Semakin lama ia berdiam diri di kantornya, maka semakin lama juga ia merasa lebih terpuruk.
Baru kali ini dalam hidup nya, ia diacuhkan oleh wanita. Di dalam ingatannya, tak ada wanita yang berani mengacuhkannya, terlebih hal itu berlangsung lebih dari satu hari.
Oh ayolah Louis sangat terkenal di kalangan wanita, bahkan masih banyak gadis yang mengantri untuk mendapatkan hatinya, tetapi kini justru sayang nya ia jatuh ke dalam pesona Nara, yang dimana ia fikir dirinya tak akan tertarik dengan gadis itu, dan ia yakin betul bahwa Nara lah yang akan mengejarnya.
Namun jika melihat yang terjadi, bukankah seharusnya Louis kembali berfikir ulang mengenai hal yang ia yakini dulu?
Louis mengusak rambut nya kembali, dimana tatanan rambut nya sudah tak terbentuk rapi seperti saat ia pertama kali sampai di kantor itu.
"Kurasa lebih baik aku pulang jika seperti ini," lirih Louis pada akhirnya berusaha mengalah dengan keadaan.
Sejujurnya jika Louis melupakan ego nya yang masih kental melekat pada dirinya, ia dapat menghubungi gadis yang belakangan ini menarik perhatiannya, hanya saja ego nya yang besar membuat nya masih kukuh dengan pendiriannya, dan berharap gadis yang tak lain adalah Nara menghubungi nya.
"Arghhh, sial! mengapa aku seperti pecundang seperti ini? Come on Louis kau harus memperhatikan sikap mu!" cicit Louis berusaha mengingatkan dirinya sendiri.
Tak lama setelah nya Louis beranjak dari tempat duduknya, dan melangkahkan kakinya malas menuju pintu kantor nya.
Sungguh harinya hari ini terasa lebih melelahkan dibandingkan sebelum sebelumnya.
***
Nara yang kini berada di kamarnya tampak merebahkan tubuhnya di ranjang.
Selama dua hari ini Nara berusaha berada di dekat Ed, bahkan ia lebih mementingkan memantau kondisi Ed yang murung di bandingkan dengan urusan pribadinya sendiri, dan untuk alasan itu pula ia tak terlalu mementingkan handphone nya, bahkan bisa di bilang ia juga tak tahu menahu jika ada yang menghubungi dirinya atau tidak.
"Ugh, seperti nya sudah lama aku tak memerhatikan handphone ku," ujar Nara dengan santainya sambil membuka kode password pada layar sentuh benda segiempat itu.
Manik Nara langsung tertuju pada sebuah notifikasi yang berada di layar depan handphonenya.
'Louis?' benak Nara cukup kaget saat mendapati pesan singkat yang hanya bertuliskan 3 huruf.
[Hai]
"Dia menghubungiku?" lirih Nara pelan tak percaya.
Dari apa yang ia ingat, sekaligus informasi informasi yang berselentingan menyebar Louis adalah orang yang jarang sekali menyapanya terlebih dahulu, terlebih tak ada maksud tujuan dari sapaan nya itu.
"Ada apa dengannya?" ujar Nara bingung menatap janggal dengan pesan yang masuk itu.
Dengan cepat Nara membuka pesan tersebut dan membaca kapan waktu terakhir pemuda itu menyapanya.
"Astaga! pesan ini sudah dari dua hari yang lalu," kaget Nara yang terlonjak kaget langsung mendudukkan dirinya.
Refleks Nara mengusak rambut pendek Nate kasar.
Rasa bersalah seketika menghantui dirinya. Berkali kali ia menyesali bahwa seharusnya ia tetap memerhatikan handphonenya itu.
'Aish, mengapa ia menyapaku di saat yang tak tepat,' lirih Nara.
Jari jari Nara langsung mengetikkan pesan balasan pada Louis yang mengatakan bahwa ia meminta maaf lantaran ia tak membaca pesan pemuda itu.
5 menit ... 10 menit ... 1 jam!
Pesan tersebut tak kunjung di jawab oleh Louis.
Tok
Tok
Seolah tak mendengar suara ketukan pintu tersebut, Nara tetap setia menatap layar handphone nya yang tak kunjung mendapatkan jawaban dari Louis.
Ceklek
"Yha! Ada apa denganmu? Mengapa wajahmu tertekuk dan hanya menatap handphone mu saja?" celetuk Nate yang tiba tiba datang mendekat ke arah Nara yang tak merubah posisi nya sedikit pun.
Manik Nara sudah memerah, mencoba menahan tangis yang ia rasakan, lebih tepat nya ia merutuki dan sangat menyesali apa yang terjadi, hanya karena sebuah pesan yang tak sempat ia balas.
"Hei, are you ok?" tanya Nate berubah menjadi lembut saat melihat adiknya yang sudah berkaca kaca.
Nada bicara yang semula meninggi ingin mengusik sang adik, kini berakhir sebaliknya. Ia justru berbalik menghiburnya.
Tak ada yang berubah dari Nara, walaupun ia berada di dalam tubuh Nate.
"Ada apa adikku sayang?"
Lagi lagi Nate kembali melembut berusaha meminta jawaban yang sedari tadi ia pertanyakan pada Nara, yang sayang nya tak kunjung mendapatkan sebuah jawaban.
Nara memilih tak menjawab melainkan dengan cepat memeluk Nate mencurahkan perasaannya yang gundah.
Semakin lama Nate berusaha mendiamkan Nara, maka semakin lama juga Nara semakin terisak.
"Ceritakan padaku, aku tak akan berkomentar apapun padamu, asalkan kau bercerita."
Perlahan Nara sedikit menarik dirinya dari pelukan Nate, dan menatap Nate lekat.
"Louis tak menjawab pesanku."
Reflek kalimat itu langsung mengundang amarah Nate.
Tangan Nate terkepal sempurna mendapati jawaban seperti itu dari Nara.
"Ta...-tapi aku yang salah, aku tak menjawab pesannya sejak dua hari yang lalu ... apakah menurutmu Louis membenciku? Apakah ia akan kembali menjauhi ku dan mengabaikanku?" tanya Nara menatap lekat Nate menantikan sebuah jawaban yang akan keluar dari belah bibir Nate.
Nate menghela nafasnya panjang.
Sungguh ia tak habis fikir dengan adiknya yang terlanjur terperosok jauh ke dalam pesona Louis yang menurutnya masih jauh di bandingkan dengannya, sebab menurutnya dirinya dan juga kedua kakak nya lah yang jauh lebih sempurna dari Louis.
"Hei, jangan berfikiran buruk seperti itu, semuanya akan baik baik saja, mungkin ia belum membaca pesanmu karena ia tak sempat membaca nya sama seperti dirimu bukan? Jadi jangan kau menarik kesimpulan terlebih dahulu," ujar Nate yang tiba tiba saja menjadi bijak.
Jika boleh jujur, ia sendiri pun merasa aneh dengan sikapnya yang menjadi bijak secara mendadak, belum lagi ia mengatakan hal seperti itu saat berada di dalam tubuh sang adik.
'Ugh, mengapa aku menjadi semakin aneh semenjak berada di dalam tubuh Nara? Adakah jalan untuk ku agar kembali ke dalam tubuhku yang tampan? Oh ayolah, aku menunggu suasana antrian wanita yang selalu menunggu kehadiranku.' Monolog Nate pada dirinya sendiri dalam hatinya.
Untuk beberapa menit Nara hanya dapat terdiam pada posisi nya sembari menatap Nate, dan mencoba memahami apa yang di katakan oleh Nate.
Memang benar, perkataan Nate tidak lah salah. Ia tak seharusnya mengambil kesimpulan sesaat hanya karena sebuah pesan, toh ia juga yang memulai nya.
"Baiklah, kau benar, aku tak menyangka bahwa saudara kembarku yang biasanya selalu sesuka hatinya dalam mengambil pendapat, kini dapat berkata bijak ... aku akan mendengarkanmu Nate."
'Aku juga tak menyangka dengan diriku sendiri Nar.'
———
Leave a comment, vote and gift