Ini adalah hari ketiga Rey sudah berada di rumah sakit, tidak meninggalkan kakaknya sama sekali kecuali hanya mencari makan, berjalan-jalan keluar, sekolah, dan mandi. Tim mondar-mandir ke sana ke mari ada Kak Zia dan Papa Rey. Terlalu sibuk memikirkan kakaknya, Rey sampai lupa dengan keberadaan Kinan – bahkan setelah keduanya menyatakan perasaan. Tapi memang Rey belum membuka ponselnya sama sekali setelah pergi keluar dari kafe Kinan.
Ia tidak ingat hingga hari ini, entah nanti bakal ada berapa notifikasi dari Kinan, mulai dari panggilan tak terjawab atau mungkin pesan teks yang tak terbaca apalagi terbalas. Kinan yang tiba-tiba ditinggal Rey seperti ini juga merasa khawatir dan bingung. Mencoba meminta bantuan pada teman-temannya semua sekiranya waktu di jalan atau di sekolah bertemu dengan Rey.
Setiap hari, jam, menit, detik – Kinan tak pernah absen mengirimi Rey pesan teks. Entah hanya menanyakan Rey sedang di mana atau sekedar memberi kabar dan bermonolog ria di dalam ruang chatnya bersama Rey yang tak terbaca ataupun terbalas itu.
"Lombanya Rey berapa hari, Nak?" Tanya Bunda Kinan secara tiba-tiba yang muncul entah darimana.
"E-eh, seminggu dah kayanya, Bun. Aku lupa hehe, ntar aku tanyain dah." Jawab Kinan dengan bohong.
Bunda Kinan masih belum tahu kabar Rey hingga kini, Kinan terpaksa berbohong pada Bundanya – hanya karena ia terlalu takut kejadian di masa lalu terulang. Jika ia bercerita pada Bundanya, Kinan juga tidak bisa mengira apa reaksi yang dimunculkan oleh Bundanya – jika diingat lagi, karena sebuah kejadian di masa lalu Kinan membuat Bunda Kinan melarang Kinan untuk memulai sebuah perasaan cinta lagi – terlalu kelam untuk diulang kembali, begitu kira-kira opini Bunda Kinan.
Kinan sudah sangat gelisah, dari teman-temannya sendiri juga masih tidak ada yang memberi kabar. Kinan sangat berharap pesan teks yang ia kirim segera di baca oleh sang penerima yang entah kini sedang berada di mana.
Setelah melamun lama, berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan keberadaan Rey, Kinan tetap saja tak menemukannya karena ia tidak tahu apa-apa tentang temannya itu. Rey tak pernah bercerita banyak padanya. Memikirkan kembali cara apa yang bisa ia gunakan untuk menemukan Rey.
"Gotcha!" Ucapnya dengan ceria secara tiba-tiba.
Sebuah ide menerobos masuk ke dalam otaknya, ide yang sangat masuk akal yang mungkin membantu dirinya untuk menemukan Rey. Kinan baru saja mengingat bahwa ia juga mengenal, Dinda, sang mantan doi Rey yang dulunya satu sekolah. Tanpa babibu lagi, Kinan langsung menghubungi teman jauhnya itu. Ia sangat berharap pada Dinda, karena mungkin temannya itu lebih tahu banyak tentang Rey.
Sudah 15 menit terlewat, Dinda masih belum membalas pesan teks Kinan. Kinan terus menggigiti jarinya, kini baginya sedetik pun sangat berharga. Kedua kakinya tak bisa berhenti bergerak, matanya sedari tadi hanya terfokus pada ponsel yang ia letakkan di atas meja menampakkan ruang chatnya dengan Dinda. Untungnya keadaan kafe saat itu sepi, jadi Kinan tak perlu untuk membantu – bahkan di saat seperti ini, musik yang terpasang sesuai keadaan Kinan saat ini, jenis musik dengan semangat yang menggebu-gebu.
Akhirnya setelah 21 menit terlewat, Dinda membalas pesannya. Kabar baik juga terdengar, Dinda mengonfirmasi bahwa ia akan membantu Kinan untuk mencarikan Rey. Dicarinya kontak teman-teman Rey yang satu sekolah dan masih dekat dengan Rey.
Hasil yang tidak memuaskan.
Seluruh teman Rey yang Dinda kenal, juga mengatakan tidak tahu akan keberadaan Rey saat ini. Rey benar-benar menghilang tanpa jejak. Untuk menemani Kinan yang kin sedang kebingungan seorang diri di kafenya, Dinda berencana menemuinya sekarang.
Tak butuh 10 menit untuk sampai, karena memang rumah Dinda ada di dekat kafe Kinan.
"Hai."
"Eh, hai. Gimana udah ada perkembangan?"
Dinda menggeleng, disusul Kinan yang semakin lesu.
"Waktu dulu deket sama Rey anaknya periang, loh. Suka cerita sampe detail anaknya, bahkan karena sering cerita sampai-sampai ia kehabisa cerita terus bakal dilanjutin sama cerita random." Dinda bercerita yang ditanggapi senyum miring oleh Kinan. Rey mana pernah seperti itu padanya, bagi Kinan Rey adalah orang yang sangat tertutup, meskipun cerita Rey hanya menceritakan sebagian besar dari ceritanya – terkesan cuek.
"Ah, iya juga, dia juga ngga pernah menghilang kaya gini. Anaknya hangat banget, ke mana-mana ngabarin, mau ngapain ngasih tau," Dinda melanjutkan ceritanya.
"Kamu ini lagi pamer ato manas-manasin aku, sih?" Ucap Kinan kesal, bukannya dihibur malah ia merasa dipameri oleh Dinda.
"Hahaha, engga, aku cuma ngasih tau Rey dulu kaya gimana. Mungkin sekarang agak berubah, ya?"
Kinan mengangguk.
"Kamu ngga inget gitu sebelum dia pergi bilang mau ke mana?"
Kinan mengangguk, lagi.
"Nah, dia bilang apa?" Tanya Dinda penasaran yang mungkin bisa menumbuhkan petunjuk baru.
"Dia cuma bilang bakal pergi deket sini doang, pas aku tanya kenapa juga dijawab ada urusan mendadak."
Dinda mendekte tiap perkataan Kinan, mengulanginya lagi. Dan, ya, ia berhasil menemukan kejanggalan.
"Nan, kira-kira yang Rey maksud deket sini mana?"
Rasa penasaran mulai Kinan terpancing dan bergabung ikut berpikir bersama teori-teori yang dibuat oleh Dinda sejak tadi, belum mendapatkan pencerahan sama sekali.
"Malam itu, deket sini ada kejadian apa aja?"
Kinan mengingat-ingat.
"Kafe rame banget?"
"Yang deket sini, Kinan! Bukan di kafe kamu." Dinda sudah terlampau kesal karena di saat seperti ini, otak Kinan masih bekerja secara lambat.
Kinan kembali berpikir lagi, memutar kembali isi memorinya pada malam itu – membuat satu teman di sampingnya itu memegang kepala frustasi. Kinan tak bisa diandalkan dalam hal ini. Dinda segera mencari Bunda Kinan yang mungkin lebih tau akan kondisi di sekitarnya.
Dinda langsung meninggalkan Kinan yang masih sibuk berpikir itu. Sadar ia ditinggal oleh temannya itu, Kinan ikut berdiri dan mengikuti temannya dari belakang mencari Bundanya. Setelah ketemu, Dinda tak bertele-tele dan langsung to the point pada pertanyaannya. Cukup dengan satu pertanyaan inti itu, Bunda Kinan langsung menjawab santai bahwa ada kecelakaan di persimpangan jalan dekat kafe.
'Gotcha.' Batin Dinda yang menemukan sedikit petunjuk itu.
Mereka berdua segera kembali pada tempat semula untuk mendiskusikan lebih lanjut. Memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan yang belum pasti benarnya.
"Mungkin temen Rey kecelakaan?" Tanya Kinan.
"Temen yang mana? Yang paling deket sekarang kan kamu."
Kinan mengangguk-angguk setuju. Karena memang mulai memasuki jenjang SMA ini, Rey menutup dirinya. Memutus segala kontak kenalannya di kehidupan SMP-nya. Dinda beropini seperti itu karena memang akhir-akhir ini hingga mencapai beberapa bulan, Rey sampai menginap di kafe Kinan – tentu saja bertemu Kinan setiap saat dan bisa dibilang mereka teman dekat.
Kembali hening dan bergelut dengan isi otak masing-masing.
Ting!
Satu notifikasi masuk ke ponsel Dinda, terpampang jelas nama Kakak kedua Rey sedang mengiriminya pesan. Karena saking kagetnya, ponsel milik Dinda hampir saja terjatuh. Segera mereka buka isi pesan teks itu.
Whatsapp//Ka Jiaa
Dinda? Masih inget kaka, kan? Ka zia, kakanya Reyhan
Kamu bisa tolong kasih tau Kinan, ngga?
Membaca pesan teks yang dikirim Kak Zia seperti itu sudah menjadi lampu hijau bagi mereka berdua, tak perlu susah payah memecahkan misteri hilangnya Rey. Kinan yang ikut membaca pesan itu menjadi salah fokus ketika nama kontaknya sudah tersimpan, bukan nomor baru. Kinan memelototi Dinda yang lupa jika ia pernah menyimpan nomor Kak Zia.
"Kalo ngga lupa, pasti daritadi udah ketemu." Kesal Kinan.
"Sabar, dong, Mbak. Namanya juga manusia tempat lupa, bukan tempat lemot, hahahah." Balas Ledek Dinda.
Kak Zia mengabarkan bahwa Rey kini tengah di rumah sakit, karena Kak Zia belum menyelesaikan kalimatnya – kalimat yang cukup ambigu tanpa penjelasan itu membuat Kinan berpikir yang tidak-tidak, mengira Rey yang tengah berada di rumah sakit. Ternyata, Rey selama ini menunggu dan menemani kakak tertuanya di rumah sakit usai mengalami kecelakaan yang cukup parah – terjadi di persimpangan jalan dekat kafenya.
Rey meminta tolong pada kakaknya untuk memberi tahu Kinan keberadaannya di rumah sakit selama tiga hari ini karena ponselnya tidak terurus sama sekali dan jelas mati total. Kinan yang merasa masih diingat oleh Rey menjadi tersipu malu – sangat tidak jelas.
"Besok nikah pake adat apa ya, Din, enaknya?"
"Dasar bucin. Baru cuma dikabarin udah tanya adat nikah apa."
Setelah cukup lama bertukar pesan teks, menanyakan kini Kakak Rey sedang dirawat di rumah sakit mana, Kinan langsung menuju kamar mandi untuk mengganti baju. Selain untuk menjeguk kakak Rey, tentu saja untuk modus bertemu dengan 'teman dekatnya' itu.
Ketika baru mau memasuki taxi online yang Kinan pesan, ponselnya bergetar di dalam tas – tanda ada yang menelepon. Namun ketika akan Kinan angkat, malah berhenti berdering, ia segera mengecek pada recent calls-nya.
Jangan diangkat – missed call (1)
Deg.