Asha masih menutup mulutnya tak percaya. Ia benar-benar dibuat terkejut dengan apa yang baru saja dia lihat. Sekian tahun tidak bertemu. Dipisahkan oleh takdir dan pendidikan masing-masing. Sekian tahun tak saling bertukar kabar maupun bertemu dalam acara reuni. Asha harus mendapati sosok itu terbaring tak sadarkan diri dengan keadaan yang tidak bisa dibilang baik-baik saja.
"Dokter Asha! Dok!" panggilan dokter Kafa seperti tak terdengar olehnya. Dirinya masih dibuat terkejut dengan apa yang baru saja dia lihat. Catatan kesehatan bahkan kondisi terkini yang tertulis di sana seperti terbayang di kepalanya satu per satu.
"Asha!" panggil dokter Kafa sambil mengguncang bahunya lebih keras untuk menyadarkan Asha.
Asha tersadar. Menoleh pada dokter Kafa kemudian meraup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia berusaha menenangkan diri sekaligus menjaga emosinya tetap stabil saat itu.
"Ada apa? Kenapa kamu seperti ini setelah melihat pasien itu? Kamu mengenalnya?" tanya dokter Kafa dengan lembut.
Asha mengangguk. Ia mengangkat wajahnya menatap dokter Kafa, "Dia teman sekolahku dulu," jawab Asha. Dan cinta pertamaku, lanjutnya dalam hati.
"Temanmu? Teman SMA?"
Asha kembali mengangguk, "Kami dulu berteman baik ketika di sekolah menengah dan berpisah karena aku pergi ke Jerman untuk sekolah kedokteran. Dan dia meneruskan sekolahnya di Amerika. Bertahun-tahun sudah berlalu. Dan ketika bertemu kembali, aku tidak percaya bahwa aku melihatnya menjadi pasien di sini."
Dokter Kafa mengusap bahu Asha dengan lembut sebagai bentuk dukungan. Sebagai seorang dokter yang memang sudah memiliki jam terbang cukup tinggi, dokter Kafa mengerti bagaimana perasaan Asha ketika melihat orang yang ia kenal harus menjadi salah satu pasiennya karena masalah kesehatan. Dulu, ketika dokter Kafa masih baru beberapa tahun bekerja di rumah sakit ia pun mengalami hal serupa. Jadi ketika kini Asha yang mengalaminya ia pun mengerti perasaan perempuan tu.
"Aku tahu pasti kamu terkejut. Tapi ini bukan saat yang tepat untuk itu. Sebisa mungkin, kita harus melihat keadaan pasien. Memastikan bahwa ia masih memiliki harapan hidup bagaimanapun keadaannya. Kita yang ada di sini, dan dia hanya bisa mengandalkan kita untuk saat ini," ujar dokter Kafa menyadarkan Asha.
Asha menarik nafas perlahan secara teratur lantas menghembuskannya dengan lembut. Berusaha sebisa mungkin menormalkan detak jantungnya dan mendapatkan ketenangan seperti sebelumnya.
"Dokter Kafa benar. Kita harus memberikan pertolongan pertama padanya sebelum dokter yang bertugas datang," ucap Asha dengan percaya diri.
Sekalipun sulit baginya. Sekalipun berat. Ia harus melakukannya. Tidak ada yang menyangka bahwa ia harus menghadapi situasi buruk seperti ini. Situasi yang memaksanya berhadapan dengan orang yang ia kenal dan pernah ia cintai yang kini terbaring lemah tak sadarkan diri di ruang operasi.
"Saya akan mendampingi kamu," dokter Kafa meyakinkan. Ia tidak akan tega membiarkan rekannya sendirian mengahadapi situasi itu.
"Terima kasih, dok. Mari kita segera memberikan pertolongan pertama."
Asha kembali masuk ke ruang steril dan berganti pakaian dengan baju operasi lengkap begitupun dengan dokter Kafa. Mereka kemudian masuk ke ruang operasi dan memeriksa keadaan pasien lebih dahulu.
Hati Asha semakin tak keruan melihat darah yang menghiasi baju serta lengan pasien. Ia sudah hampir menangis ketika ada di sebelah tempat tidur Andra.
Ya Tuhan, Andra. Apa yang sudah terjadi? Kenapa bisa kamu seperti ini? batin Asha dengan perasaan kacau. Bertahun-tahun kita berpisah. Aku berharap ada kesempatan bertemu denganmu. Tapi tidak dalam keadaan seperti ini. Dalam setiap doaku, aku tidak berharap bertemu dengan orang yang aku kenal di ruang operasi. Kini aku malah dihadapkan dalam situasi yang tidak kuinginkan. Aku harus melihatmu terbaring. Aku harus melukaimu untuk menyelamatkanmu.
"Sha, kita mulai," dokter Kafa menyiapkan alat yang ia perlukan usai memeriksa keadaan pasien.
Asha mengangkat wajahnya dan menatap dokter Kafa. Ia mengangguk pendek lantas mulai menjalankan tugasnya.
Aku harus bisa melakukannya. Aku harus bisa. Sekarang dia memerlukan bantuanku, batin Asha menatapi wajah Andra.
*Flashback*
Di hari kelulusan SMA sepuluh tahun yang lalu…
"Asha, kemari. Kita foto bersama," ajak Andra mengangkat kamera miliknya.
Asha menoleh pada Andra kemudian tersenyum lebar. Ia menyudahi acara corat-coret seragamnya dengan salah satu teman sekelas mereka kemudian berjalan mendekat ke Andra.
"Foto bersama? Untuk kenangan?" tanya Asha yang seragam khas sekolahnya sudah penuh dengan cat semprot dan tanda tangan siswa lainnya.
"Tentu saja. Setelah ini kita akan berpisah. Kamu akan ke Jerman dan aku akan ke Amerika. Akan sulit bagi kita bertemu lagi nanti. Iya, kan?"
Asha mengangguk. "Aku pasti sedih karena tidak sekelas lagi denganmu. Kita sudah satu kelas sejak kita di bangku SMP. Berpisah seperti ini rasanya menyedihkan."
"Sudahlah. Tidak apa. Semua akan baik-baik saja. Kita berpisah untuk masa depan kita, kan? Untuk kamu yang ingin mengejar gelar dokter, dan aku yang ingin sekolah bisnis supaya bisa membantu papaku. Kita berpisah karena hal yang baik. Jadi jangan sedih," ujar Andra meyakinkan sekaligus menghibur perempuan itu.
Asha tersenyum simpul. Rasanya memang tidak rela jika harus berpisah dari Andra setelah banyaknya waktu yang mereka habiskan bersama. Sedih pasti. Kehilangan sudah tentu ia rasakan. Tapi ini adalah jalan terbaik untuk mereka. Untuk masa depan mereka yang lebih baik lagi.
"Iya. Aku tidak akan sedih," ucap Asha kali ini dengan senyum lebih lebar.
Andra pun balas tersenyum kemudian memanggil salah seorang teman terdekat untuk mengambil foto keduanya. Mereka tersenyum pada kamera dan ada satu potret dimana Andra merangkul Asha tanpa canggung. Asha sempat menoleh pada Andra dan lelaki itu pun melakukan hal yang sama. Keduanya saling tersenyum dan momen itu terabadikan dengan baik melalui kameran jadul milik Andra.
"Sudah? Terima kasih," ucap Andra meminta kembali kameranya.
Asha sempat sedikit salah tingkah. Namun kemudian ia tersenyum pada Andra dam bersikap semuanya baik-baik saja.
Tiba saat pulang sekolah, mereka memutuskan untuk pulang bersama. Andra membonceng Asha menggunakan vespa kesayangannya. Waktu berjalan begitu cepat. Dan tanpa terasa vespa yang mereka kendarai telah membawa mereka sampai di depan rumah Asha.
"Sudah sampai, ya. Tidak terasa," ucap Andra seperti tidak rela.
Asha tersenyum saja kemudian mengangguk. "Sedih karena sudah tidak bisa bertemu lagi besok," ucap Asha yang sudah turun dari motor dan berdiri di sebelah motor menghadap Andra.
"Sama. Aku juga sedih. Tapi kita masih bisa bertemu lagi, kan?"
Asha mengangguk mengiyakan. "Tentu saja. Selama takdir ingin kita bertemu kita pasti bertemu."
Andra tersenyum saja kemudian mengambil tangan Asha dan mengenggamnya lembut. "Di masa depan nanti setelah kita sama-sama selesai kuliah dan sudah bekerja, bisakah kita bertemu lagi?"
Asha diam sejenak kemudian mengangkat bahunya ringan. "Entahlah. Mungkin saja bertemu. Siapa yang tahu?"
"Aku sangat berharap kita bisa bertemu lagi. Dengan diri kita yang lebih baik," ucap Andra tulus.
Asha tersenyum haru. "Iya. Semoga kita akan bertemu di masa depan dengan diri kita yang baru. Pengusaha sukses bernama Andra dan dokter Asha."
"Terdengar sangat meyakinkan," balas Andra kemudian tertawa kecil.
"Tapi Andra, berjanjilah satu hal."
"Janji? Janji apa?" tanya lelaki itu.
Asha tersenyum kemudian berkata, "Berjanjilah kamu tidak akan menjadi pasienku nanti. Kamu mengerti?"
Andra balas tersenyum tulus kemudian menyanggupinya. "Aku janji akan menjaga diriku dengan baik."
*Flashback End*
[]