"Rey."
Fokusnya langsung terganggu.
Sekarang ia merutuki dirinya sendiri, menyesal akan semalam – seandainya ia menyelesaikannya dengan Shafira kemarin malam bukannya malah menghiraukannya, mungkin hari ini Shafira tidak akan muncul.
Konsentrasi di kepalanya mulai pecah dengan keberadaan Shafira di sampingnya, sedari tadi Rey hanya membolak balikkan kertas soal. Bukannya memikirkan cara untuk mengerjakan, Rey malah sibuk memikirkan cara untuk mengusir Shafira dari jangkauannya. Mustahil jika ia akan berbicara, hal itu akan sangat aneh, mengganggu peserta lain dan juga melanggar peraturan yang sudah ditetapkan.
"Itu jawabnnya 7,25 meter." Ucap Shafira tiba-tiba.
Rey terkejut akan hal itu. Apakah Shafira di sini akan membantunya?
"Yang nomor lima, hasilnya nol, kan? Hmm bingung."
Selagi Shafira sibuk bermonolog ria tentang soal-soal OSN miliknya, Rey malah sibuk memandangi sosok gila di depannya ini – terlihat menawan dan berkharisma pada saat-saat seperti ini.
"Peserta nomor 12, sudah?"
Rey yang tiba-tiba dipanggil gelagapan, tampaknya pengawas ruangan menyadari akan gerak-geriknya.
"B-belum, Pak."
"Kerjakan dengan jujur."
Rey mengangguk dan tersenyum miring. Berusaha kembali fokus pada soal, karena kini ada dua titik yang mengharuskan ia lebih menambah intensitas konsentrasinya.
Satu jam berlalu, dengan bantuan Shafira dan juga kemampuan otaknya sendiri, banyak soal yang sudah terselesaikan dan kini hanya tinggal satu soal yang menurutnya tak pernah ia temui. Anehnya Shafira juga terdiam sejak tadi, hanya memandangi soal itu, melihatnya dari dekat, berpikir lagi dan diulang seperti itu.
Waktu kurang 10 menit lagi, dan soal itu belum terpecahkan sama sekali. Rey sudah gugup, tangannya bergemetar, keringat dingin sudah membasahi pelipisnya – turun satu persatu.
"Rey."
"..."
"REY!"
Rasanya Rey ingin membentak Shafira saat itu juga, namun tidak mungkin ia melakukannya sekarang. Otaknya sudah panas, tangannya gemetar sedari tadi.
"Jangan di jawab."
'Hah?' Rey bingung.
Apakah mungkin soal OSN seleksi Nasional tidak memiliki jawaban. Gotcha. Sebuah pertanyaan dan kemungkinan lain muncul. Namun, bisa saja benar. Rey mencoba lebih mendiskusikan soal ini pada Shafira.
"Beneran ngga ada jawabannya?" Bisik Rek pada Shafira dengan hati-hati dan memelankan suaranya.
Shafira mengangguk, "Kamu ngitung tadi ada jawabannya?"
Ah, this.
Tanpa babibu dan berpikir panjang lagi, mengingat waktu yang tersisa sangat sedikit, Rey segera mengisi soal terakhir. Memanfaatkan waktu yang ada, ia mengulang dari awal, mengoreksi, meneliti kembali.
Waktu kurang tiga menit, Rey segera menyelesaikan urusannya dengan soal-soal itu. Mengumpulkan hasilnya ke meja depan, dan keluar dari ruangan. Degupan jantungnya begitu terasa – berdetak sangat cepat.
Masih memikirkan soal-soal yang dihadapi tadi, kini Rey sedang berjalan-jalan mengelilingi gedung di situ – di temani Shafira di belakangnya, berjalan tanpa menghasilkan suara apapun.
Sesekali Rey menyesali beberapa jawaban yang ia kira salah dalam menghitungnya, menghela napas panjang dan berhenti pada kursi taman. Dilihatnya sebuah mesin minuman, cuaca hari ini sangat terik – membuat tenggorokan sangat kering ingin dimanja. Ia memasukkan beberapa koin untuk membeli dua minuman teh dingin, satu untuknya dan satunya? Tentu untuk Shafira.
"Nih, minum. Pasti haus, kan?" Tawar Rey dilanjut meneguk minumannya.
Terlihat segar, sangat segar.
Namun, Shafira menggelengkan kepalanya.
"Ngga beracun, kok. Ngga bakal mati juga, toh kamu udah ngga bernyawa. Minum aja ngga papa, hadiah buat tadi."
Shafira tetap menggelengkan kepalanya.
"Kenapa? Ngga suka teh? Mau aku beliin yang lain?"
Lagi-lagi Shafira menggeleng.
"Terus? Jangan diem aja, dong." Ucap Rey dengan nada agak kesal karena perilaku Shafira yang seperti ini.
"Aku ngga butuh itu, Rey. Aku ngga haus." Balas Shafira dengan lembut.
Rey mengerutkan dahinya, bingung – dan kembali bersikap masa bodo dengan ucapan Shafira. Selesai dengan minuman kaleng pertama, sekarang ia membuka kaleng kedua. Entah kenapa terasa sangat panas dan membuat tenggorokan kering.
"Sha." Panggilnya tiba-tiba.
"Hmm?"
"Ngga duduk? Apa ngga cape berdiri terus di situ?" Pintanya sambil menepuk-nepuk bangku yang masih longgar di sebelahnya.
Berbeda dengan yang tadi, Shafira langsung mengikuti permintaan Rey untuk segera duduk di sampingnya. Masih menunduk seperti biasa. Keduanya hening, tak ada yang membuka percakapan. Sampai Rey merasa harus melakukan sesuatu.
"Sha."
"Hmm?"
"Makasih buat tadi? Udah bantuin aku ngerjain soal-soalnya. Maaf ngga bisa ngasih apa-apa buat bantuan kamu hari ini, padahal kalo tanpa kamu hari ini aku ngga bakal bisa ngerjain semua soal tepat waktu. Jadi, makasih, ya?"
"Iya." Jawabnya singkat.
Rey yang mendapat jawaban sependek itu merasa agak kesal, tapi yasudahlah, bahkan yang ada di sampingnya dan yang membantunya tadi bukan manusia. Rey kembali meneguk minumannya, menikmati pemandangan di taman sambil menyaksikan orang-orang yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
"Iya, sama-sama, Rey. Aku cuma mau bantu kamu, kok. Aku cuma pengen bisa di samping kamu kalo kamu butuh. Aku juga ngga berharap apa-apa, bisa bantu kamu aja aku udah seneng." Lanjut Shafira setelah diam cukup lama.
"Ah, iya, intinya makasih udah mau bantuin hari ini."
"Hmm, iya," gumamnya sambil tersenyum menatap Rey, "kalo butuh bantuan atau butuh teman, aku bisa kapanpun dimanapun. Cukup panggil namaku aja 3x, aku pasti muncul."
"Ada-ada aja kamu ini." Elak Rey dengan sedikit tertawa, yang menurutnya ucapan Shafira barusan terdengar cheessy.
Setelah tegukan terakhir, mereka berdua kembali ke vila penginapan para peserta. Mood Rey sangat bagus kali ini, begitu juga dengan Shafira yang sudah lama tidak merasakan hal ini. Lima tahun lamanya ia berada dalam kehampaan yang luar biasa.
"Hai." Sapa roommate Rey yang baru saja keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan boxer dan handuk untuk mengeringkan rambutnya.
"E-eh, hai juga?" Balas Rey kikuk karena bingung harus menjawab seperti apa.
Lantas karena menyadari terlalu kakunya percakapan pertama antara mereka sebagai roommate, keduanya pun tertawa – merasa lucu akan dirinya sendiri.
"Gimana? Lancar?" Tanya Rey mengawali.
"Lancar-lancar aja, sih. Cuman tadi agak rame karena ada kecoak terbang, HAHAHA, lucu banget para cewek heboh karena itu." Jelas Raka si roommate.
"Wah, seru, tuh. Di ruanganku tadi sepi banget kaya perumahan orang kaya."
"Lah, kenapa?"
"Biasalah, pada sibuk ngitung, yakali main petak umpet."
Percakapan mereka berdua berlanjut hingga cukup malam, saling bertukar medsos, bercerita hal random dan lucu, hingga merasa lapar dan memutuskan membeli makanan online.
Malam sudah terlalu larut, sedari tadi Shafira hanya duduk di pojokan menyaksikan interaksi dua manusia yang menurutnya sangat seru. Namun, ia tidak akan bisa. Dengan kutukan seperti itu, sangat menyiksa dirinya beberapa puluhan tahun terakhir.
Entah kenapa ia bisa hidup seperti ini. Ia rasa pilihannya di masa lalu tidak tepat, dan mungkin menentang takdir. Tapi apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur, ia harus menanggung konsekuensi yang ia terima.
Dua manusia yang menikmati waktu luang kini sudah berakhir, saling beranjak dari karpet karakter. Membereskan segala sesuatu yang berantakan dan merapikannya. Tak butuh waktu lama, setelah selesai mereka kembali pada tempat tidurnya masing-masing.
Raka sudah tertidur daritadi, berbeda dengan Rey yang matanya masih terjaga. Bermain ponsel, sesekali membalas pesan teks dari Kinan. Kembali melihat Shafira yang masih tenang-tenang saja tanpa pergerakan di pojok sana. Membuatnya cukup seram dengan cahaya kamar yang remang-remang.
"Sha." Panggil Rey.
Tidak perlu lama untuk menunggu Shafira berdiri dan menuju ke dekat Rey.
"Apa?"
"Ngga papa, cuman jangan di pojokan situ, jadi serem. Aku takut." Jelas Rey.
"Aku kira mau ngomongin apa."
"Hah? Ngomongin apa?"
"Bisa cium aku?"
Duarrr.