Pintu ruang operasi masih tertutup rapat. Menyisakan ketegangan dan kesunyian di lorong sepi di antara ruangan-ruangan berbau alkohol. Asha masih bertahan di posisinya. Berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi dengan wajah khawatir dan mata yang tak lepas menatapi pintu yang masih tertutup itu.
Sudah hampir satu jam berlalu sejak dokter yang berwenang mengoperasi Andra masuk ke dalam ruangan. Asha hanya menjalankan yang perlu dia lakukan sebagai dokter sementara sisanya ia serahkan pada dokter yang berwenang sebagai bentuk tanggungjawabnya.
Dokter Kafa tadi sempat menemani Asha menunggu di depan ruang operasi. Ia sedikit khawatir dengan keadaan Asha yang masih terlihat syok. Tapi karena ia memiliki tugas sendiri, ia pun berpamitan pergi untuk melaksanakan tugasnya.
Asha masih di sana dan berjongkok di sebelah pintu ruang operasi. Perempuan itu menenggelamkan wajahnya di lengan dan merapalkan doa yang ia bisa. Ia berharap operasi Andra bisa berjalan lancar dan Andra bisa kembali sehat seperti semula.
Tak lama seorang wanita anggun mendatangi pintu ruang operasi. Ia sendirian dengan wajah khawatir dan mata berkaca-kaca. Seperti sedang menunggu hal yang sama dengan Asha, wanita itu memilih duduk di kursi tunggu depan ruangan.
Asha menatapi wanita itu. Mengingat sosoknya dengan jelas, Asha pun mengangkat wajahnya kemudian berdiri.
"Tante Renata?" Asha ingin memastikan bahwa ingatannya benar. Jika memang iya, maka benar jika perempuan itu adalah mama dari Andra yang dulu pernah sering ia temui hampir setiap hari.
Wanita anggun itu mengangkat wajahnya. Menatap Asha lalu mengerutkan dahinya mengingat masa lalu.
"Asha?" balas wanita itu dengan suara parau khas orang yang baru menangis.
"Iya, saya Asha. Tante Renata, kan?"
"Iya, ini tante Renata. Kamu apa kabar, Nak?" Mama Andra pun berdiri dan menghampiri Asha. Ia mendekat pada perempuan itu kemudian memeluknya dengan hangat seperti dulu.
Asha balas memeluk mama Andra dan mengangguk dengan lembut, "Aku baik tante. Tante sendiri apa kabar? Om bagaimana? Keluarga semuanya sehat?"
"Kami semua baik-baik saja, Nak. Senang melihat kamu lagi setelah sekian lama." Mama Andra melepaskan pelukannya kemudian Asha mengajaknya duduk di tempat yang tadi Bu Renata duduki.
"Saya juga senang dapat melihat tante setelah sekian lama. Sudah sepuluh tahun berlalu dan tante masih seperti yang dulu."
Mama Andra mengangguk, "Terima kasih sudah berkata seperti itu, Nak. Tante merasa terhibur mendengarnya," ucapnya. "Dan sudah sepuluh tahun berlalu. Kamu tumbuh menjadi perempuan dewasa yang semakin cantik, Nak."
"Terima kasih atas pujiannya, Tante," ucap Asha dengan tulus. "Tante menunggu Andra operasi?" tanya Asha yang masih saling berpegangan tangan dengan Bu Renata.
Bu Renata mengangguk. Wajahnya kembali menunjukan raut kesedihan serta kekhawatiran yang beberapa saat yang lalu sempat memudar. "Iya, Nak. Andra mengalami kecelakaan dalam perjalanan ke rumah sakit. Dia mengeluh sakit di bagian perutnya dan berkata bahwa akan mampir ke rumah sakit usai bekerja. Tante pikir dia hanya sebentar, tapi sudah hampir dua jam dia tidak mengirim kabar. Lalu ketika tante menelfon ke ponselnya malah seorang perawat. Lalu dia bilang kalau Andra sedang ada di rumah sakit ini dan sedang berada di ruang operasi setelah mengalami kecelakaan."
Asha menatap Bu Renata dengan sendu. Ia kemudian membawa Bu Renata dalam pelukannya dan mengusap punggung Bu Renata dengan lembut. "Andra kuat, Tante. Dia pasti bisa melewati semua ini."
Bu Renata balas memeluk Asha, "Iya, Nak. Tante juga berharap demikian. Bantu doa, ya. Semoga Andra bisa lancar operasinya dan keadaannya kembali seperti sedia kala."
"Iya, Tan," balas Asha kemudian perlahan menjauhkan tubuhnya.
Mereka masih menunggu beberapa menit kemudian hingga pintu ruang operasi terbuka dan dokter yang bertugas mengoperasi Andra keluar. Dari yang sudah Asha lihat, raut wajah dokter tidak menunjukan tanda yang baik. Dokter yang baju hijaunya sudah terkena percikan darah itu mendatangi Asha dan Bu Renata yang sudah menunggu sejak tadi.
"Kamu masih di sini rupanya. Kamu khawatir dengan pasien itu?" tanya dokter Panca.
Asha tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya. Ia mengangguk membenarkan pertanyaan dokter. "Bagaimana keadaannya? Apakah kita bisa menyelamatkannya?"
"Peluang itu ada, tapi sedikit," ucap dokter kemudian menoleh pada Bu Renata. "Anda wali pasien?" tanyanya.
Bu Renata pun mengangguk, "Iya. Saya mamanya. Bagaimana keadaan anak daya, Dok?"
Dokter Panca menoleh sebentar pada Asha kemudian kembali pada Bu Renata. "Saya memiliki dua berita. Baik dan buruk. Dan saya dengan terpaksa harus menyampaikannya pada Anda selaku walinya."
"Berita baik dan buruk? Maksud dokter bagaimana?"
"Jadi keadaan pasien saat ini sudah stabil untuk sementara waktu. Ginjalnya yang sudah rusak terpaksa kami angkat karena memang sudah tidak berfungsi lagi. Sementara satu ginjal lainnya tidak dapat berfungsi dengan normal kemungkinan karena kondisi bawaan atau karena hal lain yang sedang kami observasi. Kemungkinan terburuk adalah pasien tidak bisa bertahan dengan satu ginjalnya dan memerlukan ginjal baru untuk bertahan hidup."
Mendengar penjelasan dokter Panca, Bu Renata langsung terduduk lemas. Ia menutup mulutnya dan menangis terisak mengingat keadaan putranya.
"Andra memang sudah merasakan gejala itu sejak lama. Tapi dia selalu menahannya. Mungkin itu yang menyebabkan kondisi ginjalnya semakin tidak baik dan dia menjadi seperti sekarang ini," ujar Bu Renata dengan sedih.
Asha melihat Bu Renata sebentar. Ia mengusap bahu wanita yang sedang bersedih itu kemudian menatap dokter Panca.
"Dok, jadi apa yang bisa keluarga pasien lakukan?" tanya Asha.
"Sebaiknya, segera mencari donor ginjal yang cocok. Pasien tidak bisa bertahan hidup dengan satu ginjal yang kondisinya pun sudah tidak normal lagi. Tubuh pasien semakin lama akan semakin lemah dan kemungkinan terburuknya adalah kehilangan nyawa. Kalau bisa cari donor dari keluarga dekat yang memiliki kemungkinan kecocokan yang tinggi."
"Baik, Dok. Saya akan membantu keluarga pasien untuk mencari donor yang cocok," ucap Asha.
Dokter Panca tersenyum kemudian mengangguk. Ia menepuk bahu Asha sekali untuk memberinya kekuatan.
"Terima kasih dokter Asha. Dan terima kasih juga untuk bantuan kamu tadi."
"Sudah sewajarnya saya membantu pasien, Dok. Ini adalah tugas kita sebagai dokter," Asha tersenyum meyakinkan.
"Kalau begitu, saya tunggu kabar baik dari kamu. Semakin cepat semakin bagus. Kita harus melihat kondisi pasien dan memprioritaskan keselamatannya."
Asha mengangguk, "Saya mengerti, Dok. Saya akan membantu wali pasien untuk menemukan donor yang cocok. Dan setelah semuanya siap, saya akan segera mengatur jadwal operasinya dengan dokter Panca."
"Baguslah. Kamu harus tetap fokus dengan tugasmu sendiri. Hubunganmu dengan pasien, saya sangat menghargainya. Tapi ingat untuk tetap profesional. Ingat bahwa kamu tidak bisa menangani ini dengan tanganmu sendiri. Kamu mengerti?"
Asha tersenyum dengan yakin. "Ada dokter Panca semua akan baik-baik saja. Dan saya pun mengerti bahwa saya tidak boleh menyentuhnya. Saya tahu di mana batasan saya, Dok."
"Baguslah. Kalau begitu saya tunggu kabar darimu. Dan untuk saat ini pasien akan dipindahkan ke ICU."
"Baik, Dok. Terima kasih," ucap Asha kemudian dokter Panca pun meninggalkan Bu Renata dan Asha.
"Sha, bagaimana ini? Siapa yang rela memberikan ginjalnya untuk Andra? Jika tante bisa pun pasti tante berikan," ujar Bu Renata.
Asha kembali duduk kemudian mengusap bahu Bu Renata dengan lembut.
"Pasti ada. Kita pasti bisa menemukan donor ginjal untuk Andra. Tante harus yakin bahwa Andra bisa kembali seperti sebelumnya."
[]