berbelok ke sebelah kanan dan masuk ke dalam lift menunju ke ruang observasi. Sementara itu tak lama kemudian, dua orang dokter keluar dari ruang operasi dengan masih mengenakan seragam operasi lengkap dengan penutup kepala dan sarung tangan.

Keluarga pasien tampaknya tidak sabar. Mereka segera menghampiri dokter ketika dokter itu hendak berbelok ke ruang ganti yang ada tepat di sebelah ruang operasi.

"Dokter, dok," panggil si ibu dengan wajah khawatir. Dokter yang merasa dipanggil itu pun berhenti dan berbalik. Ia menunggu hingga si ibu serta ayah yang sejak tadi menunggu jalannya operasi itu menghampirinya.

"Iya, Bu," jawab di dokter dengan ramah.

"Ba—bagaimana dengan operasi anak saya? Apakah berhasil? Apakah anak saya setelah ini akan kembali sehat?" tanya si ibu dengan tangan gemetar.

Dokter perempuan itu pun tersenyum, "Operasi berjalan dengan lancar. Kami sudah berusaha yang terbaik. Bagaimana nanti perkembangannya, kami akan memberikan kabar kepada ibu dan bapak. Kami akan terus memantau anak bapak dan ibu sampai keadaannya lebih baik dan diizinkan untuk pulang. Sementara ini, pasien akan dirawat di ruang observasi selama dua sampai tiga hari sebelum dipindahkan ke ruang rawat," jelasnya dengan ramah.

Kedua orang tua itu pun tampak bernapas lega.

"Terima kasih, dok. Berkat dokter, kami bisa segera mendapatkan pertolongan. Kalau saja dokter tidak lewat dan memberikan pertolongan pada kami, sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan anak kami," ucap si bapak dengan tulus.

Dokter itu kembali tersenyum, "Saya hanya melakukan tugas saya, Pak. Yang penting sekarang, kita semua harus fokus dengan kesembuhan anak bapak dan ibu."

"Iya, dok. Kami akan berusaha yang terbaik supaya anak kami bisa segera sembuh. Sekali lagi terima kasih," ucap si ibu dengan tulus.

Si dokter pun mengangguk disertai dengan senyuman.

Keluarga pasien pun pamit menyusul anak mereka yang dibawa ke ruang observasi di lantai bawah. Meski tak dapat melihatnya langsung, bagi orang tua asal dekat dengan anaknya tentu sudah membuat mereka tenang. Sementara itu si dokter kembali ke ruang ganti dan melepas pakaian operasi yang ia kenakan.

"Kamu hebat, Sha. Dua jam operasi sudah beres semua," puji Kafa salah seorang dokter anastesi muda yang mendampinginya selama di ruang operasi tadi. Kafa ini senior Asha di sana. Ia adalah salah satu dokter yang cukup disegani di rumah sakit itu.

"Dokter Kafa bisa saja. Saya hanya melakukan tugas saya, Dok. Dokter sendiri juga hebat. Berkat kejelian dokter dalam melihat kondisi pasien, saya jadi sangat terbantu selama operasi berlangsung," ujar Asha.

"Ah, kamu pandai memuji. Sebenarnya semuanya berkat kamu. Kamu dokter muda yang sangat profesional. Meski jam terbang kamu kalah dari dokter senior lain, tapi kemampuan kamu sangat berguna untuk pasien. Ditambah kepedulian kamu terhadap yang kehidupannya kurang beruntung. Saya salut sekali dengan aksi sosial yang kamu lakukan," puji dokter Kafa.

Asha tersenyum lembut merasa tersanjung. "Terima kasih atas pujiannya, dokter. Doakan saja supaya saya tetap seperti ini dan tidak berubah."

"Tentu. Saya akan mendoakan yang terbaik untuk rekan saya," dokter Kafa tersenyum lagi kemudian merapikan dirinya sebelum keluar dari ruang ganti.

Mereka berjalan sambil sesekali berbicara. Membahas mengenai perkembangan pasien atau hal lain yang lebih ringan.

"Dok, bisa bantu saya menghubungi dokter Panca?" tanya seorang perawat yang datang terburu-buru membawa sebuah map di tangannya. Perawat itu menatap Asha dan dokter Kafa bergantian. Wajahnya tampak putus asa mungkin karena dokter Panca yang ia maksud belum dapat dihubungi.

"Dokter Panca? Bukankah beliau ada jadwal operasi lain? Pasien usus buntu. Mungkin ada di ruangan 9," kata dokter Kafa memberitahu.

Si perawat tampak bingung kembali, "Ada pasien darurat. Gagal ginjal dan pendarahan. Kalau tidak segera di operasi, takutnya terjadi sesuatu. Dokter yang menangani masih magang. Dan dokter lain sedang sibuk. Saya pikir dokter Panca belum melakukan operasi makanya saya datang ke sini."

"Iya. Memang jadwal dokter Panca masih nanti jam 3. Tapi jadwal operasi dimajukan karena kondisi pasien. Kamu tidak menemukan dokter lain?" tanya Asha.

"Sudah, saya sudah berusaha. Tapi dokter lain paling cepat lima belas menit lagi baru bisa melakukan operasi," jelas si perawat.

Asha menoleh pada dokter Kafa yang dibalas dengan bahu terangkat oleh dokter itu. Asha pun menghela nafas dan mengangguk meyakinkan dirinya sendiri.

"Bawa saja pasiennya ke sini. Sambil menunggu dokter yang berwenang datang, saya akan memberikan pertolongan lebih dahulu. Ruangan operasi sudah steril. Kamu bantu saya meminta izin penggunaan ruang operasi untuk pasien darurat. Panggil perawat Omar dan perawat Dina untuk membantu saya. Dan juga segera hubungi dokter Panca di ruang operasi 9. Saya yakin dia tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan operasinya," ujar Asha.

Perawat itu pun mengangguk kemudian menyerahkan map berisikan riwayat keadaan pasien sebelum meninggalkan Asha dan dokter Kafa.

Asha membuka map itu. membaca keterangan kondisi pasien untuk memeriksa apa yang perlu ia lakukan pertama kali untuk membantu dokter Panca menangani pasien itu.

"Gagal ginjal rupanya. Dan keadaan ginjalnya sudah parah. Pasti pasien kesakitan sebelum datang ke sini," komentar dokter Kafa.

Asha mengangguk membenarkan. "Kita harus segera mengeluarkan ginjalnya. Mungkin seumur hidup dia hanya bisa bertahan dengan satu ginjal atau—" ucapan Asha terhenti begitu melihat catatan khusus lainnya. "Oh, tidak. Ginjalnya yang lain pun tidak bekerja dengan normal."

Dokter Kafa ikut memeriksa dengan lebih terliti catatan itu kemudian berdecak. "Pantas saja operasinya darurat. Keadaan pasien diluar perkiraan mereka."

Asha melihat sekali lagi data pasien yang ada di lembar utama.

"Andra Leon? 27 tahun?" gumam Asha membaca map itu dengan perasaan yang tidak tenang. Seperti merasa dejavu dengan nama itu, Asha belum dapat menemukan kalimat yang tepat untuk menggambarkan situasi itu.

Asha secara reflek melihat ke arah lift. Dari sana muncul beberapa perawat yang mendorong tempat tidur pasien untuk dibawa ke ruang operasi. Dan ketika pasien itu melewati Asha, seketika Asha menutup mulutnya tak percaya.

"Andra!" pekiknya.