Chereads / Duniaku, Duniamu / Chapter 14 - Chapter 14 - Another Hopes (2)

Chapter 14 - Chapter 14 - Another Hopes (2)

Suara langkah dari sepatu heels kian mengeras dan semakin dekat. Sesuai dengan dugaan Rey, itu bukan Kak Zia. Suara langkah itu milik orang kedua yang paling tidak ingin ia temui saat ini, ya, mamanya. Datang secara terpisah dengan papanya. Ia tak terbiasa akan hal ini. Apalagi, selama pertengkaran mereka Rey malah pergi dari rumah.

Ia terlalu muak.

Mengingat apa yang Kak Zia ceritakan, Rey merasa lebih muak untuk melihat wajah mamanya sendiri – perempuan yang telah mengandungnya selama sembilan bulan lebih, perempuan yang mengasuh dan membesarkannya, seharusnya tak menjadi manusia yang paling ia benci.

((flashback))

Malam itu hujan turun dengan deras, Rey masih menunggu kedatangan kakaknya di depan ruang operasi – tentunya ditemani oleh Shafira. Tangisnya sudah reda.

Ddrrtt…

Kak Zia akhirnya menelepon Rey untuk memberi kabar perceraian orang tua mereka – karena ingin menjelaskan apa yang harus Rey tahu.

"Halo, Dek? Maaf, ya, tiba-tiba dosen kakak ngasih tugas, bentar lagi selesai, kok. Ntar langsung ke situ."

"Yha… yaudah, deh, ngga papa. Bawain snack juga. Temenin telepon juga, boleh?" Manjanya pada sang kakak kedua.

"Iya-iya, boleh kok, apasih yang ngga buat adek aku paling tampan ini," yang dipuji di seberang sana tertawa kecil, "mmm, btw mama sekar-,"

"Kalo kakak bahas mama papa, teleponnya aku end." Ancam Rey, karena memang ia sudah tahu arah pembicaraan ini sebelum Kak Zia menelepon, sudah beberapa kali Kak Zia meneleponnya bahkan mengiriminya pesan ingin memberi tahu sesuatu tentang orang tua mereka.

"Maaf, tapi kakak emang mau ngomong masalah itu. Kamu harus tau in-,"

"Satu…" Hitung Rey mengancam.

"Kamu harus t-,"

"Dua…"

"Kamu sebagai anak harus t-,"

"Ti-,"

"Iya-iya, ngga jadi." Kak Zia menyerah.

"Nah, gitu dong daritadi."

"Tapi mama selingkuh, loh."

Kak Zia mengucapkannya dengan sengaja, mengawali tanpa basa basi dan langsung mengatakan inti pembicaraannya. Rey tidak menutup teleponnya, ia masih terdiam di seberang sana. Memang benar keputusannya sejak awal tidak ingin mendengar apapun tentang orang tuanya.

Apa yang seharusnya tidak ia dengar, menjadi terdengar jelas di telinganya. Ia tak menutup telepon, ia terlalu terkejut mendengar kabar ini. Perempuan yang selama ini menjadi rumah baginya, perempuan yang selalu mendengar seluruh cerita suka dukanya, perempuan yang selalu ada untuknya, dan perempuan yang menjadi cinta pertamanya – kini Rey mendengar kabar yang konyol tentang perempuan itu.

"Maksud kakak?"

"Mama selingkuh dari papa, Dek… aku juga baru tau waktu papa cerita kemaren pas aku pulang ke rumah ambil berkas, Kakak juga ngga minta papa buat cerita. Tapi, ini dari sudut pandang papa, ya. Jangan terlalu cepet nyimpulin, kita juga ada mama yang mungkin punya sudut pandang lain.

((off))

"Dek?" Panggil Mama Rey.

Rey hanya diam, menunduk, masih tak ingin menatap wajah-wajah yang ada di depannya itu. Ia masih belum siap. Ia juga masih ragu dan belum tahu pasti apa yang sedang terjadi. Kedua orang tuanya saling berhadapan – meskipun mereka berdua telah berpisah namun keduanya sepakat tetap berdamai karena masih mempertimbangkan ketiga anak mereka, termasuk Rey.

Rey sangat berharap pada Kak Zia agar segera datang menemaninya, ia tidak ingin berlama-lama dengan situasi canggung di sini. Rey bersyukur karena Shafira masih berada di sampingnya – masih menepuk-nepuk dan mengelus punggungnya, sesekali mengucapkan kalimat penyemangat aneh seadanya.

Tak lama kemudian, seorang dokter dan beberapa petugas kesehatan keluar dari dalam ruang operasi, Papa Mama Rey langsung berdiri menanyakan keadaan anak sulungnya itu. Rey hanya duduk mendengar penjelasan dokter dari kejauhan. Dilihat dari gerak gerik yang diperlihatkan Mama Rey tampaknya itu kabar bagus.

Setelah berbicara dengan dokter, Rey dihampiri oleh Papanya dengan raut muka bahagia.

"Rey, udahan ya sedihnya?" Ucap Papanya sambil berlutut di depan putra bungsunya itu.

"Kata dokter apa?" Tanyanya cuek.

"Kata dokter, Alhamdulillah Kak Rio berhasil melewati masa kritisnya. Tapi," Tiba-tiba Papa Rey memutus penjelasannya dan berganti ekspresi muka. Dengan sekilas menatap wajah mantan istrinya itu – meminta izin untuk menjelaskannya pada Rey.

"Kakakmu mengalami banyak patah tulang karena kecelakaannya, tapi ngga papa, ya? Dokternya juga udah bilang itu usaha yang terbaik. Jadi, bareng-bareng jaga Kak Rio sampe sembuh, yuk?" Bujuk Papanya pada si bungsu agar merasa lebih tenang dan tidak menjadi beban pikirannya.

Kesekian kalinya Rey menghela napasnya, menunggu Kak Zia yang tak kunjung datang. Hari sudah berganti menjadi dini hari. Hawa dingin di luar kamar yang masuk melalui jendela terasa menusuk hingga ke dalam kulit. Suara tv yang menyala memecah keheningan, kakaknya sudah dipindahkan di kamar pasien VVIP – karena itu permintaan ayahnya, toh ayahnya memiliki banyak kenalan di sini.

Mama Rey sudah izin untuk balik ke rumah dahulu, cukup menyakitkan untuk didengar ketika Mamanya berpamitan karena suami barunya baru pulang bekerja. Hal ini menjadi argumen penguat apa yang dibicarakan oleh Papanya melalui perantara Kak Zia cukup berhubungan.

Papanya masih ikut menemani Rey di kamar ini. Mencoba membuka topik agar bisa berbincang dengan anaknya lebih lama, Papanya berharap dengan pendekatan seperti ini, apa yang telah hilang akan kembali lagi seperti semula – meskipun tak sama.

"Pa."

"Apa, Nak?" Yang tiba-tiba dipanggil oleh anaknya merasa sangat senang, senyumnya terukir indah. Karena sedari tadi Rey hanya mengakhiri topik pembicaraan yang Papanya berikan.

"Papa tadi ke sini dikasih tau sama Kak Zia?"

"E-engga, Papa tadi nge-,"

"Jangan boong, aku ngga suka, Pa!" Rey dengan spontan menaikkan suaranya, membuat beberapa perawat menghampiri kamar VVIP itu.

"E-engga, tadi di tempat kerja papa kan lagi rapat sama direktur RS ini, trus dia di telepon kalo ada Kak Rio di UGD."

Mendapat jawaban yang ia inginkan, Rey hanya manggut-manggu tanda paham.

Lagi-lagi keheningan berhasil mengambil alih suasana di antara ayah dan anak itu – hingga pukul satu malam, Kak Zia sampai di rumah sakit dan kini sudah berada kamar pasien Kak Rio. Rey bernapas lega, akhirnya masa kecanggungan yang ia lewati dari kedua orang tuanya datang telah berakhir, ia bisa bercerita dengan lega dari awal mula Kak Zia meneleponnya memberi tahu bahwa kakak sulungnya mengalami kecelakaan. Ia sudah tak menangis, mungkin ia kehabisan air mata – tidak hanya itu, dari kedatangannya di UGD, Rey juga telah ditemani oleh Shafira yang menenangkannya, mendengarkannya bercerita dan membantu Rey meluapkan kesedihannya itu.

Lagi-lagi Shafira tak pernah gagal datang pada waktu yang pas, di mana Rey selalu sendiri dan membutuhkan teman. Shafira masih berada di pojok kamar, duduk memegangi lutut yang ia tekuk – meringkuk, memperhatikan Rey dari sudut sana. Melihat interaksi antara Rey dan Kakaknya.

Setelah selesai sesi bercerita, Rey mencari Shafira dan mendatanginya – yang ternyata masih berada di pojok sana – terbaring agak meringkuk, terlelap dalam tidurnya. Rey merendah, menyetarakan tubuhnya dengan tubuh Shafira yang terbaring itu – ia tersenyum, ingin rasanya ia mengatakan banyak terima kasih pada makhluk tak kasat mata di depannya yang sedang tertidur pulas ini.

Rey merapikan helaian rambut yang menutupi wajah Shafira, menatapnya lekat – berpikir ternyata Shafira tidak seseram itu seperti yang ia pikir pada saat pertama kali bertemu. 'Cantik.' Batinnya. Seperti opininya, mungkin jika masih hidup hingga sekarang Shafira akan tumbuh menjadi gadis cantik, dan tentu saja Rey ingin berteman dengan orang baik seperti dia.

"Makasih, ya?" Ucapnya dengan harapan Shafira yang terlelap itu mendengar ucapannya.

'Ah, seandainya kamu masih hidup.' Batin Rey penuh harap.