Kinan baru saja keluar dari dapur, ternyata bundanya itu hanya bertanya tentang kafe. Merasa waktunya tersita sia-sia, ia keluar dapur sambil bermonolog kesal.
Ketika berjalan menuju tempat semula, ketika ia mulai mengangkat pandangannya, ia berhenti. Terkejut atas dua manusia yang menurut Kinan baru saja berkenalan tadi tampak akrab sekarang. Karena tidak ambil pusing atas penyebabnya, Kinan menghampiri kedua temannya yang sedang berbincang ria. Berencana untuk mengageti Dinda ia berendap-endap berusaha agar tidak ketahuan.
"D-"
"Aduh, galak banget sih, Mas sama mantan doinya,"
'aku gasalah denger, kan, ya?' Batin Kinan yang mulai mendekati mereka.
"Jangan diterusin ntar mata kamu copot aku gamau tanggung jawab, ya."
"Hah? Mantan doi?" Celetuk Kinan secara tiba-tiba dari belakang Dinda.
Rey terkesiap, membelalakkan matanya. Nafas mereka berdua tercekat, mulut Dinda sedikit membuka bingung ingin menjelaskan perkataan yang mungkin membuat temannya terkejut.
"A-anu... hehe..."
Rey hanya tersenyum miring dan tidak berhenti memelototi Dinda.
***
Yap, seperti yang kalian pikirkan. Kini Dinda dan Rey sudah seperti disidang, duduk bersebelahan dan berhadapan dengan Kinan yang haus akan penjelasan.
Kedua detak jantung mereka saling berpacu, keringat dingin sudah lama menetes di pelipis mereka. Kinan masih memegangi kepalanya, mencerna apa yang baru saja kedua temannya itu katakan. Memang benar ia tidak ada urusannya dengan ini, namun ia perlu memastikan sebelum ia menaruh hati pada si laki-laki yang baru ia kenal ini dan berhasil mengambil hatinya.
"Jadi?" Tanya Kinan singkat.
"Em.. A-aku mau jelasin. Jad-"
"Jadi, gini Kinan," tiba-tiba Rey menyela ucapan Dinda yang masih belum menuju kalimat inti penjelas, Kinan dan Dinda pun mengganti titik fokus menjadi ke Rey yang mungkin akan menjelaskan semuanya.
Kinan sedari tadi hanya diam menatap intens temannya yang masih diam menyusun kata-kata itu.
"Lanjutin."
"Eh iya, jadi dulu aku sama Dinda satu SD, satu SMP juga. Dari SD aku-" lagi-lagi ucapannya berhenti.
"Kamu kenapa?" Tanya Kinan tidak sabaran.
"I-iya, aku naksir Dinda dari SD, kelanjutlah sampe SMP."
Kinan hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Eh, tapi aku ngga suka dia balik, kok." Sela Dinda agar temannya itu tidak salah paham.
"Oh, oke."
Rey dan Dinda membelalakkan matanya, kaget akan respon Kinan sesederhana itu. Mereka pikir akan mendapat respon lain yang mungkin lebih buruk dari ini. Sedikit bernapas lega namun masih mengganjal karena tidak seperti biasanya Kinan seperti ini.
Rey dan Dinda kembali menatap Kinan bingung seakan minta respon yang sebenarnya.
"Apa?"
"Udah, kan? Ya, kita bertiga bisa temenan biasa. Aku ngga mau ngerumitin keadaan, ya. Udah gede masa ngeribetin masalah sepele gini?"
"Kamu juga, Rey," ucap Kinan sambil menunjuk Rey membuat yang merasa punya nama sedikit terkaget, "kamu lusa udah OSN masih sempet mau mikir masalah kaya gini?"
Yang ditanya hanya menggeleng pelan lalu menunduk.
Dan, sesi sidang mereka berakhir ketika Rey dipanggil oleh Bundanya Kinan karena disuruh menggantikan bagian kasir. Seperti biasa kafe selalu ramai pelanggan dan Kak Dina selaku kasir sedang berhalangan hadir hari ini.
Rey mengemasi seluruh buku-buku dan alat tulisnya yang masih berserakan sisa belajar tadi. Menuju ruang ganti untuk mengambil seragam dan celemek.
"Hei,"
'Oh, tidak. Please, jangan sekarang.'
Dan, ya, Shafira kembali muncul. Dengan tubuh yang lusuh namun masih terlihat elegan dengan gaun putih yang sudah usang itu. Anehnya, Rey juga merasa arwah di depannya ini terlihat cantik.
"Aku tau kamu bisa liat ataupun dengar suara aku. Sekarang bisa, kan mulai denger apa yang bakal aku omongin?"
Rey menutup matanya rapat-rapat, menghela napasnya, mencoba merelakskan diri. Tanpa menatap sosok di depannya itu Rey berkata, "Maaf, aku ngga bisa, Sha."
Setelah berkata seperti itu, Rey mengambil celemek yang belum ia pakai, dan segera keluar dari ruang ganti. Ia tak mau berlama-lama dengan sosok Shafira itu. Hawa dingin yang ia ciptakan membuat bulu kuduk merinding.
Mencoba menghilangkan Shafira dari pikirannya, untung saja kafe sangat ramai hingga Rey sangat sibuk untuk menerima pesanan, membuat pesanan dan melayani satu per satu para pelanggan.
Jangan berpikir bahwa sedari tadi Rey tidak diganggu. Sesekali Shafira muncul di sampingnya, di bawah, di atas dan menjadi terbalik bahkan muncul di belakang pelanggan juga yang sukses membuat Rey selalu kaget.
Shafira sangat menginginkan atensi dari Rey.
Kenapa?
***
Hari sudah sangat gelap, kafe juga sudah tutup. Tinggal Rey dan kesunyian di kamarnya yang masih ada, masih sibuk dengan ponselnya. Membaca beberapa email yang masuk untuk menunggu pengumuman lomba lainnya atau hanya sekedar bertukar pesan dengan Kinan.
Kini rasa kantuk sudah menyerangnya, kedua matanya sudah sangat sayu yang hanya menyisakan sedikit energi untuk membukanya. Matanya semakin sering mengerjap-kerjap, semakin jelas sosok yang ada di depannya.
"Rey, kamu bisa bantu aku, kan?"
Deg.
Lagi.
Rey langsung membuka matanya. Ia tahu, ia sangat tahu siapa yang akan seperti itu. Ini adalah jarak terdekat yang mereka berdua alami. Bagaimana tidak? Jika sekarang Shafira telah ada tepat di depan muka Rey.
"Rey, kamu bisa bantu aku, kan?" Tanyanya lagi.
Rey hanya menggeleng dan pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Aku mohon ke kamu, kamu bisa bantu aku, kan?"
Shafira terus menerus mengulangi kalimat demi kalimatnya dan hanya berakhir dibalas gelengan oleh Rey yang semakin mengabaikannya dengan segala sikapnya sekarang.
"Rey..."
'Hah, dia bisa menangis?' Batin Rey sambil mengangkat wajahnya untuk melihat keadaan Shafira saat ini yang sudah menundukkan kepalanya. Rambutnya terurai sempurna ke bawah, dan ya, dengan baju lusuh nan elegannya itu.
"K-kamu bisa bantu aku, kan?" Tanya Shafira kesekian kali dengan nada putus asa dan suara yang menyerak khas orang menangis.
'Sial.'
"Boleh tanya dulu?"
'Sial. Sial. Sial. Kenapa malah bertanya?'
Terlihat Shafira yang mulai mengangkat kepalanya, air matanya sudah tidak ada lagi di pipi atau bahkan sudah bersih dari wajahnya. Kini ekspresinya sudah membaik dan berganti.
"Beneran mau tau?"
Lagi-lagi hanya dibalas anggukan oleh Rey.
"Bener, kan? Kalau aku udah ngomong ngga boleh batal bantuinnya, ya?" Tanyanya penuh harap.
Rey mengangguk, namun menghela napasnya.
"Awas kalo ingkar."
"Iya-iya, aku mau nolong kamu, asal abis aku tolong kamu jangan ganggu aku lagi." Jawab Rey dengan terpaksa, sudah termakan penasaran dengan apa yang akan diminta tolongkan ke dia. Persetan dengan janji.
"Jadi, gini... kamu pasti udah tau, kan? Kalau aku ini bukan manusia? Tapi aku hidup kaya kamu, aku dulu juga manusia kaya kamu, beda nasib aja, hehe. Selama aku keliaran kaya gini, selama aku masih bisa hidup ngejalanin gini, ini bukan atas permintaanku sendiri." Jelas panjang lebar Shafira yang sukses merebut perhatian manusia di depannya kini.
"Permintaan kamu sendiri? Maksudnya?" Tanya Rey yang mulai bingung dengan kata-kata yang muncul dari mulut Shafira.
"Iya, aku bisa kaya gini karena manusia-manusia baik yang mau nolong aku. Bukan manusia jahat yang cuma ngelihatin dan ngefoto kaya aku waktu kecelakaan. Aku bisa hidup kaya gini karena manusia-manusia baik itu menolong aku. Mereka juga kaya kamu, Rey."
Yang disebut menaikkan satu alisnya dan menunjuk dirinya sendiri memastikan dan dijawab anggukan oleh Shafira.
"Iya, kamu, Rey."
Shafira menghentikan bicaranya, ekspresi yang ia pasang saat ini sudah sulit untuk dipahami.
"Rey..."
"Hm?"
"Bisakah kamu menciumku?"
Deg.